Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Sunday, February 26, 2006

Bad day for a Sunday

Today’s not very different from my other Sundays, except that Aan, my youngest and spoilest brother made me real mad. Most of the time he’s very impulsive, and this time I almost couldn’t forgive him.

The story begins with someone given him a Flexi card, the special one. I forgot what type of card, but that damned card has made him eager to have a PDA phone for his new card. And I didn’t know how he got the information, but he really wanted to buy an Audivox Thera. He couldn’t find it in Denpasar, or he couldn’t make it to the shop to buy one because he was doing some abnormal work-life there, working 24 hours 7 days a week. Poor brother…That Japanese people have really gone mad, squeeze him to death for a damned construction project. Hmmm…no wonder he’s cognitively tired and going crazy.

He urged me to find that Audiovox for him. I promised him to go buy one for him. Audiovox Thera was very rare at this time; hardly could find it from the internet. I found one from nagaselular.com, and planned to go to the glodok city with Momo on Sunday.

After much effort to reach glodok (finally I took busway!!), found the shop, had a little chat with the shop keepers, I asked for the damned Audiovox Thera. One of the keepers showed me one, very much different from my own PDA. I mean, mine was far more sophisticated, ehem….

I asked him how to plug-in the CDMA card, and here their answer ….eng-ing-eng….BY INJECTING THE CDMA TO THE DAMNED PDA-PHONE!!! Well, at first I thought Aan had already known this, because he’s so well-versed at spelling Audiovox Thera. I called him and told him about the gadget’s characteristics. What did he say? He didn’t want an injected PDA-phone, he wanted a ruim one. He impulsively said that he no longer has the f*****g desires to have that PDA-phone, and wanted me to buy a PDA like mine. The shop keepers (thanks to you folks!) told me that there’s no PDA-phone for CDMA uses ruim card. Oh nice! He’s so lucky to reside in Denpasar, because I will kill him if he’s around.

Luckily I got a memory card for my PDA, 512 MB for Rp 300 thousands. Quite cheap I guess, but of course Aan will pay for the memory card. That way I felt relieve and forgave him for his impulsiveness.

Monday, February 20, 2006

Lapassustik Cirebon, 18 Februari 2006

Berencana berangkat ke Cirebon jam 7 pagi, aku dan Bu Bulie sudah siap-siap sarapan jam 6 pagi. Pengalaman bangun kesiangan sehari sebelumnya membuat kami belajar. Aku set weker di HP-ku jam 4.30 pagi untuk mandi dll, karena Bu Bulie ternyata punya ritual yang panjang untuk semua hal.

Jam 6 sudah berada di ruang makan, we are all alone. Belum ada orang lain selain kita berdua. Aku curiga pesta tadi malam berlanjut sampai dini hari. Kami bisa makan sepuasnya pelan-pelan, karena waktu masih banyak.

Jam 7 pagi baru semua orang berkumpul dan sarapan. Aku sudah puas sarapan, jalan-jalan keluar hotel. Di luar sudah berkumpul mbok-mbok yang jualan batik dan kaos Dagadu palsu, berharap ada yang keluar dan membeli dagangan mereka. Aku beli 2 t-shirt Dagadu palsu seharga Rp 22 ribu, lumayan juga buat kaos di rumah.

Sebelum berangkat jam 8 something (molor banget ya?) kami berfoto di luar hotel. Pak Ramdhan memakai baju napi oleh-oleh dari LP Cirebon setahun yang lalu. Weleh, kalau di jalan ketemu polisi bisa-bisa disangka napi lepas tuh.

Kami akan melanjutkan perjalanan panjang Yogya-Cirebon, udah kebayang pegelnya kayak apa. Tapi hebatnya, mahasiswa itu seakan tidak habis energi. Sepanjang perjalanan karaoke tak kunjung dimatikan. Aku tak punya kesempatan mendengarkan lagu-lagu kesayanganku yang sudah aku persiapkan di MP3 Player karena musik karaoke sudah serasa memekakkan telinga. Ya sudahlah….

