Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Thursday, September 18, 2008

Psychological Capital: Resiliency

Resiliency adalah faset terakhir dari Psychological Capital (ugh thank God…) yang penting dibahas. Resiliency juga sering dibahas secara terpisah, terutama oleh pelopor gerakan ‘living values’. Di dalam domain psikologi, penelitian dan praktik resiliency sudah cukup lama dikenal dalam bidang psikologi klinis, sebelum gerakan psikologi positif berkembang (waktu itu bidang psikologi masih berorientasi psikologi negatif). Maka tidak heran kalau penelitian-penelitian awal psikologi (negatif) ini berfokus pada anak yang tumbuh di keluarga beresiko tinggi, remaja bermasalah, dan keluarga bermasalah. Dari hasil penelitian-penelitian yang ekstensif dengan pendekatan problem-centered inilah muncul istilah-istilah ‘survivors’ dan ‘exceptional individuals’, istilah yang digunakan untuk mereka yang strong enough menjalani kehidupan yang normal setelah melalui pengalaman-pengalaman traumatik. Orang-orang yang resilient setelah mengalami masalah yang sangat berat menjadi fokus penelitian resiliency.

Dalam domain penelitian psikologi positif, para peneliti mengkonstruk ulang ‘resiliency’ dengan memperhatikan kemampuan dan kekuatan psikologis pada semua orang di semua rentang usia dan semua kondisi psikologis, tidak hanya pada orang-orang bermasalah yang menjadi survivors. Oleh karena itu, definisi resiliency pun menjadi lebih kaya, yaitu “kapasitas individu untuk ‘memantulkan kembali’ kegagalan, konflik, kesulitan dan bahkan kejadian-kejadian positif seperti progress dan tanggungjawab yang meningkat.” Untuk lebih memahami resiliency (mari kita sepakat dalam bahasa Indonesia berarti ‘tangguh dan lentur’…halah…), cobalah refleksikan diri anda dengan pertanyaan berikut:

  1. Kapan terakhir anda mengalami kesulitan, konflik, kegagalan, atau kejadian positif lain yang menurut anda ‘too much’?
  2. Konkretnya, masalah/kejadian apakah itu?
  3. Apakah menurut anda kejadian tersebut datang secara tiba-tiba dan unexpected, atau perlahan-lahan tetapi menguras emosi?
  4. Strategi coping apa yang anda terapkan untuk berhadapan dengan kejadian tersebut?
  5. Seberapa efektif strategi anda?
  6. Setelah melakukan coping, apakah anda dapat pulih kembali dari kejadian tersebut? Jika’ya’ kenapa? Jika ‘tidak’ mengapa?
  7. Pelajaran apa yang dapat anda petik dari pengalaman tersebut?
  8. Apakah ada alternatif lain untuk mengatasi kejadian tersebut?
  9. Secara keseluruhan, setelah menghadapi permasalahan/kejadian yang mengejutkan di masa lalu, menurut anda, apakah anda bisa menjadi ‘normal’ kembali atau menjadi lebih dewasa, atau anda merasa ada sesuatu yang hilang yang tidak mungkin kembali lagi?

Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tantang diri anda kembali dengan mencoba mengingat waktu-waktu di mana anda secara sukarela keluar dari ‘jalur’ anda dan meninggalkan zona nyaman (comfort zone) untuk mengejar sesuatu yang baru dan unexpected, dan jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

Kapan terakhir saya:

  • Secara sukarela melakukan sesuatu yang sama sekali baru dan sulit?
  • Melakukan sesuatu yang tidak biasa, meskipun saya berpikir itu terlalu beresiko untuk saya?
  • Bepergian keluar negeri?
  • Mencoba makanan baru yang belum pernah saya coba sebelumnya?
  • Mengambil rute yang berbeda dengan rute yang biasa saya ambil, sekedar iseng saja?
  • Mendengarkan jenis musik yang belum/jarang saya dengar?
  • Membaca sesuatu yang belum pernah saya baca karena rasa ingin tahu?
  • Menerima ide orang lain karena saya pikir idenya lebih baik daripada ide saya sendiri?
  • Berteman dengan orang-orang yang berbeda pandangan dan tidak menarik bagi saya?
  • Meminta bantuan kepada orang-orang yang statusnya di bawah saya?
  • Memberanikan diri untuk sekali-sekali tidak melakukan persiapan untuk melakukan improvisasi di tempat? (wah kalo ini mah hobinya gue yang procrastinator sejati!)
  • Pindah ke lokasi yang baru?
  • Mencari karir yang baru di tempat yang baru?
  • Kembali ke sekolah dan mengambil bidang yang berbeda dengan bidang lama yang telah saya kuasai?
  • Memberikan kebebasan penuh kepada orang-orang yang bekerja untuk saya untuk mengambil keputusan penting?

Ada tiga faktor yang dapat menyumbang/menghambat perkembangan resiliency individu, yaitu: aset, faktor resiko dan sistem nilai (values).

Resiliency Assets

Kemampuan kognitif, temperamen, persepsi diri yang positif, keyakinan, pandangan positif terhadap kehidupan, stabilitas emosi, self-regulation, sense of humor, dan penampilan keseluruhan atau faktor kemenarikan, adalah aset-aset potensial yang dapat menyumbang pada tingkat resiliency yang tinggi.  Aset lain yang juga tidak kalah penting dan mirip dengan aset di atas adalah: insight, kemandirian, relationships, inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas.

