The Matchmaker Business
Sudah sejak lama perjodohan merupakan sesuatu yang tabu buat keluargaku. Orangtuaku adalah orang yang open-minded (setidaknya sampai beberapa waktu yang lalu). Buktinya ketika ada orang yang minta dijodohkan denganku, ayahku menolak mentah-mentah dengan alasan aku sendirilah yang harus menentukan dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku nanti. Bijaksana juga ya…Iseng aku pernah bertanya sambil terkagum-kagum mengapa ayahku bisa sebijaksana itu, dan dijawab ringan,”lha kalau dijodohin, trus ternyata suamimu gak bener, yang kamu salahkan pasti orangtua. Malas ah dimarahin sama orang galak” hehehe…
Tapi aku yakin sikap ayahku yang seperti itu karena pernikahannya dengan mamaku adalah pilihannya sendiri, yang pada mulanya ditolak mentah-mentah oleh keluarganya. Dari pengalaman pernikahannya sendiri, ayahku berkesimpulan tidak ada salahnya jika anak-anak menikah dengan pilihannya sendiri. Sehingga aku yang anak perempuan semata wayangnya bebas saja menentukan pilihanku. Yang gerah barangkali adalah my extended family (biasalah orang Indonesia, yang namanya keluarga bukan cuman ayah, ibu dan anak-anak, kalau lagi ada rapat keluarga iparnya sepupu opung juga punya suara kali…kenceng lagi suaranya!)
Itulah yang terjadi padaku. Ketika aku memutuskan berpacaran dengan orang yang bukan berasal dari etnisku, tidak ada masalah pada orangtuaku. Malah mereka sering bertanya,”Kapan akan menikah?” Tetapi jika berada di antara keluargaku pada sebuah pertemuan keluarga, seluruh keluarga menolak mentah-mentah dan orangtuaku terdiam seribu bahasa. Pulang dari pertemuan aku bertanya pada ayahku,”Bapak kenapa tadi tidak membela aku?” dan jawabnya,”ntar masalahnya jadi panjang, biarkan saja mereka”
Kebijaksanaan mereka ternyata tidak berlanjut sampai hari ini (setidaknya begitulah menurutku). Selama beberapa waktu ini, ada saja orang datang ke rumahku sebagai utusan ayahku dan menanyakan “kapan menikah?” atau menawarkan anak atau saudaranya untuk menjadi jodohku. Oh my God…kenapa ayahku jadi begini? Sebetulnya aku ingin menikah, membahagiakan orangtuaku, dan lain-lain…tapi tidak begini caranya. Tindakan ayahku malah membuatku tidak ingin menikah!
Di keluargaku, aku sebetulnya bukan tipe orang yang mudah agreeable. Di mata ayahku, aku adalah seorang pemberontak, tidak mudah diatur, dan tidak mau dengar nasihat. Aku berani bilang “tidak” pada ayahku. Beruntunglah aku dititipkan Tuhan pada keluarga ini, karena orangtuaku bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, dan tidak mudah sakit hati karena anak-anaknya yang punya karakter macam-macam. Mereka memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada kami anak-anaknya untuk menentukan sendiri jalan hidup kami.
Dan itulah yang sedang aku lakukan sekarang. What’s so wrong with being single? Hehehehe...
But I am not that radical. I still want to be married, have a husband, many children and all that come with that. Dalam hal perjodohan ini, aku membuang prinsipku yang “Only dead fish follow the current, and I am no dead fish”. Instead aku jalani saja hidupku seperti air, mengalir saja mengikuti arus…Aku masih berharap someday aku menemukan my real soulmate, seorang yang memahami aku dan menerima aku apa adanya. Peganganku cuman sebuah ayat,”Untuk segala sesuatu ada masanya” dan kata orang bijak “Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya”. So what’s to worry about?
Sudah sejak lama perjodohan merupakan sesuatu yang tabu buat keluargaku. Orangtuaku adalah orang yang open-minded (setidaknya sampai beberapa waktu yang lalu). Buktinya ketika ada orang yang minta dijodohkan denganku, ayahku menolak mentah-mentah dengan alasan aku sendirilah yang harus menentukan dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku nanti. Bijaksana juga ya…Iseng aku pernah bertanya sambil terkagum-kagum mengapa ayahku bisa sebijaksana itu, dan dijawab ringan,”lha kalau dijodohin, trus ternyata suamimu gak bener, yang kamu salahkan pasti orangtua. Malas ah dimarahin sama orang galak” hehehe…
Tapi aku yakin sikap ayahku yang seperti itu karena pernikahannya dengan mamaku adalah pilihannya sendiri, yang pada mulanya ditolak mentah-mentah oleh keluarganya. Dari pengalaman pernikahannya sendiri, ayahku berkesimpulan tidak ada salahnya jika anak-anak menikah dengan pilihannya sendiri. Sehingga aku yang anak perempuan semata wayangnya bebas saja menentukan pilihanku. Yang gerah barangkali adalah my extended family (biasalah orang Indonesia, yang namanya keluarga bukan cuman ayah, ibu dan anak-anak, kalau lagi ada rapat keluarga iparnya sepupu opung juga punya suara kali…kenceng lagi suaranya!)
Itulah yang terjadi padaku. Ketika aku memutuskan berpacaran dengan orang yang bukan berasal dari etnisku, tidak ada masalah pada orangtuaku. Malah mereka sering bertanya,”Kapan akan menikah?” Tetapi jika berada di antara keluargaku pada sebuah pertemuan keluarga, seluruh keluarga menolak mentah-mentah dan orangtuaku terdiam seribu bahasa. Pulang dari pertemuan aku bertanya pada ayahku,”Bapak kenapa tadi tidak membela aku?” dan jawabnya,”ntar masalahnya jadi panjang, biarkan saja mereka”
Kebijaksanaan mereka ternyata tidak berlanjut sampai hari ini (setidaknya begitulah menurutku). Selama beberapa waktu ini, ada saja orang datang ke rumahku sebagai utusan ayahku dan menanyakan “kapan menikah?” atau menawarkan anak atau saudaranya untuk menjadi jodohku. Oh my God…kenapa ayahku jadi begini? Sebetulnya aku ingin menikah, membahagiakan orangtuaku, dan lain-lain…tapi tidak begini caranya. Tindakan ayahku malah membuatku tidak ingin menikah!
Di keluargaku, aku sebetulnya bukan tipe orang yang mudah agreeable. Di mata ayahku, aku adalah seorang pemberontak, tidak mudah diatur, dan tidak mau dengar nasihat. Aku berani bilang “tidak” pada ayahku. Beruntunglah aku dititipkan Tuhan pada keluarga ini, karena orangtuaku bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, dan tidak mudah sakit hati karena anak-anaknya yang punya karakter macam-macam. Mereka memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada kami anak-anaknya untuk menentukan sendiri jalan hidup kami.
Dan itulah yang sedang aku lakukan sekarang. What’s so wrong with being single? Hehehehe...
But I am not that radical. I still want to be married, have a husband, many children and all that come with that. Dalam hal perjodohan ini, aku membuang prinsipku yang “Only dead fish follow the current, and I am no dead fish”. Instead aku jalani saja hidupku seperti air, mengalir saja mengikuti arus…Aku masih berharap someday aku menemukan my real soulmate, seorang yang memahami aku dan menerima aku apa adanya. Peganganku cuman sebuah ayat,”Untuk segala sesuatu ada masanya” dan kata orang bijak “Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya”. So what’s to worry about?
1 Comments:
Such a excellent blog - hope you can keep it going. This site has helped many people looking for: how to write a thesis statement No more wondering how to write a thesis statement
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home