Perjalanan berakhir di Lapassustik (Lembaga Pemasyarakatan untuk Kasus Narkotika) Cirebon pukul 5 sore diiringi hujan yang cukup deras. Tadinya dijadwalkan tiba pukul 2 siang. Kami terlambat 3 jam! Gara-garanya adalah berangkat kesiangan, lalu perjalanan diselingi sholat Jumat dan makan siang di perjalanan yang rada molor karena menunggu sop kambing terhidang di meja. Mending yang ditungguin itu enak, hehehehe…untung aku tidak pesan sop kambing.

Mungkin karena kesal atau karena ada acara lain, kedatangan kami tidak disambut Kalapas. Ah, masih untung diterima. Untung juga, ada seorang mahasiswa Kriminal yang bekerja di Lapas ini, jadi keterlambatan tidak terlalu dipersoalkan. Sebetulnya jam 5 sore adalah saatnya para warga binaan masuk ke sel masing-masing. Tapi demi kelancaran studi pendalaman kami, para petugas bersedia bersusah payah menunggu kami. Mungkin pada hari-hari normal lainnya mereka sudah pulang dan bertemu keluarga sejak jam 3, kalau jam kerja mereka sama dengan jam kerja Fakultas Psikologi.

Kami digiring menuju aula Lapassustik. Di sana sudah menunggu para petugas dan warga binaan. Berbeda dengan Lapas Wirogunan, para warga binaan di Lapassustik ini seperti tertekan. Kami disambut paduan suara warga binaan, yang menyanyikan lagu kebangsaan Lapassustik dengan wajah tanpa ekspresi. Takuuuuuttttt…..

Di sini juga ada band yang pemainnya semua warga binaan. Pak Eko, bintang AFI Psikologi Kriminal yang sudah menyanyi sepanjang jalan Yogya-Cirebon, langsung maju nyanyi diiringi band warga binaan. Lagu pertama (aku lupa judulnya) dengan sukses dinyanyikannya. Bu Dani berinisiatif mengajak para warga binaan dibantu para mahasiswa untuk joget dan menari mengiringi lagu. Suasana tegang akhirnya mencair. Ketika menyanyikan lagu kedua “Jujur” hanya sempat setengah lagu, keburu dihentikan petugas dengan alasan lagu tersebut adalah lagu kesayangan Kalapas dan hanya boleh dinyanyikan Kalapas. Larangan menyanyikan lagu ini disambut teriakan,”Huuuuuu..” dengan nada riang dari mahasiswa dan warga binaan (kayaknya yang nyanyi sudah diberi bocoran tentang lagu itu dari rekan kuliahnya yang karyawan di Lapas ini, tapi tetap menyanyikannya untuk menguji sampai dimana keberanian petugas menghentikan lagu tersebut).

Setelah acara hiburan selesai, kami pun berpencar untuk mewawancari para warga binaan. Jumlah mereka banyak sekali, tidak seperti di Lapas-lapas lain yang kami kunjungi, kami hanya diberikan beberapa warga binaan untuk diwawancara. Aku sempat bicara dengan dua orang warga binaan, keduanya mantan pengedar yang dijatuhi hukuman di atas 8 tahun. Ketika aku bertanya tentang perasaan mereka pada Kalapas, mereka menjawab positif. Mereka bilang dibanding Lapas Narkotika di Jakarta atau tempat lain (mereka sendiri berasal dari Jakarta), Lapas ini sangat disiplin (kelihatan dari sikap mereka ketika menyanyi di paduan suara tadi). Disiplin yang diterapkan di Lapas ini banyak mempengaruhi mereka secara positif. Good…

Dalam FGD yang dihadiri oleh beberapa warga binaan dan petugas Lapas juga memperlihatkan betapa Lapas ini memperhatikan warga binaannya. Mereka diberikan pelatihan Criminon yang berisi life-skill training. Mulanya yang menjadi instruktur adalah orang luar (Criminon sendiri berasal dari luar negeri). Lama-lama yang menjadi instruktur adalah warga binaan sendiri. Tidak jarang mereka diundang keluar untuk berbicara mengenai program pengembangan napi ini. Keterampilan komunikasi yang diajarkan di Criminon juga terasa pada saat FGD. Ah, mudah-mudahan mereka dapat menjadi contoh Lapas Narkotika yang baik. Lapas Narkotika Cipinang yang ada di Jakarta juga punya nafsu untuk menjadi Lapas terbaik di Indonesia, tapi apa daya…jumlah warga binaan jauh melebihi kapasitas Lapas itu sendiri. Bagaimana cara membina sekian banyak warga binaan? Hanya superman yang mampu melakukannya…and the superman is dead J

