Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Wednesday, March 15, 2006

HaPpY BiRtHdAy To ME

Today’s my birthday, I’m almost in the middle of my 30’s and feel like I haven’t got any achievement in any aspect of my life yet. My life pace was very slow, though often at the end of the day I ran pretty fast, made many promises that I’d do everything better tomorrow since I regretted getting on my bed so early. Ended up doing some routine jobs the day after, and no idea of doing any creative thing for myself lately.

People pray for me; mom, dad, brothers, friends, and I haven’t prayed for myself for years. Course I don’t loose faith in God, in fact this year always went to the church. I just don’t believe that God wants to speak to me anymore. Or maybe God talks to me in a routine way that I unconsciously hear that. Oh God, please be creative….

Actually I don’t want to grudge about all things that I haven’t accepted or all things that I haven’t done. This is my birthday! I’m supposed to be happy, as happy as my friends around me hoping me to treat them for lunch or dinner. I should be happy because I could reach the age of 34 without any difficulty. I should be happy because I have been in a good shape and healthy has sticken like glue for the past seven years (THANK GOD!). I should be happy because many of my old friends never forget my birthday. I should be happy because many of my friends love me the way I am. I should be happy because I can make everyone happy.

I should be happy for many other things that come to my mind, so what am I complaining here?
Happy Birthday to ME…and thank you to all MY FRIENDS that make my heart feel like a rainbow today.

Tuesday, March 14, 2006

“Brokeback Mountain”

Film “Brokeback Mountain” yang pada ajang bergengsi Academy Award mendapat sebuah Piala Oscar untuk The Best Director (Ang Lee) cukup menarik banyak perhatian dunia, tak terkecuali perhatianku. Seperti biasa, film yang masuk nominasi Academy Award selalu menarik perhatianku untuk ditonton.

Sejak semula aku sudah tahu film ini mengisahkan cinta terlarang dua orang gay. Tapi aku tidak menyangka kisah cinta itu akan digambarkan begitu gamblang. Aku jadi sangat tidak suka pada film ini (minta maaf kepada kaum gay karena ternyata sampai saat ini saya belum dapat memahami percintaan jenis ini).

Film yang mengambil setting tahun 1960-an ini mengisahkan dua orang cowboy Texas yang ditugasi menggembalakan domba di daerah Brokeback Mountain, perbatasan Wyoming dan Texas. Seorang sudah menjadi gay dari sononya, dan seorang lagi “terpaksa” menjadi gay karena “force of nature”. Sepanjang summer sampai winter mereka memang hanya berdua saja mengawasi domba-domba ditemani seekor anjing. Ang Lee menerjemahkan “force of nature” itu sebagai “loneliness” yang dialami oleh the straight man yang “memaksanya” untuk menyalurkan kebutuhan pada rekannya yang orientasi seksualnya telah berbeda sejak semula. Jika ada seorang wanita di antara mereka, mungkin ceritanya akan lain.

Di pertengahan film, dikisahkan keinginan lelaki yang sebelumnya normal untuk hidup normal kembali dengan meninggalkan kekasih barunya dan menikahi pacarnya yang seorang wanita. Awalnya dia mampu hidup normal kembali, memiliki dua orang anak perempuan dan mencintai istrinya sepenuh hati. Akan tetapi hubungan dengan sang istri pun menjadi berbeda (melakukan anal sex pada istrinya dengan alasan agar istrinya tidak hamil lagi). Di lain pihak, kekasih Brokeback Mountainnya pun telah berkeluarga, dan memiliki seorang anak lelaki.

Setelah bertahun-tahun berpisah, kedua lelaki tersebut dipertemukan kembali. Kali ini dengan cinta yang sangat membara dan tanpa memperdulikan sekitarnya (bayangkan sikap masyarakat terhadap mereka pada masa itu jika ketahuan). Artinya, penyimpangan seksual yang dialami lelaki tersebut ternyata permanen. Well, film ini mengajarkan apa sih?