Dalam berhubungan dengan kejadian-kejadian negatif, relationships ditengarai sebagai aset penting dalam perkembangan resiliency. Dalam hal ini, program-program seperti effective parenting, care-giving adults, prosocial and rule-abiding peers, dan collective efficacy penting diberikan untuk meningkatkan resiliency individu.

Resiliency Risk Factors

Disebut juga sebagai ‘vulnerability factors’, yang meliputi pengalaman-pengalaman yang merusak dan disfungsional seperti penyalahgunaan obat dan alkohol, dan pengalaman traumatik seperti kekerasan fisik dan psikis. Resiko lain adalah stres dan burnout, kesehatan yang buruk, pendidikan yang rendah dan pengangguran. Beberapa resiko tidak terhindarkan, tetapi jika resiko-resiko tersebut dapat diidentifikasi dan dimanage, proses utilisasi assets untuk mengatasi resiko dapat menolong orang-orang yang beresiko mengeksplorasi kekuatan dan talenta mereka. Sayangnya, orang-orang yang terpapar faktor resiko di atas seringkali divonis masyarakat sebagai orang-orang gagal, yang pada gilirannya dapat menjadi self-fulfilling prophecy jika aset relationships tidak dapat membantu.

Resiliency Values

Sistem nilai (value system) dan belief system memandu, membentuk dan memberikan konsistensi dan makna pada proses kognisi, emosi dan tindakan individu. Nilai religiusitas terbukti berhubungan positif dengan kesehatan mental individu, happiness, dan coping terhadap pengalaman traumatik. Orang yang bertindak sejalan dengan kerangka moralnya biasanya memiliki energi dan resiliency yang tinggi.

Menarik untuk melihat persistensi individu-individu yang melakukan perbuatan mulia atau tindakan nekat seperti bom bunuh diri, yang disebabkan keyakinan mereka pada tujuan dan misi tertentu. Kita biasa menyebut mereka patriot, dermawan, pengkhianat, teroris, dll. But in the end, mereka semua adalah orang-orang yang memiliki strong belief pada sesuatu beyond their selves to a higher purpose. Strong belief inilah yang meningkatkan resiliency level mereka. Interestingly, reward materi atas kinerja tidak menghasilkan level of resiliency yang sama.

Dalam proses meningkatkan resiliency individu, ada tiga kelompok strategi yang dapat diterapkan di tempat kerja:

  1. Asset-focused strategies. Strategi ini berfokus pada pengembangan aset (sumberdaya), misalnya human capital (pendidikan, pengalaman, pengetahuan, keahlian, dan kemampuan lain), social capital (hubungan sosial, jaringan), dan psychological capital lainnya (self-efficacy, hope, optimism).
  2. Risk-focused strategies. Beberapa cara yang digunakan adalah risk-avoidance strategy (misalnya menunda promosi individu jika promosi dianggap resiko oleh yang bersangkutan); risk-management strategy (misalnya meningkatkan self-efficacy individu dengan cara coaching, mentoring dan constructive feedback untuk individu yang dipromosikan); entrepreneurial dan intrapreneurial initiatives untuk memotivasi individu yang punya potensi/aset kreatif.
  3. Process-focused strategies. Strategi ini adalah memobilisasi individu untuk mengidentifikasi, menyeleksi, mengembangkan, dan menerapkan aset2/potensinya untuk memanage faktor-faktor resiko terkait. Proses self-awareness dan self-regulation menjadi penting karena tanpa kedua proses ini, resiliency tidak akan muncul meski individu memiliki semua aset yang dibutuhkan untuk itu. Teknik avoidance-coping (menghindar dari masalah) berdampak negatif pada resiliency, sementara teknik approach-coping (menghadapi masalah) berdampak positif terhadap resiliency.

Orang timur diyakini memiliki tingkat resiliency yang lebih tinggi dibandingkan orang barat. Keyakinan ini masih perlu pembuktian, tetapi filosofi hidup orang timur yang senang menertawakan diri sendiri bisa menjadi salah satu bukti. Perhatikan fenomena Tukul Arwana yang mahir ‘memantulkan kembali’ ejekan audiens dan mengolahnya menjadi tontonan yang menarik. Konsep hidup yang harmoni dengan alam pun membuat orang timur lebih lentur. Sayang ‘kearifan alam’ itu mulai memudar seiring dengan gempuran globalisasi dan penyamarataan budaya yang menghilangkan keunikan lokal.

We’re not ourselves when we hold values we don’t even know what it means to us (Debby)


Sumber bacaan: Luthan, F; Youssef, C.M.; & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. NY: Oxford University Press.

Wednesday, September 17, 2008

Psychological Capital: Optimism

Di bidang psikologi, optimisme adalah konstruk yang tidak cukup dipahami, meskipun kata “optimis” sering digunakan baik secara akademik maupun non akademik. Dalam pengertian sehari-hari, individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan sesuatu yang positif dan diinginkan terjadi di masa depan, sebaliknya individu yang pesimis adalah individu yang memiliki pikiran-pikiran negatif dan yakin bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.

Sebagai salah satu faset penting dalam Psychological Capital, makna optimisme jauh dari kesan “permukaan”, tidak sekedar memprediksi sesuatu yang baik akan terjadi di masa depan, karena PsyCap Optimism mengandung alasan-alasan dan atribusi yang digunakan individu untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, baik yang positif maupun negatif. Alasan dan atribusi inilah yang membedakan di sisi mana individu berada dalam kontinum optimistik-pesimistik.