Kami menyelesaikan kunjungan di Lapassustik Cirebon sekitar pukul 8 malam. Setelah itu kami mencari tempat makan malam. Di perjalanan aku telepon Mbak Ami yang sedang berada di Cirebon. Mbak Ami sudah rada baikan, tapi dia merasa kakinya panjang sebelah setelah jatuh di depan rumah bulan Desember yang lalu. Aku katakan bahwa aku, Mbak Esthi dan Rini berencana mengunjungi Mbak Ami, tapi belum tahu waktunya kapan. Poor Mbak Ami….

Makan malam yang telat (lebih tepat disebut “supper”) akhirnya tiba pukul 22-an, di sebuah restoran Padang di Indramayu. Setelah makan malam, kami langsung menuju Depok, dan sampai di Depok pukul 2 dinihari. Cukup banyak mahasiswa yang turun di kampus. Mereka akan tidur di kampus, dan pulang jam 6 pagi. Aku minta diantar ke rumahku yang tidak jauh dari kampus, karena nanti jam 8 aku sudah harus di kampus lagi. Perasaanku bagaimana? Well, instead of sleepy, I felt like I’m going to fly all day. Aku akan balas dendam besok!!

Sunday, February 19, 2006


NUSAKAMBANGAN, I'M BACK!!

Setahun yang lalu aku berkunjung ke pulau Nusakambangan untuk yang pertama kali. Kesan pertama yang kudapatkan ketika itu adalah pulau penjara ini tidak terlalu menyeramkan. Para pengelola Lapas berusaha menciptakan kondisi se-friendly mungkin agar inmates di dalamnya tidak stres menghadapi hari-hari pembinaan mereka.

Tahun ini aku memiliki kesempatan sekali lagi mengunjungi pulau ini (thanks to Pak Enoch), dan kali ini dengan persiapan fisik dan mental yang lebih oke.

Perjalanan dimulai jam 7 pagi. Dari hotel kami menuju ke pelabuhan Tanjung Intan. Masuk kawasan pelabuhan ada retribusi dinas pariwisata Pemda setempat, kalau tidak salah dipungut Rp 1000 per kepala. Pulau Nusakambangan ini memang agak kontroversial. Di satu pihak, Departemen Hukum dan HAM yang mengklaim pulau ini sebagai miliknya ingin menjadikan pulau ini sebagai pulau penjara, bukan penjara di dalam pulau. Artinya, tidak boleh ada penduduk di sana. Artinya lagi, tidak boleh ada rencana menjadikan pulau ini sebagai tempat pariwisata. Di lain pihak, karena potensinya yang besar sebagai tempat pariwisata dan potensi lain dari sumber daya alamnya, pihak Pemda sangat menginginkan pulau ini. Tarik menarik antara Pemda Cilacap dan Departemen Hukum dan HAM ini membuat hubungan mereka akhir-akhir ini tidak harmonis dan merenggang.

Kami naik feri pukul 8 lewat, dan sampai di Nusakambangan sekitar pukul 9. Setelah berfoto bersama di depan tugu selamat datang di nusakambangan, kami menunggu truk yang akan mengangkut kami. Ya…truk adalah angkutan utama di pulau ini. Tahun lalu aku tidak sempat menikmati naik truk karena ada mahasiswa yang membawa mobil pribadi ke pulau ini.

Kami hanya diperbolehkan mengunjungi LP Besi. Keinginan mengunjungi LP Batu terpaksa diurungkan karena kami tidak diperbolehkan mengunjungi Amrozi dkk. Padahal kan cuman pengen liat Tommy...(masssiihh).

