Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Monday, January 23, 2006

Magnifier Effect

Seminggu lalu, Prof Fuad Hassan (yang akrab dipanggil Pak Fuad saja) yang menjadi promotor seorang Kandidat Doktor di Fakultas Psikologi membacakan kesan dan pesan tentang sang promovenda pada sebuah acara promosi doktor. Pesan promotor itu ditulis sendiri olehnya, dan dibacakan tepat pada saat promovenda/promovendus telah dinyatakan lulus dan boleh menyandang gelar Doktor di depan namanya.

Penglihatan Pak Fuad sudah mengalami penurunan drastis, yang membuat beliau harus mengenakan magnifier khusus sebagai penambah penglihatannya di samping kacamata yang tentu saja sudah sangat tebal. Mata yang sudah tidak bisa membaca tulisan yang kecil-kecil itu dipaksa untuk membaca tulisannya sendiri. Baru setengah halaman yang dibaca, beliau sudah give-up, mengeluh capek dan lebih memilih pidato tanpa teks.

Sejak terjadinya penurunan drastis pada penglihatannya, Pak Fuad memang sudah merasa sangat tersiksa. Jarak pandang menjadi sangat dekat. Dulu dari jauh beliau sudah melihat aku dan menyapa dengan hangat. Sekarang ini, dari jarak 10 meter beliau baru mengernyit (sadar ada manusia lain di depannya), dan pada jarang 2 meter baru beliau 'ngeh' siapa aku. Sejak saat itu, harapannya hanyalah agar ketika bangun tidur pagi-pagi dia menemukan matanya sudah normal kembali. Tidak bisa membaca lagi adalah siksaan berat buat Pak Fuad.

Siang ini Pak Fuad menghampiri mejaku sambil bertanya apakah aku mengerti tentang ilmu teknik. Sambil tertawa aku bilang tidak, tapi lebih lanjut aku katakan,"coba lihat apa yang ingin Bapak tanyakan". Dia mengeluarkan sebuah magnifier besar (sebesar kertas Folio) dan magnifier kecil dan menanyakan bagaimana cara menggunakannya.

Di mejaku telah berkumpul Ibu Semi, Ibu Gurit dan Mbak Isti yang berusaha membantu Pak Fuad dengan skill teknik yang pas-pasan. Di benakku terbayang disain sebuah dingklik dengan kaki-kaki di sebelah kanan dan kiri magnifier. Kemudian ada tawaran disain dari Ibu Semi untuk membuat seperti penyangga Alquran. Ibu Gurit menambahkan dengan membuat penyangga beberapa ukuran karena ketebalan buku yang berbeda-beda. Akhirnya Pak Fuad menambahkan disain dari aku dengan roda yang bisa membuat magnifier itu naik turun.

Setelah itu, aku mengamati magnifier tersebut. Baik yang kecil maupun yang besar ternyata hanya dapat memperbesar tulisan 2x saja...bukankah percuma? Pak Fuad tidak peduli. Meskipun beliau tetap tidak dapat melihat tulisan yang sudah diberi magnifier, tetap ingin membuat sebuah penyangga untuknya. Beliau merasa senang karena magnifier tersebut diperoleh dari seorang kenalan. Beliau akan mencari tukang kayu yang dapat membuat penyangga magnifier itu, sehingga beliau setidaknya dapat melihat tulisan menjadi lebih besar, meskipun belum tentu dapat membacanya. Ah Pak Fuad...aku jadi malu karena aku yang punya mata normal saja (tidak terlalu normal sebetulnya karena aku mengenakan kacamata minus) sudah malas membaca, apalagi buku-buku filsafat dan buku ilmiah lainnya.

Sunday, January 01, 2006

Suatu Hari di Pajak Simpang Kuala

Hari terakhir tahun 2005 aku bermaksud melakukan sesuatu yang unforgettable in my life. Beberapa hari sebelumnya aku putuskan untuk membantu tanteku berjualan ikan mas hidup di pasar Simpang Kuala, tidak jauh dari rumahnya. Kebetulan tanteku tidak ada yang bantu hari itu. Biasanya Banco anak tante yang sekolah di Bandung pulang tiap akhir tahun, dan selalu membantunya di hari-hari paling sibuk buat orang Medan itu. Tapi kali ini Banco tidak bisa pulang, karena harus menemani adik bungsunya yang menjalani operasi di Malang. Dari empat anak tante, hanya 1 yang tinggal di Medan. 2 lainnya tinggal di Bandung, dan yang paling bungsu tinggal di Malang. Yang tinggal di Medan tidak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang cukup besar seperti berjualan ikan. I admire my aunt for doing the job alone while her husband is hospitalized.