Film yang menuai banyak kontroversi ini seperti mencoba menegakkan tesis “gay” bukanlah sekedar bawaan (faktor genetik). Padahal setahu aku yang awam pada pengetahuan tentang ini, pengaruh lingkungan berupa “gay style” bukan pengaruh yang menetap. Jika lingkungannya kemudian berubah, orientasi seksualnya pun dapat berubah ke arah normal kembali. Tapi tidak di dalam film ini. Uupppsss…sok tau ya? Ntar deh aku tanyain seorang temanku dari SYLFF yang sedang melakukan penelitian tentang kehidupan homoseksual di Jakarta untuk disertasinya.

Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengannya pada sebuah acara promosi doktor di tempatku, dan sempat melakukan diskusi kecil dengan suara rendah (maklum, diskusinya dilakukan tepat pada saat acara promosi berlangsung) tentang hasil sementara penelitiannya. Temanku ini sendiri (nama sengaja dirahasiakan demi kepentingan ybs) adalah seorang bapak dengan dua anak yang sedang mencoba memahami dan menjiwai dunia homoseksual dengan metode kualitatif, yang membuat dia harus melakukan hal-hal yang dilakukan oleh seorang gay. Sampai dimana kira-kira tindakannya? Wallahualam…. hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, saking menariknya topik disertasi tersebut, dia sampai menjadi rebutan beberapa profesor untuk dibimbing.

Aku bukan orang yang religius, dan aku pikir inipun tidak ada hubungannya dengan religiusitas. Tapi aku punya pendirian sendiri tentang hal ini yang tidak ada sangkut pautnya dengan perintah Tuhan. Aku belum dapat menyetujui kehidupan gay, sehingga aku tidak suka pada film ini. Ternyata kaum lelaki pun setahu aku tidak suka pada film ini. Banyak yang menyatakan menyesal telah menonton, atau hanya menonton setengahnya saja. Si Mogly yang biasanya semangat nonton film X-rated ketika ditawari film ini menolak mentah-mentah. Katanya lebih baik nonton 9 songs berkali-kali daripada nonton Brokeback Mountain sekali. Dasar lelaki!

Tiba-tiba teringat film “Philadelphia”, one of my favorite movies yang dibintangi oleh Tom Hanks. Tom memerankan seorang gay yang mengidap HIV/AIDS. Film itu sangat menyentuh nurani, dan aku tidak terlalu peduli pada orientasi seksual Tom, karena fokus film itu bukan pada cinta Tom dan pasangan gaynya, tetapi pada perjuangannya memperoleh keadilan sebagai seorang pengidap HIV/AIDS. Mbok yao, kalau mau bikin film tentang gay yang seperti itu sajalah…

Thursday, March 09, 2006


Berita duka: Dana Reeves meninggal….

Hari ini aku membaca berita meninggalnya Dana Reeves, istri dari mendiang Christopher Reeves, Superman sang pembela kebenaran. Dana meninggal dunia hari Senin, 6 Maret yang lalu karena kanker paru-paru dalam usia yang cukup muda, 44 tahun. Dua tahun yang lalu, Christopher telah meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. They are meant for each other, I guess...Aahhh so sweeeettt.

Mungkin berita ini akan biasa-biasa saja kalau aku tidak nonton Oprah Winfrey Show beberapa waktu yang lalu. Aku juga tidak terlalu mengenal mereka (ya iyalaaahhh..emang siapa gue?) karena Christopher Reeves bukan idolaku. Aku mengenal dia sebagai tokoh Superman yang legendaris di film lawas Superman I – III. Tapi dari acara Oprah show aku jadi tahu bagaimana perjuangan Dana Reeves menghadapi sakit yang diderita suaminya.