Sampai di LP Besi waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 pagi. Ibu-ibu istri para petugas Lapas sudah menunggu di saung depan penjara dengan makanan untuk sarapan berupa mie goreng dan teh hangat. Sarapan seadanya di Hotel Ayam (namanya bukan Hotel Ayam sih, tapi aku lupa namanya apa, sebetulnya tidak layak dinamakan “hotel”!) telah lenyap entah kemana, menyisakan rasa lapar karena tergoncang-goncang di dalam truk. Maka dengan rasa sukacita yang amat sangat, kami menyantap sarapan yang enak itu.

Ohya, ada yang kelupaan dari kisah perjalanan di dalam truk. Ketika sedang asyik menikmati perjalanan di jalanan yang tidak mulus, tiba-tiba ada mahasiswa yang nyeletuk,”Mbak Debby, saya baru tau kalo ternyata Mbak Debby itu istrinya Pak Hamdi”. Sempat terdiam dan membelalak karena kaget, sejenak kemudian aku tertawa terbahak-bahak dan bertanya,”Gosip dari mana itu?!” Pak Ramdhan yang sedang sibuk menerangkan tentang burung elang langka yang dilihatnya di atas sana (tapi asli aku tidak bisa melihatnya!) juga hanya tersenyum-senyum saja mendengar gosip itu. Maka aku terangkan Bang Hamdi bukan suamiku, dan aku pengen tahu siapa yang duluan menyebarkan berita tidak benar itu. Dengan rasa penasaran yang amat sangat mereka bertanya siapa suamiku. Hehehe…ada-ada saja.

Kembali ke LP Besi, setelah diterima oleh Kalapas Besi kami menuju ruang tunggu. Karena pasien LP Besi kebanyakan adalah dari kasus narkoba, agak kurang menarik membahasnya karena tidak banyak motif-motif kejahatan yang didapat. Kalau pengedar motifnya pasti uang, kalau pemakai ya faktor keluarga, lingkungan dan diri sendiri yang menjadi penyebabnya. Kebanyakan warga binaan yang ada di Lapas ini ya pemakai ya pengedar, karena syarat menjadi penghuni Lapas adalah vonis minimum 4 tahun penjara.

Setelah para mahasiswa melakukan interview kecil-kecilan, para warga binaan dan petugas Lapas mengisi kuesioner, dan FGD, kami pun meninggalkan LP Besi yang berpenghuni 122 orang ini untuk makan siang di Pantai Permisan, pantai yang sering digunakan oleh Kopassus untuk pembaretan. Di pantai ini kami makan siang yang dikemas dalam kotak sambil minum es kelapa muda yang segar. Yang nyediain lagi-lagi ibu-ibu, kali ini ibu-ibu dari LP Permisan tempat Pak Pande Lubis temannya Pak Joni mendekam. Sambil makan kami telah dikelilingi oleh para penjual batu yang menawarkan batu-batuannya dengan harga rata-rata Rp 20.000,- Sebelumnya aku sudah diwanti-wanti untuk tidak tertipu karena kadang-kadang mereka berbohong, katanya batu ternyata tangkai sikat gigi yang diasah. Ah, terkadang aku lupa kalau mereka telah mengalami penyimpangan perilaku, pengalaman telah mengajarkan mereka untuk berpikir dan bertindak kreatif.

Setelah acara makan siang berakhir, kami pun berangkat pulang. Sampai di Hotel sudah jam 3, dan kami hanya diberikan waktu sejam untuk bersiap-siap ke Yogyakarta. Ah kejam….capek banget! Tulang-tulangku serasa rontok semua karena terguncang-guncang dalam truk. Tapi aku berhasil mandi dan keramas sesampainya di hotel ayam, untung saja kami diberikan 1 kamar berdua. Gak kebayang mahasiswa-mahasiswa itu berebutan ke kamar mandi karena sekamar berlima.

Jam empat kami sudah take-off ke Yogya. Perjalanan sepanjang 5 jam dari Cilacap ke Yogya kami lalui tanpa hambatan, meskipun sepanjang perjalanan aku musti merem melek dan terkadang tutup kuping (aku ndak tau kenapa kalau ketakutan aku suka tutup kuping!) melihat manuver sang supir bis kalau mau nyalip kendaraan di depannya, ngeriiiiiiii…..Salah sendiri duduk paling depan!