Menurut Martin Seligman, bapak positive psychology movement, optimisme adalah explanatory style yang mengatribusikan kejadian-kejadian positif yang terjadi pada diri seseorang dengan sebab-sebab internal yang sifatnya permanen dan pervasive. Ia menginterpretasikan kejadian-kejadian buruk sebagai faktor yang sifatnya eksternal, temporal dan situation-specific.  Dari definisi Seligman ini, orang yang optimis adalah orang yang memandang kejadian-kejadian yang diinginkan berasal dari dirinya sendiri.  Jika seorang yang optimis mengalami kejadian negatif, ia akan menganggap penyebab dari kesialan itu bukan dirinya sendiri, ada hal-hal yang berada di luar kendalinya yang menyebabkan kejadian negatif tersebut, dan bahwa hal-hal negatif itu tidak berlangsung lama. Dengan bersikap demikian, orang yang optimis cenderung tetap positif dan percaya diri pada masa depannya. Mekanisme pertahanan dirinya ketika mendapatkan feedback negatif adalah dengan melakukan rasionalisasi.

Sebaliknya, orang yang pesimis tidak menganggap kejadian positif yang dialaminya sebagai hasil dari tindakannya. Misalnya ketika mendapatkan promosi, seorang yang pesimis cenderung menganggapnya sebagai faktor kebetulan saja. Seorang yang pesimis menganggap kejadian positif yang terjadi pada dirinya sebagai sesuatu yang bersifat temporal  dan situational-specific, karena itu mereka akan percaya bahwa kejadian positif yang sama kecil kemungkinannya terulang kembali di masa depan.  Mereka cenderung menyalahkan berbagai kekurangan-kekurangan pada diri sendiri sebagai penyebab kejadian negatif. Misalnya, ketika seseorang tidak mendapatkan promosi, ia akan mengatribusikan hal ini dengan kurangnya inteligensi pada dirinya. Kurangnya inteligensi itu cenderung akan menjadi ‘biang kerok’ di dalam hidupnya, sehingga akhirnya terjadilah fenomena ‘self-fulfilling prophecy’.  Keyakinan bahwa ia tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi pelik dalam hidupnya akan mengakibatkan the real inability occurs.

Optimistik-pesimistik berbeda dengan locus of control meskipun keduanya merupakan variabel disposisional yang melekat pada individu sejak lahir, dan ‘kedengarannya’ mirip. Sama dengan orang yang punya internal locus of control, orang yang pesimis pun cenderung menganggap kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada dirinya berasal dari dirinya. Mereka lebih menganggap dirinya bertanggungjawab pada hal-hal yang terjadi, bukan sesuatu di luar sana. Oleh karena itu, berbeda dengan orang yang pesimis, trait internal locus of control adalah trait yang diinginkan. Ketika seorang yang punya locus of control internal, dia akan merasakan kejadian-kejadian yang menimpa dirinya, baik buruk maupun baik, sebagai hasil dari tindakannya (atau kualitas-kualitas yang ada padanya). Oleh karena itu, jika kejadian buruk menimpa dirinya, dia segera akan mengambil tanggungjawab atasnya, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian agar kejadian buruk tersebut tidak terulang kembali. Dalam hal ini, ia sekaligus adalah seorang yang optimis (masih perlu pembuktian, ini masih hipotesis saya). Sementara itu, seorang yang berlocus of control eksternal, cenderung menyalahkan hal-hal di luar dirinya sebagai penyebab terjadinya semua hal (baik atau buruk), sehingga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ia akan melepaskan tanggungjawab (lari dari kenyataan). Jadi locus of control dan optimistik-pesimistik adalah dua hal yang berbeda, yang bisa menjadi topik yang menarik jika ada yang ingin meneliti korelasi keduanya.

Contoh seorang yang punya external locus of control: seorang artis lulusan sebuah perguruan tinggi swasta yang ingin melanjutkan kuliah di UI (tidak usahlah saya sebutkan namanya di sini). Ketika pengumuman kelulusan, namanya tak terdaftar sebagai calon mahasiswa, yang membuat ia mendapatkan ‘serangan’ infotainment yang mempertanyakan faktor2 kegagalannya. Apa jawabannya? Ia menyalahkan kursi di balairung yang tidak enak, angin yang mengganggu konsentrasinya (salah sendiri gak bawa antangin), dll (waktu nonton saya lagi di bandara jadi suaranya sayup-sayup terdengar) instead of menyalahkan otaknya (hehehe). Dilihat dari kepribadiannya, dia adalah seorang yang punya external locus of control sangat tinggi, karena cenderung menyalahkan faktor2 di luar dirinya sebagai penyebab kegagalannya. Jika dilihat dari variabel pesimistik-optimistik, dia pun belum tentu seorang yang optimis meskipun ciri-cirinya yang menyalahkan faktor eksternal mirip dengan ciri-ciri seorang yang optimis. Jika setelah kegagalan itu dia mencoba lagi ujian seleksi di UI (tentunya dengan senjata ampuh untuk mengalahkan faktor eksternal yang dianggapnya sebagai penyebab kegagalan terdahulunya, maka dia dapat dikatakan seorang optimis.  Mari kita lihat semester depan J

Meskipun seorang yang optimis cenderung memandang segala sesuatu in a positive manner, tidak setiap waktu seorang yang optimis tetap optimis. Maka ada istilah “flexible optimism” yang berarti bahwa individu secara sadar menilai situasi dan memutuskan whether dia akan menggunakan optimistic or pessimistic explanatory style. Seligman menawarkan istilah ‘realistic optimism’ yang kira-kira samalah dengan flexible optimism. Ada tiga perspektif yang dapat membangun sebuah optimisme yang fleksible dan realistis:

  • Leniency for the past, merupakan teknik reframing yang menggunakan pendekatan problem-centered coping untuk menangani aspek-aspek dari situasi yang masih dapat dikendalikan dan reposisi aspek-aspek situasi yang tidak dapat dikendalikan (lihat contoh artis mau masuk UI).
  • Appreciation for the present, yaitu mencari dan menghargai aspek-aspek positif dari sebuah situasi yang tidak menguntungkan untuk menghindari sikap defeatist yang bisa melumpuhkan usaha individu untuk mencapai tujuannya. 
  • Opportunity seeking for the future, yaitu seorang yang look forward to the future with all the opportunities it presents.

