Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Wednesday, September 10, 2008

Understanding the Japanese Innovation Process

Pada tahun 1960-an perekonomian Jepang masih menitikberatkan pada strategi imitasi dengan cara meniru produk, jasa dan teknologi dari luar negeri dengan sedikit penyesuaian-penyesuaian. Kini Jepang telah bertransformasi menjadi leader dalam penciptaan produk, jasa dan teknologi yang berkategori new-to-the-world. Negara-negara Asia Timur lainnya pun mengikuti jejak “saudara tua”. China, Taiwan (kalau boleh menyebutnya negara) dan Korea pun mengawali national career sebagai “peniru” yang kemudian pelan-pelan menjadi kompetitor Jepang dalam penciptaan produk yang sama sekali baru.  Bahkan China yang dijuluki sebagai “peniru ulung” pernah membuat pusing Amerika Serikat yang terpaksa membuat surat permohonan kepada pemimpin China untuk membatasi kebijakan meniru produk, terutama produk Amerika. Hahaha…rasain lu…

Bagaimana Jepang dan negara-negara tetangganya itu bisa mencapai kesuksesan luar biasa dalam berinovasi, sementara Indonesia yang tidak bego-bego amat tertinggal sangat jauh? Alih-alih menjadi peniru, Indonesia malah terkenal sebagai konsumen utama produk-produk tiruan dari luar. Mental peniru paling sukses dilakukan pada industri film dan sinetron. 


Tansakii, adalah strategi mencari ide-ide baru.

Inysei, adalah strategi memelihara ide-ide baru yang memungkinkan ide-ide tersebut berkembang

Hassoo, adalah melahirkan ide-ide yang sama sekali baru.

Kaizen, adalah perbaikan ide-ide lewat perubahan berkelanjutan

Saitiyo, adalah mendaur-ulang teknologi lama

 
Inilah strategi inovasi ala Jepang yang berasal dari filosofi ulayat mereka. 

 

 

 

 

 

 

 





Dimulai dari Tansakii, perusahaan-perusahaan di Jepang itu akan: 

  • Mencari tren teknologi dunia baru dan melakukan asesment terhadap teknologi-teknologi tersebut untuk mengambil teknologi yang relevan dengan kebutuhan mereka.
  • Selanjutnya, membiarkan ide-ide baru bermunculan dan berkembang. 
  • Membentuk tim teknologi baru yang bertugas pada tahap Hassoo. Di sini bisnis baru berkembang, yang membutuhkan concurrent engineering, fusi teknologi, dan pengembangan kompetensi inti yang baru. Pada tahap ini energi perusahaan terserap banyak (dan kemungkinan kegagalan pun besar). 
  • Pada tahap kaizen, terjadi perbaikan terus-menerus. 
  • Pada tahap Saitiyo, teknologi lama pun didaur-ulang.

Dalam melakukan usaha inovasinya, perusahaan-perusahaan di Jepang selalu menggunakan prinsip Hasso, Kaizen dan Saitiyo dalam waktu yang bersamaan. Ketiga prinsip ini yang dipercaya membuat Jepang selalu konsisten menciptakan produk, proses, teknologi dan jasa baru.

Di samping siklus inovasi di atas, iklim usaha inovatif Jepang dilindungi oleh pemerintah dan pihak bisnis yang menciptakan tiga pilar pelindung inovasi: 

  1.  Budaya organisasi yang menfasilitasi kreativitas dan inovasi 
  2. Manajer berperan sebagai pemimpin yang memberikan contoh (leading by example) aktivitas-aktivitas kreatif. 
  3. Seluruh karyawan harus mendapatkan pelatihan berpikir kreatif dan pelatihan memahami proses inovasi di organisasi.

Yang mengagumkan dari proses inovasi Jepang adalah: mereka membuat produk yang sesuai dengan kebutuhan domestik.  Jika kebutuhan domestik mereka sudah terpenuhi, sisanya diekspor ke negara lain. Jadi jangan bangga dulu punya produk Jepang, karena itu sisa-sisa konsumsi dalam negeri mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Mengacu pada kasus Super Toy (nama yang aneh) dan Blue Energy belum-belum sudah dimaki-maki, Indonesia masih harus belajar banyak tentang cara berinovasi yang baik. Terlepas dari kesalahan pada proses inovasi kedua produk di atas, seluruh rakyat Indonesia harus memahami bahwa proses inovasi bukanlah sesuatu yang mudah. Proses inovasi membutuhkan energi dan sumberdaya yang luar biasa, karena perbandingan kemungkinan kegagalan dan kesuksesannya bisa sampai 90:10. Bahkan Soichiro Honda mengatakan, sukses yang dicapai oleh Honda jika dibandingkan dengan kegagalannya adalah 1:99!! Oleh karena itu, bapak-bapak yang mengurusi Super Toy, jangan lari atuh…buktikan bahwa Anda benar. Tanyakan pada diri Anda sendiri: sudah benarkah cara saya? Kenapa bisa gagal panen, padahal ketika alpha test dulu berhasil? Niscaya, super toy akan menjadi sumber kemaslahatan rakyat, dan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara pengekspor beras terbesar di dunia mengalahkan Thailand.  

Sumber bacaan: Higgins, J.M. (1994). Innovate or Evaporate: Test and Improve Your Organization’s IQ – Its Innovation Quotient. NY: New Management.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home