Sampai di Hotel Ros-In Yogya sudah jam 9 malam. Untunglah hotel ini masih manusiawi, walaupun AC-nya tidak terlalu dingin dan air panasnya tak kunjung panas. Yang penting ada televisi yang keadaannya masih bagus. Baru nonton sedikit film Shallow Hal aku sudah tewas seketika, memenuhi panggilan alam. Zzzzzzz….see u tomorrow, my conscience….

LP WIROGUNAN, YOGYAKARTA

Hari Kamis, tanggal 17 Februari 2006 kami mengunjungi LP Wirogunan. Berangkat dari Hotel Ros-In jam 8.00 pagi, kami tiba di LP Wirogunan jam 9.00, diterima oleh Kalapas Bpk. Djoko.

Yang menarik pada acara penerimaan tamu adalah acara hiburan oleh kelompok vokal group kolaborasi antara petugas Lapas dan para napi. Pada perjalanan sebelum ini kami belum pernah diterima dengan gaya santai seperti ini. Baru acara pembukaan sudah ada acara nyanyi-nyanyi dan joget! Kelihatan sekali kalau penjagaan di LP ini tidak ketat. Waktu di Nusakambangan, kami tidak diperbolehkan membawa masuk HP dan peralatan elektronik ketika mengunjungi napi. Di Wirogunan, HP boleh ditenteng masuk, bebas-bebas saja.

LP Wirogunan dengan luas 32,8 hektar dan kapasitas 760 orang saat ini hanya dihuni 371 orang (terdiri atas napi dan tahanan).

Hal menarik lainnya adalah napi dengan kasus korupsi hanya 1 orang, itupun korupsi di koperasi. Yang paling banyak adalah napi dengan kasus narkoba. Mungkin orang Yogya jujur-jujur semua.

Sejak jaman belanda andalan Lapas ini adalah industri sepatu, pernah sampai diekspor keluar negri. Tetapi sekarang sudah mati, karena tidak ada investor yang menanamkan modal di industri ini. Fenomena ini sebetulnya juga terjadi di Lapas-lapas lain (ada 6 LP) yang memiliki pusat-pusat industri di Indonesia.

Dari hasil FGD, banyak permintaan warga binaan yang disampaikan tanpa rasa takut padahal ada juga petugas yang ikut FGD. Seorang warga binaan perempuan yang punya perkara penggelapan, nyeletuk minta dibolehin berpakaian bebas kalau ada keluarga yang bertamu seperti napi laki-laki. Lalu warga binaan lain minta agar air dapat lancar sampai ke kamar-kamar. Mereka juga ingin diberi kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga ketika mereka keluar dari Lapas tidak dengan tangan kosong. Permintaan lain adalah jika ada warga binaan dihukum karena melanggar aturan, petugasnya pun dihukum karena membantu warga binaan melanggar aturan.

FGD mengakhiri kunjungan kami ke Wirogunan. Setelah ini rencananya para mahasiswa akan ke Prambanan, but thank God tidak jadi. Panas di luar sampai 35 derajat Celsius, mereka nekat amat mau ke Prambanan yang lebih panas. Akhirnya kami jalan-jalan ke Malioboro karena setelah mengadakan polling, yang tetap ingin ke Prambanan hanya tinggal seorang. Perjalanan ke Malioboro dimulai dengan naik becak dari Gedung BI. Becak disewa selama hampir 3 jam untuk membawa kami keliling Malioboro, ke pusat batik Setaman dan tempat cikal bakal kaos Dagadu di Tamansari. Perjalanan di Malioboro diakhiri dengan jalan-jalan di Pasar Beringharjo. Belum selesai perjalanan di Beringharjo, hujan deras mengguyur Yogya. Dan satu hal lagi, aku lupa ada Iwai di kota ini!

Malam hari diadakan jamuan makan malam seadanya. Organ tunggal lengkap dengan penyanyi lokal nan seksi diundang. Unlike kakak kelasnya, angkatan kedua Psikologi Kriminal ini pada doyan menyanyi, sehingga sang penyanyi hampir tidak punya kesempatan bernyanyi. Untung aja penyanyinya cuman satu, kalau dua....mubazir! Tapi suara mereka oke-oke semua, ada satu orang mahasiswa yang punya suara paling oke, dan doyannya nyanyi sepanjang jalan. Gila, sepanjang jalan Yogya - Cirebon gak lepas dari mike!