So, unlike Appreciative Inquiry approach, pendekatan realistic flexible optimism masih memperhitungkan defects yang terjadi (dalam rangka memperbaiki kesalahan-kesalahan), tidak melulu berfokus pada aspek-aspek positif (dan dreaming) saja.

Sumber bacaan: Luthan, F; Youssef, C.M.; & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. NY: Oxford University Press.

Monday, September 15, 2008

Psychological Capital: HOPE

Apakah anda termasuk orang yang punya kemauan keras? Apakah anda tahu persis tujuan hidup anda? Apakah anda merasa dapat mengendalikan nasib sendiri? Apakah anda cukup persisten (bersedia mengorbankan waktu anda) untuk menyelesaikan tugas yang telah anda tetapkan sendiri? Sulitkah bagi orang lain untuk membelokkan anda dari tujuan anda? Apakah anda cenderung menetapkan sendiri tujuan anda? Apakah tujuan yang anda tetapkan sangat menantang? Apakah anda senang terikat dengan tujuan-tujuan yang anda tetapkan tersebut?

Jika mostly jawaban anda adalah “ya” pada pertanyaan-pertanyaan di atas, anda telah menunjukkan “willpower”, salah satu komponen dari “hope” (“harapan”, but I tend to use the word “hope” hereafter). Willpower saja belum cukup untuk menunjukkan anda punya PsyCap Hope. Selain itu, anda juga harus memiliki pathways (cara) untuk mencapai tujuan anda. Agar anda juga memiliki komponen pathways, maka anda harus memiliki jawaban afirmatif untuk pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah anda secara proaktif menentukan cara-cara untuk mencapai tujuan anda? Apakah anda selalu mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan anda? Jika menemui hambatan dalam pencapaian tujuan, apakah anda sudah punya alternatif lain untuk mengatasi hambatan tersebut? Apakah anda punya kekuatan (strength) untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan anda?

Hope sering digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, dan seringkali pula ada mispersepsi tentang makna “hope”. Banyak yang mengartikan hope sebagai wishful thinking (mungkin “harapan” juga dalam bahasa indonesia), tidak lebih dari sebuah sikap positif, atau bahkan sebuah ilusi. Padahal hope adalah something beyond that, karena komponen pathways itu.  Jika seseorang gets stuck on the pathway dan tidak melihat alternatif lain, ia tidak hanya mengalami frustrasi,tetapi sudah mengalami tahap awal “learned helplessness”.

Orang yang hopeful (high-hopers) adalah pemikir independen yang memiliki internal locus of control, membutuhkan tingkat otonomi yang cukup tinggi dan tidak suka diatur. Mereka memiliki motivasi besar untuk terus bertumbuh dan intrinsically motivated by enriched jobs. Mereka cenderung kreatif dan resourceful, dan sangat mungkin menjadi “successful entrepreneurs.”

Sementara itu, orang yang tidak memiliki hope (low-hopers) seringkali konform dengan peraturan perusahaan dan patuh pada atasan. Atasan bisa saja melihat low-hopers sebagai bawahan yang kooperatif, “good soldiers” padahal mereka seringkali menjadi orang yang disengaged dan suka terlihat “sibuk” di kantor.

Bagaimana dengan rata-rata orang Indonesia? Kalau boleh jujur, orang Indonesia bukanlah ‘high-hopers’. Seringkali jika kita melontarkan harapan-harapan, padahal yang kita maksud lebih kepada ‘harapan kosong’ atau wishful thinking. Instead of using the word “I hope…”, we are to use the word “I wish…”. Cobalah tanyakan seorang teman anda apa harapannya dan bagaimana cara ia memenuhi harapan tersebut. Jawaban terhadap cara memenuhi harapannya  hampir pasti: “belum tahu, dijalani sajalah…” Kebiasaan menyerahkan segala sesuatu kepada Yang Maha Kuasa membuat locus of control kita cenderung eksternal. Kita juga tidak terbiasa melakukan perencanaan, cenderung spontan dan menerima saja keadaan tak menguntungkan tanpa ada usaha untuk merubah keadaan tersebut. Sounds familiar?

Sumber bacaan: Luthan, F; Youssef, C.M.; & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. NY: Oxford University Press.

Saturday, September 13, 2008

Psychological Capital

Psychological Capital (PsyCap) adalah keadaan perkembangan psikologi individu yang positif, yang dicirikan oleh: (1) adanya kepercayaan diri (self-efficacy) melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai sukses dalam tugas-tugas yang menantang; (2) atribusi yang positif (optimism) tentang sukses masa sekarang dan yang akan datang; (3) persistensi dalam mencapai tujuan, dengan kemampuan mendefinisikan kembali jalur untuk mencapai tujuan jika diperlukan (hope) untuk mencapai kesuksesan; dan (4) ketika menghadapi masalah dan kesulitan, mampu bertahan dan terus maju (resiliency) untuk mencapai sukses (Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Dari definisi di atas, ada empat faset yang penting untuk dipelajari baik secara terpisah maupun secara bersama-sama: self-efficacy, optimism, hope dan resiliency.  Para ahli PsyCap berpendapat bahwa keempat faset ini tidak hanya bersifat additively (sum of its parts) tetapi juga synergistically (greater than sum of its parts). Misalnya, a hopeful person yang memiliki cara dan jalur untuk mencapai tujuannya akan lebih termotivasi dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, yang pada gilirannya akan meningkatkan resiliency-nya. Confident person mampu mentransfer dan mengaplikasikan hope, optimism, dan resiliency-nya pada tugas-tugas spesifik yang mampu dilakukannya. Resilient person akan mahir memanfaatkan mekanisme adaptasinya untuk menyesuaikan optimismenya.