Jadi, aku memutuskan untuk membantu tante berjualan. Hitung-hitung cari pengalaman. Pagi-pagi buta tante sudah muncul di rumah (setiap malam beliau tidur di hospital menemani uda, suaminya) dan siap-siap jualan. Aku bahkan belum sanggup membuka mata ketika beliau bersiap-siap berangkat “ngantor”. Jadi aku berjanji akan berangkat as soon as possible after shower. Tapi paginya aku jam 9! Ditemani Adnes, aku berangkat diiringi pandangan meremehkan dari mama dan bapakku. Mereka pikir, paling-paling aku bertahan cuman 2 jam di sana.

Sesampai di lapak tante, pembeli sudah banyak antri. Kewalahan melayani pembeli, tante langsung mencemplungkan aku ke arena tanpa memberikan pelatihan terlebih dahulu. Wuah, mana aku tau cara menimbang pake neraca? Melihat aku kebingungan, tanteku tertawa sambil bilang aku sebaiknya jadi kasir saja. So there I was, holding wet money from the buyers. Untuk beberapa lama I stayed as cashier, tapi aku sangat ingin membantu memasukkan ikan-ikan ke dalam kantong plastik dan menimbangnya. Yang aku tidak ingin adalah membunuh ikan-ikan itu. Poor gold fishes, no wonder why Adnes tidak mau lagi makan ikan mas. So I helped a little bit…in an awkward gestures. Ada pembeli yang tersenyum memahami kegagalan demi kegagalan aku menangkap ikan, ada juga yang dengan sadis bilang aku hanya bermain-main dengan ikan. Lalu ada lagi yang ngomong dalam bahasa batak, untung aku tidak ngerti artinya, kalau ngerti barangkali aku bisa tonjok dia. Tanteku dengan sabar dan sesekali tertawa geli melihat usahaku, sambil menerangkan kepada pelanggannya bahwa ini baru pertama kali aku berkarir di pasar.

Entah karena ada aku (ge-er!) atau memang karena besok tahun baru, pembeli tidak pernah habis-habisnya. Aku jarang bisa istirahat walaupun kerjaanku hanya mengambil uang dari pembeli dan memberi kembaliannya. Ternyata jadi kasirpun ada tantangannya. Some customers bisa tega mengurangi harga ikan tanpa setahu tante. Untung aku selalu alert pada instruksi tanteku, sehingga aku pun tega tidak memberi diskon sesen pun kepada mereka. Yang aku butuhkan dari tanteku hanyalah informasi berapa kilo ikan yang dibeli, maka dengan cepat aku hitung berapa harga yang harus dibayar pembeli. Handphone-ku berganti fungsi jadi kalkulator, karena kalau mengandalkan hitungan tante, angka selalu dibulatkan ke bawah. Kalau selisihnya 100 rupiah sih tidak apa-apa, lha kalau 900 rupiah lumayan juga. Masa harga seharusnya 31.900 dibulatkan jadi 31.000 saja? Mungkin sebagian pelanggan tidak terlalu senang aku ada di sini, karena mereka tidak bisa untung hitung-hitungan uang.

Pada beberapa kesempatan aku mencoba mengambil waktu istirahat. Ada tempat duduk kosong di belakang penjual bumbu-bumbu. Dari sana aku menonton tanteku yang sibuk melayani pembeli. Jika pembelinya ingin ikan-ikan tersebut dibunuh dan dipotong, maka it takes more than 3 minutes to chop 3 fishes. Biasanya permintaan mereka adalah membersihkan insangnya, memotong ikan-ikan tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, dan membelah kepalanya. Dengan gesit tanteku melakukan permintaan mereka, sementara aku in horror menatap tanteku yang berubah jadi butcher. She was a very delicate woman once.

Sebenarnya saat-saat tanteku memotong-motong ikan adalah saat-saat aku bisa beristirahat. Aku bisa istirahat sambil melihat ke sekelilingku. Dekat dengan lapak tante, ada lapak pembantaian ayam hidup. Kadang-kadang darah ayam yang sedang meregang nyawa muncrat dan percikannya bisa terbang beberapa meter, sampai mengenai tangan atau kakiku. I think I am going crazy if I spend 3 days of my life in this place. Seumur-umur aku tidak pernah melihat ataupun mendengar ayam dipotong. Dulu ibuku selalu memotong sendiri ayamnya. Kalau tidak bisa menghindar dari tempat pembantaian, biasanya aku melihat ke arah lain sambil menutup telinga. Sekarang tiap kali ayam dipotong aku harus mendengar suaranya sedang kesakitan atau ikan yang meronta-ronta waktu kepalanya digetok agar pingsan (dan dipotong sambil menggelepar!). Barangkali beberapa hari di tempat ini, aku bisa jadi pembunuh bayaran tahun 2006! (maksudnya pembunuh ikan atau ayam).

