Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Tuesday, August 19, 2008

The Forgotten Tan Malaka

Edisi khusus Hari Kemerdekaan Tempo kali ini mengupas tuntas seorang tokoh republik yang terlupakan, Tan Malaka. Seorang yang teguh pendiriannya, cukup radikal tetapi tidak haus kekuasaan. Dia adalah satu di antara segelintir orang yang tidak peduli pada popularitas. Satu-satunya hal yang diinginkannya adalah kemerdekaan Indonesia 100% dengan cara revolusi. Dia juga percaya bahwa revolusi merupakan hasil dari suatu keadaan (pada waktu itu adalah keadaan terjajah oleh bangsa asing), bukan perjuangan satu dua orang semata. In short, he was kind of a person who practiced “walk the talk”. Sebegitu besarnya seorang Tan Malaka, baru sekarang ini saya menyadarinya.

Sebagai seorang yang lahir dan besar pada masa Orde Baru, saya termasuk kelompok korban pembodohan rezim ini, dengan pembelokan sejarahnya yang berhasil luar biasa. Saya ingat waktu pelajaran sejarah di sekolah, Tan Malaka, Musso, DN Aidit digambarkan sebagai tokoh komunis yang tidak percaya pada Tuhan, dan itu adalah dosa terbesar yang dapat dilakukan oleh manusia di negeri yang percaya pada Ketuhanan YME. Ketika seorang teman baik saya sejak SMA, Dita Indah Sari, menjadi aktivis PRD dan dituduh komunis ketika sama-sama kuliah di UI, saya hanya bisa merasa miris karena saya pikir Dita salah memilih teman (pada masa itu barangkali Dita telah well-versed tentang Tan Malaka). Sampai sebelum saya mengenal Li dari Beijing yang seorang komunis pada awal tahun ini, saya masih menganggap being a communist as an unacceptable way of life. Itulah sumbangan Orde Baru pada rata-rata anak bangsa! Li mengajarkan saya hal-hal yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya tentang ‘being a communist’.

Tan Malaka sendiri lahir sebagai seorang Minang yang terkenal taat beragama. Ditakdirkan lahir sebagai orang cerdas, ia menarik perhatian seorang guru belanda, yang berusaha menyekolahkannya ke Belanda. Di Belanda ia mulai belajar tentang politik, meskipun ia tidak dikirim ke sana untuk menjadi politikus. Kembali ke Indonesia dan menyebarkan pentingnya revolusi, ia ditangkap oleh kompeni dan diasingkan ke Amsterdam. Di sinilah ia memulai karir sebagai pemberontak yang dicari-cari oleh agen rahasia Amerika, Inggris dan Belanda, sampai-sampai ia harus berganti identitas sampai 23 kali dan lompat-lompat di 11 negara (kalau tidak salah). Tulisannya, Naar de Republiek Indonesia, adalah salah satu tulisan yang menginspirasi tokoh- tokoh perjuangan masa itu. Ia juga sempat menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional) yang membawahi organisasi komunis Asia Timur, tetapi akhirnya memutuskan keluar karena berselisih paham dengan pimpinan Komintern yang tidak mendukungnya menggabungkan komunis dengan pan islamisme, karena Komintern beranggapan Pan Islamisme merupakan salah satu bentuk imperialisme.

Setelah berhasil masuk ke Indonesia dalam kejaran agen rahasia internasional, ia memulai perjuangannya dari kalangan akar rumput. Perjuangan dengan menggunakan kekuatan rakyat ini telah dituliskannya pada bukunya, Massa Actie, yang juga menjadi buku wajib para bapak revolusi lainnya, termasuk Soekarno dan Hatta. Di banding tokoh-tokoh revolusi lainnya, ia adalah orang yang paling terlibat pada golongan akar rumput ini. Ia menyamar untuk membantu para buruh romusha di kawasan pertambangan Bayah, Banten Selatan. Ia mendekati para pemuda dan mengajari mereka tentang perjuangan revolusi. Ia pula yang mengumpulkan massa pada bulan September 1945 di lapangan Ikada untuk berdemonstrasi mendukung proklamasi, meskipun ironisnya ia tidak dilibatkan dalam peristiwa proklamasi sebulan sebelumnya. Tampak sekali ia bukan orang yang egois, karena kesadarannya ditujukan pada kepentingan yang lebih besar: Indonesia Merdeka 100%.

Despite his role in the revolution, dia bukan orang yang dianggap popular dibandingkan Soekarno dan Hatta. Dan entah mengapa, Hatta selalu berseberangan dengannya. Barangkali karena mereka beda pendekatan. Tan Malaka konsisten dengan tegar tengkuknya dalam perjuangan, sementara Hatta terbiasa berdiplomasi sehingga terkesan kooperatif dengan penjajah. Kabarnya Hatta pulalah yang tidak setuju pada testamen Soekarno untuk menyerahkan kelanjutan perjuangan di tangan Tan Malaka jika terjadi sesuatu pada dwi tunggal tersebut. Karena itu ia menambahkan tiga nama lain yang membuat posisi Tan Malaka lemah. Tetapi Tan bukan orang yang peduli pada posisi. Ia tercatat beberapa kali menolak posisi yang dekat dengan pemerintahan. Mungkin karena dia sadar bahwa absolute power tends to corrupt. Ia juga dekat dengan Panglima Besar Sudirman, tetapi belakangan hubungan mereka renggang karena sikap Tan yang terlalu keras pada Soekarno Hatta. Sikapnya yang tanpa kompromi ini akhirnya merugikan dirinya sendiri, sampai akhirnya ia dieksekusi oleh TNI pada bulan Februari 1949 di Kediri.

Meskipun diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963, namanya terdengar sayup-sayup di negerinya sendiri. Bahkan buku biografinya ditulis oleh seorang asing, Harry Poeze. Tetapi tidak ada kata terlambat untuk pemulihan namanya, meskipun seharusnya dimulai sesaat setelah reformasi tahun 1998. Tan Malaka, the most wanted man of his time, adalah seorang Indonesia asli. Dia bukan orang Singapura, Filipina, China, atau Burma, meskipun ia pernah berada di tempat-tempat ini. Tak kurang dari tiga negara digdaya (Amerika, Inggris dan Belanda) pernah dibuat pusing olehnya. Besar kemungkinan, people’s powernya Filipina terinspirasi dari Massa Actie-nya Tan Malaka. So folks…be proud to be an Indonesian, because we have Tan Malaka, tho’ Tan Malaka might not be happy to see us right now.

Picture's taken from: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f7/TanMalaka_DariPendjara_ed3.jpg

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home