Sederhananya, PsyCap anda mendefinisikan “siapa anda”, “apa yang anda yakini dapat anda lakukan”, “apa yang anda sudah lakukan”, dan “anda dapat menjadi siapa”.    

Tulisan ini akan melihat masing-masing faset. Tetapi karena proses mental di dalam individu saling terkait satu sama lain dengan cara yang almost impossible dihitung secara statistik, amazingly keempatnya akan selalu bersinggungan meskipun kita hanya membicarakan salah satu di antaranya.

PsyCap Efficacy (Confidence to Succeed)

Apakah anda percaya pada diri anda sendiri? Apakah anda tahu bahwa anda diperlengkapi dengan segala hal yang dibutuhkan untuk sukses? Apakah anda yakin “segala hal” itu ada di dalam diri anda? Pertanyaan-pertanyaan ini mengacu pada faset self-efficacy dari PsyCap, meskipun nantinya bisa saja dipakai pada faset hope dan optimisme.

Albert Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai tingkat perkiraan individu pada kemampuannya menyelesaikan tugas tertentu. Self-efficacy yang tadinya domain spesific dapat meluas menjadi domain general seiring dengan meningkatnya level of confidence individu. Artinya, ketika individu yang memiliki self-efficacy pada tugas tertentu eventually sukses melakukan tugasnya, tingkat kepercayaan dirinya meningkat yang membuatnya percaya bahwa ia juga akan mampu melakukan tugas yang lain.

Maka jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah tingkat self-efficacy anda, yang mendorong anda untuk memilih tugas-tugas yang menantang dan menggunakan kekuatan dan kemampuan anda untuk menghadapi tantangan tersebut. Tingkat self-efficacy juga menyemangati anda untuk mengejar tujuan anda, menginvestasikan waktu anda, dan bersedia bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Jika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam usaha anda, self-efficacy juga yang membantu anda tetap tegar, yang pada gilirannya akan meningkatkan harapan, optimisme dan resiliensi anda.

Untuk dapat mengukur tingkat self-efficacy anda, penting untuk menganalisis hal-hal yang anda yakini dapat anda lakukan. Setiap orang memiliki comfort zone-nya, yaitu area yang dikuasai olehnya yang membuatnya merasa sangat percaya diri.  Sebagian orang juga memiliki area-area baru yang belum dikuasai benar, tetapi diminati untuk dikuasai di kemudian hari.  Bagaimana caranya menguasai sesuatu hal yang baru? Dengan cara mengalahkan rasa takut dan keengganan untuk berubah, dan keberanian mengambil langkah pertama. There is first thing for everything. Keberanian Andy F. Noya keluar dari     comfort zone-nya adalah sebuah contoh yang brilian dari tingkat self-efficacy yang tinggi. Ketika ia memutuskan untuk keluar dari Metro TV, posisinya sebetulnya sudah di puncak. Terdorong oleh keinginannya merambah dunia baru (kalau tidak salah cita-cita luhurnya adalah membangun televisi lokal di Papua), ditambah motivator-motivator lainnya (di antaranya adalah buku “Who moved my cheese” Spencer Johnson), ia mengalahkan rasa takutnya dan keluar dari Metro TV yang sudah memberikannya rasa nyaman dan tingkat self-efficacy luar biasa.

PsyCap self-efficacy terbentuk dari lima proses kognitif: symbolizing, forethought, observasi, self-regulatory dan self-reflection. Dalam symbolizing, individu menciptakan mental image/model tentang hal-hal yang terkait dengan task at hand. Dengan melakukan symbolizing, individu dapat memperkirakan tindakan harus dilakukan sehubungan dengan tugasnya. Pada proses forethought,  individu merencanakan tindakannya berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang suatu hal. Sebelum bertindak, individu cenderung mencari tahu apa yang menjadi persyaratan agar tindakan tersebut sukses sehingga ia akan menyesuaikannya dengan persyaratan-persyaratan tersebut.  Dalam proses observasi, individu belajar dari orang lain yang dianggap significant others (misalnya atasan, rekan kerja yang lebih berpengalaman, dll). Proses self-regulatory memampukan individu bertindak sebagai agen, menetapkan tujuan yang spesifik dan standar performance diri sendiri. Proses ini membuat individu mampu berfokus pada energi untuk mengembangkan, memperbaiki dan meraih tujuannya. Perubahan pada pikiran dan tingkahlaku individu terjadi di bagian ini. Terakhir, proses self-reflection membuat individu merefleksikan pengalaman masa lalunya (kesuksesan dan kegagalan masa lalu) untuk disesuaikan dengan tindakan masa kini.

Self-efficacy adalah state-like variable instead of trait-like variable, karena self-efficacy dapat dikembangkan. Tentu saja, karena individuals are unique, perkembangannya pada tiap individu pun berbeda. Self-efficacy individu dapat dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada individu untuk menguasai tugas tertentu, vicarious learning/modeling, social persuasion dan feedback yang positif.  