Dasar anak kriminal, tanpa kenal ampun aku diseret untuk menyanyi di depan mereka. Padahal aku sudah minta ampun dan menolak habis-habisan, tidak bisa senekat dan sepede Ibu Buli menyanyi di depan mereka. Aku ndak tega memperdengarkan suaraku pada mereka. Tapi apa boleh buat, karena mereka memaksa, akupun bernyanyi bersama Mbak Tuti...yang pengen banget nyanyi tapi gak berani nyanyi sendirian.

Makan malam yang dijadwalkan sampai jam 10 malam molor sampai hampir 11.30. Pasalnya mereka belum puas menyanyi dan menari. Pak Ramdhan yang sangat menikmati acara itu sampai hampir melupakan anak istri…serasa masih bujangan…

Besok kami akan melanjutkan perjalanan ke Cirebon...masih ada tugas yang harus diemban. Malam ini bukan malam terakhir...hiks!

Monday, February 06, 2006

P3AKU and Graduation Ceremony in One Day

Sabtu, 4 Februari yang lalu adalah hari wisuda Pascasarjana di UI. Setelah beberapa kali berpartisipasi sebagai panitia wisuda, sebetulnya sama seperti wisuda tahun lalu, rasanya sudah tidak ada yang istimewa pada wisuda kali ini. Semuanya sudah menjadi sesuatu yang rutin buatku. Yang bikin semangat adalah makanannya yang tentu saja berbeda dengan makanan catering Jumat & Sabtu di Program Pascasarjana.

Karena sudah jadi rutinitas, maka ketika beberapa hari yang lalu Bu Wina mengajakku menjadi pemandu kuliah pelatihan P3AKU yang diadakan selama 2 hari (tanggal 3-4 Februari), aku menyanggupinya. Terutama karena beliau mengatakan bahwa hari Jumatnya akan di-cover sepenuhnya, sementara Sabtu pagi aku akan memandu sendirian, dan siangnya akan digantikan lagi oleh beliau. Aku sudah mengatakan jauh-jauh hari bahwa aku akan mengawasi jalannya wisuda pada hari gladi resik (Jumat sore) dan pada hari H-nya (yang dimulai sejak jam 12 siang).

Ternyata peserta P3AKU yang sedianya berjumlah 30 orang membludak menjadi 51 orang! Kasihan juga Bu Wina jadi pemandu sendirian di tengah 51 orang yang sudah pada mapan itu (setengah peserta adalah peserta Profesi PIO Non Reguler yang terkenal sangat serius kuliahnya pada semester lalu). Maka setelah Bu Wina bersolo karir selama 4 jam, dan setelah aku memastikan everything is under control pada upacara wisuda, aku join her pada sesi ballut. Masya Allah….very hectic class! Aku membayangkan akan memandu mereka sepagian besok…whaaaaaaa….

Pulang kuliah sudah jam 8.30 malam, aku cepat2 kembali ke rumah untuk mereview kembali bahan-bahan untuk besok pagi. Tapi aku cuman kuat 1 jam memelototi slide-slide Pak Budi di notebook-ku yang sebentar lagi berulang tahun yang pertama. Alam memanggilku untuk tidur. Jam sebelas, aku berangkat ke tempat tidur dan tertidur pulas. Jam 1 dini hari aku terbangun dengan perut mules. Setelahnya aku tidak bisa tidur lagi. Mataku terpejam, tapi otakku tetap bekerja. I hated that time!