Waktu makan siang tiba, mamaku datang membawakan makan siang buat aku dan tante. Tapi hampir tidak ada waktu untuk makan siang karena pembeli selalu ada. Sampai-sampai mamaku yang sama tidak pengalamannya denganku turut mencoba membantu. Tapi tanteku melarang mama memegang air, kuatir beliau jatuh sakit. Mama memang mudah sekali sakit. Akhirnya karena dilarang terus, mama memutuskan pulang saja ke rumah. Aku belum mau pulang, karena uang tante sudah rapi disusun-susun, kalau tante ditinggal sendiri nanti uangnya berantakan lagi.

Jika uang-uang sudah tersimpan rapi di tas pinggang milik tante, aku belajar menangkap ikan. Tidak tega melihat ikan-ikan itu panik, aku berusaha tidak melihat matanya. Pada permulaannya aku masih takut-takut, tapi lama kelamaan terbiasa juga. Tapi until the end of the day, aku masih belum bisa menangkap ikan setangkas tanteku.

Kehidupan pasar yang penuh persaingan terselubung membuat aku kagum pada tanteku. Betapa tidak, selain tanteku ada beberapa penjual ikan mas di sana. Pembeli bebas memilih salah satu dari mereka dan yang tidak terpilih harus menerima dengan lapang dada. Pada hari-hari high demand seperti hari ini barangkali tidak masalah jika pelanggan melirik penjual ikan lain, karena masih banyak pembeli lain yang akan datang. Tapi bagaimana dengan hari-hari lainnya? Here I am, watching my aunt trying to sell her fishes with patience and smile. What a tough day for her, mengingat masa-masa sebelum suaminya pensiun dini dari Pertamina adalah masa-masa indah dimana dia masih bisa menikmati hidup yang lebih enak. Seandainya suaminya tidak mengambil program pensiun dini bertahun-tahun yang lalu, tahun ini mereka masih menikmati masa persiapan pensiun.

Anyway, seharian ini kami telah menjual dengan sukses lebih dari 100 kilo gold fishes dan beberapa kilo ikan lele. Di tas pinggang tante ada uang lebih dari Rp 4 juta, entah berapa keuntungan yang didapatkan tante hari ini. Aku harap cukup banyak. Sepulang dari pasar (jam 7 malam!) aku mandi sangat lamaaaa untuk menghilangkan bau ikan dan percikan darah ayam yang menempel di kakiku. Sesudah mandi tante ingin mentraktir aku makan mie goreng dekat rumah sakit. Meskipun badanku remuk redam karena kecapean, aku ikut tante naik becak motor ke rumah sakit. Tante tidur di rumah sakit malam ini. Adikku Albert yang sedang berada di rumah sakit tidak mau jemput ke rumah, katanya mau hemat bensin. Well, naik becak mungkin bikin masuk angin, tapi what the hell…this is new year’s eve.

Cukup lama juga kami sampai di rumah sakit, karena jalanan sangat macet dan tukang becaknya tidak tahu jalan sehingga kami sempat tersesat di Kampung Keling yang terletak belakang rumah sakit. Sambil menikmati kemacetan dan pesta kembang api, aku sibuk menerima dan mengirim sms selamat tahun baru dari dan ke teman-teman. Ada satu sms bagus dari Vemmy si anak Paus (hehehe..dia dipanggil anak Paus karena bapaknya adalah Ketua Sinode GPIB, yang kalau di-compare dengan hirarki gereja Katolik setara dengan Paus). SMS-nya sangat religius, dan aku minta ijin dia untuk menyebarkannya ke teman-temanku yang lain. Mudah-mudahan mereka tidak menerima sms yang sama dari sumber lain. Paling-paling semua teman yang dapat sms ini akan berkomentar,”kayaknya ini bukan Debby banget!” Sama seperti komentarku untuk Vivi yang mengirim SMS selamat natal dengan kata-kata religius, yang aku balas demikian,”ini bukan lo yang bikin sendiri kan Vi?” dan dijawab,”iya, itu SMS dari romo gue”.

Sesampai di rumah sakit setelah muter-muter, Albert dan Adnes sudah menunggu dengan kelaparan. Tante memberiku uang 50 ribu untuk membeli makan malam kami bertiga. Sambil menikmati macetnya jalan, kami jalan pelan-pelan mencari tempat makan, dan jalan pelan-pelan menuju rumah. Rasanya tidak pernah Albert menyetir mobil kurang dari 40 km/jam di jalan-jalan sepi kendaraan. Kayaknya dia tidak mau sampai di rumah kurang dari jam 12 malam, and I knew why. Tradisi keluarga (dan keluarga-keluarga batak lainnya) adalah melakukan kebaktian malam tahun baru tepat jam 12. Dia paling tidak suka melakukan itu, karena harus minta maaf pada seluruh keluarga for his misbehavings in the past year. And I didn’t like it either, because this has become a routine thing, after all I don’t have any mistake to discuss about. Dan karena kami sampai di rumah kurang dari jam 12 malam, maka terjadilah itu. And guess what his speech was: I am so sorry for the mistakes I did last year, that’s all…and I’m doing this all over again in 2007. Hehehe…forgive us parents, for our misbehavings that let you down.