“Practice makes perfect” dan “success builds confidence”. Meskipun sukses tidak sama dengan efficacy, tetapi sukses dapat membuat kepercayaan diri individu bertambah.  Seorang manajer yang baik akan membagi-bagi tugas yang kompleks menjadi sub-sub tugas dan memberikan kesempatan bawahannya menguasai setiap sub tugas one at a time. Kesempatan menguasai sub-sub tugas akan membuat individu merasakan “small successes” semakin sering, yang pada gilirannya akan membangun self-efficacy-nya. Cara lain adalah dengan menempatkan karyawan pada situasi yang probability of success-nya relatif tinggi. Prinsip ‘the right man in the right place’ berperan penting di sini. Fungsi-fungsi HRM yang berperan adalah: seleksi, orientasi, penempatan dan perencanaan karir.

Kesempatan untuk mendapatkan vicarious learning juga penting untuk diperhatikan. Pengalaman mengamati seorang ahli dalam bekerja memberikan kesempatan kepada individu untuk mempelajari sukses dan kesalahan orang lain, dan meniru tindakan yang mengarahkan pada kesuksesan. Agar pengalaman modeling ini berhasil meningkatkan PsyCap efficacy individu, perlu diperhatikan faktor kemiripan model dan situasi, dan juga waktu untuk si pembelajar melakukan self-reflection.

Social persuasion dan feedback yang positif seringkali dianjurkan pada bacaan-bacaan populer untuk meningkatkan kepercayaan diri individu. Misalnya, simply by saying “you can do it” akan merubah belief individu dari perspektif “I’m not sure I can do it” menjadi “I can do it”. Organisasi jaman sekarang invest sangat banyak pada pelatihan-pelatihan teknikal sehingga mengabaikan reinforcement at no cost seperti recognition, acknowledging, appreciating dan positive feedback. Pada sebuah perusahaan Indonesia di industri minyak misalnya, mengaku menghabiskan dana pelatihan sebesar 95% untuk pelatihan teknikal, dan hanya 5% untuk pelatihan soft-skills.  No wonder why Indonesian firms suffer severely from this people ignorance.

Friday, September 12, 2008

Large Hadron Collider

Dua hari yang lalu pict theme-nya Google adalah "Large Hadron Collider". What kind of animal is that? Had no idea, but starting to get the info as I browsed some websites to fill in the blanks in my head. Not so many things come to my senses but I'm not that stupid to know what's happening now. Kiamat sudah dekat? Dari dulu katanya gitu....

Large Hadron Collider (LHC) ini adalah proyek CERN (Centre Européen pour la Recherche Nucléaire, nah lho!) yang melibatkan banyak insinyur fisika nuklir dari 111 negara yang menghabiskan dana 3,5 triliun poundsterling (nah...rupiahkan deh itu...). Dana sebesar itu disumbang dari 20 negara anggota CERN. 

Apa istimewanya proyek ini sehingga manusia rela saja menghabiskan dana yang seharusnya bisa menyejahterakan separuh penduduk dunia itu?  Ra’ ruh….manusia emang ada2 aja sih…mo nyaingin penciptanya? Ckckckck….tapi yang menarik adalah…teori bahwa nanti kita bisa melakukan time traveling kalau proyek ini berhasil. Kalau bisa, gue pengen balik ke masa keemasan gue, jaman SMP! Gue punya cita-cita luhur, kalau bisa balik ke masa SMP gue, hal pertama yang akan gue ubah adalah keputusan kepala sekolah yang tidak membolehkan gue ikut Jambore Internasional di Sidney karena ambisi pribadi untuk mencetak lulusan punya NEM terbaik seprovinsi! Enak aja….gue punya hak untuk menentukan gue pilih yang mana: Australia atau NEM yang tinggi! Nah masalahnya adalah…. time travel hanya bisa dilakukan sampai pada saat mesin waktu itu diciptakan. Hahahaha…tetep aja gue gak bisa balik ke jaman dulu! Jadi…entahlah gue musti bersikap bagaimana terhadap LHC ini.

Buat Ulil…di sinilah letak peran agama….buat ngerem nafsu manusia yang ingin menjadi Tuhan! 

Pict's taken from: http://www.nytimes.com/2007/05/15/science/15cern.html

Wednesday, September 10, 2008

Understanding the Japanese Innovation Process

Pada tahun 1960-an perekonomian Jepang masih menitikberatkan pada strategi imitasi dengan cara meniru produk, jasa dan teknologi dari luar negeri dengan sedikit penyesuaian-penyesuaian. Kini Jepang telah bertransformasi menjadi leader dalam penciptaan produk, jasa dan teknologi yang berkategori new-to-the-world. Negara-negara Asia Timur lainnya pun mengikuti jejak “saudara tua”. China, Taiwan (kalau boleh menyebutnya negara) dan Korea pun mengawali national career sebagai “peniru” yang kemudian pelan-pelan menjadi kompetitor Jepang dalam penciptaan produk yang sama sekali baru.  Bahkan China yang dijuluki sebagai “peniru ulung” pernah membuat pusing Amerika Serikat yang terpaksa membuat surat permohonan kepada pemimpin China untuk membatasi kebijakan meniru produk, terutama produk Amerika. Hahaha…rasain lu…

Bagaimana Jepang dan negara-negara tetangganya itu bisa mencapai kesuksesan luar biasa dalam berinovasi, sementara Indonesia yang tidak bego-bego amat tertinggal sangat jauh? Alih-alih menjadi peniru, Indonesia malah terkenal sebagai konsumen utama produk-produk tiruan dari luar. Mental peniru paling sukses dilakukan pada industri film dan sinetron. 


