NUSAKAMBANGAN, I'M BACK!!
Setahun yang lalu aku berkunjung ke pulau Nusakambangan untuk yang pertama kali. Kesan pertama yang kudapatkan ketika itu adalah pulau penjara ini tidak terlalu menyeramkan. Para pengelola Lapas berusaha menciptakan kondisi se-friendly mungkin agar inmates di dalamnya tidak stres menghadapi hari-hari pembinaan mereka.
Tahun ini aku memiliki kesempatan sekali lagi mengunjungi pulau ini (thanks to Pak Enoch), dan kali ini dengan persiapan fisik dan mental yang lebih oke.
Perjalanan dimulai jam 7 pagi. Dari hotel kami menuju ke pelabuhan Tanjung Intan. Masuk kawasan pelabuhan ada retribusi dinas pariwisata Pemda setempat, kalau tidak salah dipungut Rp 1000 per kepala. Pulau Nusakambangan ini memang agak kontroversial. Di satu pihak, Departemen Hukum dan HAM yang mengklaim pulau ini sebagai miliknya ingin menjadikan pulau ini sebagai pulau penjara, bukan penjara di dalam pulau. Artinya, tidak boleh ada penduduk di sana. Artinya lagi, tidak boleh ada rencana menjadikan pulau ini sebagai tempat pariwisata. Di lain pihak, karena potensinya yang besar sebagai tempat pariwisata dan potensi lain dari sumber daya alamnya, pihak Pemda sangat menginginkan pulau ini. Tarik menarik antara Pemda Cilacap dan Departemen Hukum dan HAM ini membuat hubungan mereka akhir-akhir ini tidak harmonis dan merenggang.
Kami naik feri pukul 8 lewat, dan sampai di Nusakambangan sekitar pukul 9. Setelah berfoto bersama di depan tugu selamat datang di nusakambangan, kami menunggu truk yang akan mengangkut kami. Ya…truk adalah angkutan utama di pulau ini. Tahun lalu aku tidak sempat menikmati naik truk karena ada mahasiswa yang membawa mobil pribadi ke pulau ini.
Kami hanya diperbolehkan mengunjungi LP Besi. Keinginan mengunjungi LP Batu terpaksa diurungkan karena kami tidak diperbolehkan mengunjungi Amrozi dkk. Padahal kan cuman pengen liat Tommy...(masssiihh).
Sampai di LP Besi waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 pagi. Ibu-ibu istri para petugas Lapas sudah menunggu di saung depan penjara dengan makanan untuk sarapan berupa mie goreng dan teh hangat. Sarapan seadanya di Hotel Ayam (namanya bukan Hotel Ayam sih, tapi aku lupa namanya apa, sebetulnya tidak layak dinamakan “hotel”!) telah lenyap entah kemana, menyisakan rasa lapar karena tergoncang-goncang di dalam truk. Maka dengan rasa sukacita yang amat sangat, kami menyantap sarapan yang enak itu.
Ohya, ada yang kelupaan dari kisah perjalanan di dalam truk. Ketika sedang asyik menikmati perjalanan di jalanan yang tidak mulus, tiba-tiba ada mahasiswa yang nyeletuk,”Mbak Debby, saya baru tau kalo ternyata Mbak Debby itu istrinya Pak Hamdi”. Sempat terdiam dan membelalak karena kaget, sejenak kemudian aku tertawa terbahak-bahak dan bertanya,”Gosip dari mana itu?!” Pak Ramdhan yang sedang sibuk menerangkan tentang burung elang langka yang dilihatnya di atas sana (tapi asli aku tidak bisa melihatnya!) juga hanya tersenyum-senyum saja mendengar gosip itu. Maka aku terangkan Bang Hamdi bukan suamiku, dan aku pengen tahu siapa yang duluan menyebarkan berita tidak benar itu. Dengan rasa penasaran yang amat sangat mereka bertanya siapa suamiku. Hehehe…ada-ada saja.
Kembali ke LP Besi, setelah diterima oleh Kalapas Besi kami menuju ruang tunggu. Karena pasien LP Besi kebanyakan adalah dari kasus narkoba, agak kurang menarik membahasnya karena tidak banyak motif-motif kejahatan yang didapat. Kalau pengedar motifnya pasti uang, kalau pemakai ya faktor keluarga, lingkungan dan diri sendiri yang menjadi penyebabnya. Kebanyakan warga binaan yang ada di Lapas ini ya pemakai ya pengedar, karena syarat menjadi penghuni Lapas adalah vonis minimum 4 tahun penjara.
Setelah para mahasiswa melakukan interview kecil-kecilan, para warga binaan dan petugas Lapas mengisi kuesioner, dan FGD, kami pun meninggalkan LP Besi yang berpenghuni 122 orang ini untuk makan siang di Pantai Permisan, pantai yang sering digunakan oleh Kopassus untuk pembaretan. Di pantai ini kami makan siang yang dikemas dalam kotak sambil minum es kelapa muda yang segar. Yang nyediain lagi-lagi ibu-ibu, kali ini ibu-ibu dari LP Permisan tempat Pak Pande Lubis temannya Pak Joni mendekam. Sambil makan kami telah dikelilingi oleh para penjual batu yang menawarkan batu-batuannya dengan harga rata-rata Rp 20.000,- Sebelumnya aku sudah diwanti-wanti untuk tidak tertipu karena kadang-kadang mereka berbohong, katanya batu ternyata tangkai sikat gigi yang diasah. Ah, terkadang aku lupa kalau mereka telah mengalami penyimpangan perilaku, pengalaman telah mengajarkan mereka untuk berpikir dan bertindak kreatif.
Setelah acara makan siang berakhir, kami pun berangkat pulang. Sampai di Hotel sudah jam 3, dan kami hanya diberikan waktu sejam untuk bersiap-siap ke Yogyakarta. Ah kejam….capek banget! Tulang-tulangku serasa rontok semua karena terguncang-guncang dalam truk. Tapi aku berhasil mandi dan keramas sesampainya di hotel ayam, untung saja kami diberikan 1 kamar berdua. Gak kebayang mahasiswa-mahasiswa itu berebutan ke kamar mandi karena sekamar berlima.
Jam empat kami sudah take-off ke Yogya. Perjalanan sepanjang 5 jam dari Cilacap ke Yogya kami lalui tanpa hambatan, meskipun sepanjang perjalanan aku musti merem melek dan terkadang tutup kuping (aku ndak tau kenapa kalau ketakutan aku suka tutup kuping!) melihat manuver sang supir bis kalau mau nyalip kendaraan di depannya, ngeriiiiiiii…..Salah sendiri duduk paling depan!
Sampai di Hotel Ros-In Yogya sudah jam 9 malam. Untunglah hotel ini masih manusiawi, walaupun AC-nya tidak terlalu dingin dan air panasnya tak kunjung panas. Yang penting ada televisi yang keadaannya masih bagus. Baru nonton sedikit film Shallow Hal aku sudah tewas seketika, memenuhi panggilan alam. Zzzzzzz….see u tomorrow, my conscience….
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home