Aku bangun dengan perasaan tidak enak dan badan yang hangat. Setelah sarapan seadanya kuambil vitamin C-ku. Mudah-mudahan tidak jadi sakit. Sesampai di kampus jam 8 pagi, mahasiswa sudah menunggu. Atau malah tidak? Mereka sedang sibuk melihat foto2 silaturahmi pada bulan Januari yang lalu. Kubiarkan mereka melakukan aktivitas mereka selama beberapa detik sampai mereka menyadari kehadiranku, dan setelah semuanya siap kuajak mereka diskusi mengenai kasus yang dibagikan tadi malam. Beberapa menit pertama melihat mereka diskusi, aku masih rada keder. Kubiarkan mereka diskusi sambil melihat celah dimana aku bisa mengomentari hasil diskusi. Untung ada Pak Budi yang tiba-tiba muncul, kayak juruselamat aja. Selama beberapa menit Pak Budi menyelamatkan aku, tapi kemudian menghilang lagi. I was completely alone afterwards.

Selama 2 jam pertama aku sepenuhnya mengabdikan diri sebagai pemandu kuliah. Setelah jam 10, ada sesi business game. Pada permainan ini, mereka diminta untuk membuat sebanyak mungkin produk pada kertas yang khusus disediakan untuk itu, ada time constraint-nya. Pada babak pertama aku berikan mereka waktu 15 menit. Sementara mereka dengan tekun memproduksi sebanyak-banyaknya bangun seperti yang diminta, aku lari ke lantai 4, tempat diadakannya upacara wisuda. Di sana aku melihat semua persiapan wisuda. Setelah memastikan semuanya beres, aku lari kembali ke lantai 1. waktunya pas 15 menit.

Setelah membahas hasil babak 1, aku turunkan waktu produksi menjadi 10 menit. Tentu saja banyak yang protes karena bingung menentukan target dalam 10 menit. Hehehe… Sampai jam 12 siang aku menjadi pemandu. Setelah jam 12, aku kembali ke lantai 4. Para wisudawan sudah berdatangan. Jam 12.30 upacara sudah dimulai, tapi Pak Sonny yang harus berpidato mewakili wisudawan belum juga datang. Kalau tensi darah Bu Erni naik karena para rohaniwan belum datang, maka tensi darahku naik karena Pak Sonny belum datang padahal Pak Enoch sudah hampir menyudahi kata sambutannya. He’s my responsibility, jangan sampai dia terlambat sehingga tidak ada wisudawan yang berpidato menyampaikan pesan dan kesan selama kuliah di sini.

Dengan panik aku minta seseorang untuk menelepon Pak Sonny. To my relief, sebelum ditelepon beliau sudah muncul, kelihatan panik juga. Huah…gile bener! Memang wisuda kali ini dimulai jam 12.30 agar dekan bisa ikut. Pukul 15 beliau sudah harus kembali ke balairung untuk wisuda S1. Alhasil mahasiswapun diharuskan buru-buru kembali ke fakultas. Beberapa terlambat datang, mungkin karena foto2 di balairung dulu.

Belum selesai pembagian perangkat lulus kepada para wisudawan, waktu sudah menunjukkan pukul 13.15. Aku harus memastikan apakah Bu Wina sudah datang. Maka aku lari ke lantai 1. Ternyata belum ada Bu Wina. Maka aku meneruskan kuliah sampai pukul 15, sesi terakhir P3AKU. Pada sesi jam 13, ada permainan kartu stratejik. Aku dibantu oleh Pak Henry, mahasiswa Profesi Non Reguler yang adalah adik dan kakak Rumeser bersaudara, yang semuanya dosen di Fakultas Psikologi UI. Pak Henry yang baik hati membantu memandu mahasiswa menerangkan aturan permainan. Ternyata Pak Henry sudah mencoba permainan itu sendiri di rumah, dan hanya dapat 27 langkah. Kali ini kutantang dia untuk menyelesaikannya kurang dari 14 langkah, and he couldn’t make it. Hehehe...

Setelah itu, langsung sesi rencana pengambangan diri. Di tengah jalan Bu Wina datang, ternyata terjebak macet di jalan. Ah, jalan-jalan di Jakarta memang menyebalkan akhir-akhir ini. Untung aku tinggal di Depok.

Hari ini sangat melelahkan…tapi aku senang. Mahasiswaku sangat menyenangkan, wisuda juga sukses, meskipun ada satu yang aku sesalkan, tidak sempat berfoto-foto bersama wisudawan, dan terutama tidak sempat berfoto bersama Pak James Dean-ku yang pada wisuda kali ini telah mengenakan toga guru besarnya.