Tansakii, adalah strategi mencari ide-ide baru.

Inysei, adalah strategi memelihara ide-ide baru yang memungkinkan ide-ide tersebut berkembang

Hassoo, adalah melahirkan ide-ide yang sama sekali baru.

Kaizen, adalah perbaikan ide-ide lewat perubahan berkelanjutan

Saitiyo, adalah mendaur-ulang teknologi lama

 
Inilah strategi inovasi ala Jepang yang berasal dari filosofi ulayat mereka. 

 

 

 

 

 

 

 





Dimulai dari Tansakii, perusahaan-perusahaan di Jepang itu akan: 

  • Mencari tren teknologi dunia baru dan melakukan asesment terhadap teknologi-teknologi tersebut untuk mengambil teknologi yang relevan dengan kebutuhan mereka.
  • Selanjutnya, membiarkan ide-ide baru bermunculan dan berkembang. 
  • Membentuk tim teknologi baru yang bertugas pada tahap Hassoo. Di sini bisnis baru berkembang, yang membutuhkan concurrent engineering, fusi teknologi, dan pengembangan kompetensi inti yang baru. Pada tahap ini energi perusahaan terserap banyak (dan kemungkinan kegagalan pun besar). 
  • Pada tahap kaizen, terjadi perbaikan terus-menerus. 
  • Pada tahap Saitiyo, teknologi lama pun didaur-ulang.

Dalam melakukan usaha inovasinya, perusahaan-perusahaan di Jepang selalu menggunakan prinsip Hasso, Kaizen dan Saitiyo dalam waktu yang bersamaan. Ketiga prinsip ini yang dipercaya membuat Jepang selalu konsisten menciptakan produk, proses, teknologi dan jasa baru.

Di samping siklus inovasi di atas, iklim usaha inovatif Jepang dilindungi oleh pemerintah dan pihak bisnis yang menciptakan tiga pilar pelindung inovasi: 

  1.  Budaya organisasi yang menfasilitasi kreativitas dan inovasi 
  2. Manajer berperan sebagai pemimpin yang memberikan contoh (leading by example) aktivitas-aktivitas kreatif. 
  3. Seluruh karyawan harus mendapatkan pelatihan berpikir kreatif dan pelatihan memahami proses inovasi di organisasi.

Yang mengagumkan dari proses inovasi Jepang adalah: mereka membuat produk yang sesuai dengan kebutuhan domestik.  Jika kebutuhan domestik mereka sudah terpenuhi, sisanya diekspor ke negara lain. Jadi jangan bangga dulu punya produk Jepang, karena itu sisa-sisa konsumsi dalam negeri mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Mengacu pada kasus Super Toy (nama yang aneh) dan Blue Energy belum-belum sudah dimaki-maki, Indonesia masih harus belajar banyak tentang cara berinovasi yang baik. Terlepas dari kesalahan pada proses inovasi kedua produk di atas, seluruh rakyat Indonesia harus memahami bahwa proses inovasi bukanlah sesuatu yang mudah. Proses inovasi membutuhkan energi dan sumberdaya yang luar biasa, karena perbandingan kemungkinan kegagalan dan kesuksesannya bisa sampai 90:10. Bahkan Soichiro Honda mengatakan, sukses yang dicapai oleh Honda jika dibandingkan dengan kegagalannya adalah 1:99!! Oleh karena itu, bapak-bapak yang mengurusi Super Toy, jangan lari atuh…buktikan bahwa Anda benar. Tanyakan pada diri Anda sendiri: sudah benarkah cara saya? Kenapa bisa gagal panen, padahal ketika alpha test dulu berhasil? Niscaya, super toy akan menjadi sumber kemaslahatan rakyat, dan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara pengekspor beras terbesar di dunia mengalahkan Thailand.  

Sumber bacaan: Higgins, J.M. (1994). Innovate or Evaporate: Test and Improve Your Organization’s IQ – Its Innovation Quotient. NY: New Management.

Monday, September 08, 2008

Gud news from Raja

Today just got good news from Raja, after some gravely quiet time upon his resigning of being director of ICG. He said he's now in Jakarta, working quite closely with Dr. Surin in ASEAN Secretariat, being his special advisor on community building and outreach. The aim of his position is deepening cooperation and making ASEAN a truly integrated community. Isn't that great? I am very happy to hear the news, tho' I really dunno about politics at all. Still, with him being close here, is really something for me. At least for the sake of the communique. I hope all my friends around ASEAN and partners of ASEAN can be together again in this new opportunity of "building a better asia" Right, fellows?? 

Btw...I'm fasting today!! Haven't been eating nor drinking until now 

Friday, September 05, 2008

Cipularang KM 68 - 76

Kemarin salah satu posting di FPK (bukan tandingannya FPI lho!) tentang kejadian-kejadian di Cipularang bikin bulu kuduk sedikit merinding. Betapa tidak...sampai beberapa bulan yang lalu, aku hampir setiap minggu bolak-balik Jakarta-Bandung lewat Cipularang. Cukup sering juga nyetir sendirian, di malam hari pula. Terutama perjalanan ke Bandung. Dari Bandung suka ada yang rela dijadiin supir balik ke Jakarta. Hehehe...

Menurut cerita di posting itu, di KM 68 sampai beberapa km setelahnya (2 km setelah belok kiri ke arah Bandung) adalah daerah angker yang kerap ada kejadian-kejadian aneh yang superstitious. Ada yang bilang tiba-tiba lihat mobil terbalik di depannya yang memaksa pengendara mengerem kendaraan habis-habisan sampai hampir menabrak mobil lainnya, melihat kembali ke belakang tidak ada tanda-tanda kecelakaan. Kalau cerita ini, karena diceritakan oleh ibu-ibu dengan nada rada emosional dan lugu (hehehe), aku sih percaya saja. Apalagi ketika si ibu cerita ia menelepon jasa marga untuk melaporkan kejadian itu, ditanggapi dengan santai oleh pihak jasa marga. Rupanya cukup banyak yang melaporkan hal yang sama, dan karena ini menyangkut "dunia lain", pihak jasa marga tidak serius menanggapinya. Uuugghhhh...si hantu juga gak kreatif ah...cari modus lain kenapa? 

Ada lagi yang cerita tiba-tiba pindah jalur karena didorong dari samping. Ini sih angin samping ya...tapi sepanjang pengetahuanku, di jalur ke Bandung pada kilometer2 awal setelah pisah dengan jalur Cikampek tidak ada peringatan "angin samping" seperti di Jembatan Cipada beberapa kilometer di depan. Angin samping bukan monopoli pesawat udara doang. Di jalan darat pun ada angin sampingnya lho...meskipun aku belum pernah merasakannya (dan rasanya gak mau merasakannya). 

Terlepas dari cerita-cerita itu, pengalamanku sendiri lewat jalan itu sendirian adalah pengalaman yang biasa-biasa saja (by this, aku tidak bermaksud minta pengalaman yang luar biasa...aku cukup bahagia dengan "pengalaman biasa-biasa" saja dalam hal keselamatan di jalan). Yang selalu bikin aku ngeri karena pernah hampir mengalami kecelakaan sebetulnya di sekitar KM 19 - 20 yang sebetulnya jalannya lurus-lurus saja. Waktu itu aku hampir "pindah jalur" dalam arti yang sebenarnya maupun dalam arti kiasan, karena tiba-tiba mata menutup sanpa sadar. Sejak itu, aku tak pernah meremehkan rasa kantuk di jalan.

Ketika masuk KM 66 memang rada serem suasananya. Kalau jalan malam, belokan tajam dan gelap gulita memaksa kita konsentrasi tinggi menyetir kendaraan. Belum lagi hasrat memacu kendaraan dan keinginan selalu berada di jalur paling kanan. Entah kenapa, kalau sudah sampai di jalur ini, aku rada gak suka berada di jalur tengah atau kiri. Meskipun jalan tol ini tergolong jalan tol paling bumpy di dunia, menyetir di atas 120 km/jam is a must, kalau tidak mau diklakson dengan kurang ajarnya oleh mobil-mobil di belakang. Padahal 120 itu sudah melewati batas maksimum menyetir di jalan tol ini (kalau tidak salah 80/100 km/jam). Dorongan internal dan eksternal itu membuat pengendara mobil (termasuk aku tentunya) nafsu memacu kendaraannya to its limit. Syukurlah pada kilometer-kilometer 90-an ke atas para mobil yang mendadak jadi mobil balap itu rada direm sedikit oleh tanjakan-tanjakan. Kalau tidak...phew....alamat banyak hantu-hantu baru deh.

Posting itu membuatku sadar untuk jangan sok nyetir sendirian di malam hari di jalur itu. Pantesan aja orang-orang suka kagum mendengar ceritaku mengendarai mobil sendirian bolak-balik lewat Cipularang. Hehehe... Maybe I'll never do that again in the future, apalagi kalau gak ada mobil :-P

Drive safely, everybody...

Tuesday, September 02, 2008

Boy....

Gotta get used to high-tense relationships from now on. Gotta get used to stay calm...but HOW??!! Maybe by using some positive psychology concepts? Damn...oh damn me...I've informed somebody years ago about his duty, complete with helpful resources. I just took it for granted that this senior would take the responsibility with his heart. Not only that tough; everytime we met, he was always informed the latest news and some minor changes to the BRP, so that he could keep up with the updates. I'm very sure I have taken a full responsibility of being a good coordinator.

Until last week, when he texted me about his difficulty of teaching sessions he felt he's not so competence. Eh pak...kemane ajeeee....I crafted the BRP with my passion and love...in other words: I've given my head and heart to the BRP, and I am very very open to comments and changes. He agreed on the subject. When I asked him to comment the BRP, he didn't respond for God sake, so I took it that he agreed on the BRP. Last week he broke my heart by saying from all 7 sessions given to him, he could only teach 2 sessions and felt incompetence teaching the other 5. If he did that a month ago I would surely ask other person to teach the subject. But now it's very impossible to do! The schedule is this saturday PAK...and you already agreed to teach.

This morning I asked a friend (who is also his close friend because they are in the same department) to help me speak with him, she said that he's not ready to teach yet. One more, she urged me to initiate the class this saturday. Well...I don't know what to say. Despite my incompetence to the subject, I agreed to initiate the class only if they give me some insights on the subject: Positive Psychology. Little that I know about the subject from my experienced organizing the BRP. Oh dear, I'm used to "negative psychology" (in contrary to the positive psychology hehehe...) but now forced to quick understand the very new subject in my life? The responsibility over the class push me to my limit. Maybe I can master the subject in two days?? I learn from this experience: never break your promise, otherwise you create devils to yourself and others. Never disappoint others, otherwise they won't trust you anymore.

Kalo gw puasa, dah batal sejak pagi tadi kali!