Aku tidak nonton keseluruhan show, tapi pada suatu titik aku tertarik pada eulogy yang disampaikan Dana pada acara pemakaman suaminya. Dana menyampaikan pidato bahwa suatu ketika dulu dia pernah berjanji pada suaminya untuk selalu bersamanya dalam suka dan duka, sampai kematian memisahkan mereka. Tetapi sekarang, dia telah membuat janji baru, yaitu akan selalu bersama suaminya sampai selamanya! wow….masih adakah orang yang seperti itu di jaman edan ini?

Sekarang janji itu telah terwujud, tapi kasihan anak bungsunya (kebetulan aku juga lihat profil anak bungsunya di Oprah Show), sudah jadi yatim piatu di usia yang masih sangat belia...

*Picture is taken from http://www.somewhereintime.tv/

Tuesday, March 07, 2006

Fenomena Raju

Pada pertengahan bulan Februari yang lalu mencuat kasus Raju, seorang anak usia 8 tahun yang harus menjalani proses pengadilan dengan dakwaan penganiayaan di Medan. Sampai hari ini kasus yang digelar sejak tahun 2005 itu belum selesai. Begitu rumitkah persoalan ini sampai proses peradilannya pun musti berlarut-larut? Tentu saja, karena beberapa alasan.

Pertama, terdakwa adalah seorang anak usia 8 tahun. Kedua, pihak yang melaporkan adalah seorang anak usia 14 tahun, 6 tahun lebih tua daripada Raju. Ketiga, hakim tunggal yang mengadili perkara ini (tante Tiur namanya…to some extent dia sodaraan sama ibuku karena sama-sama punya marga Pardede) sudah mengatributkan predikat nakal “hanya dengan melihat tampang Raju” (itu hakim atau paranormal ya?). Keempat, Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Yudikasi (semoga nama Komisi ini benar, karena rada-rada lupa) bereaksi keras atas peradilan ini, karena menurut Konvensi Hak Anak Sedunia seorang anak usia 8 tahun tidak seharusnya menjalani pengadilan yang panjang, dan ditempatkan bersama tahanan orang dewasa. Kelima, Mahkamah Agung menolak petisi Komnas Perlindungan Anak yang diketuai oleh Kak Seto (my favorite since I was in the 3rd grade) dan masyarakat yang meminta agar peradilan dihentikan. Menurut MA proses peradilan Raju dianggap sudah memenuhi undang-undang.

Semua ini telah mengundang reaksi masyarakat luas. Pak Sarlito contohnya, menulis sebuah artikel yang dimuat di Kompas mengenai kasus ini, mengetengahkan soal hilangnya nurani. Seorang mahasiswa di milis pascasarjana dengan gemas minta agar komunitas melakukan sesuatu, dan dia akan mendaftar sebagai volunteer pertama.

Tadi pagi sebuah artikel di Harian Kompas menyajikan perspektif lain dari kasus Raju. Kalaulah benar apa yang dipaparkan koran hari ini, finally aku mendapatkan gambaran penuh tentang kasus ini dari dua sisi. Artikel tersebut betul-betul telah mengajarkan pentingnya persepsi dalam menentukan sikap terhadap sebuah kasus. Sebelum membaca artikel itu, aku sempat berpikir betapa hancurnya moral bangsa ini, anak kecil diadili seperti orang dewasa sementara orang dewasa yang melakukan tindakan kriminal malah dilindungi. Sangat ironis. Tetapi pada akhirnya aku dapat memahami perasaan sang hakim yang merasa pengadilannya dilecehkan, dan MA yang terkesan membantunya. Di sisi lain, aku juga memahami Kak Seto, Pak Sarlito, dan pihak-pihak yang membela Raju. Lha wong jalannya Raju itu masih panjang…masa sebagiannya harus dihabiskan di penjara?

“People change”. Orang dewasa aja bisa berubah, apalagi Raju yang masih berusia 8 tahun. Aku percaya pengasuhan yang benar dari orang tuanya akan membuat Raju tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Jika pun selama ini dia adalah “sang jagoan” yang gemar menjitak kepala anak-anak lain, tidak tertutup kemungkinan dia akan menjadi anak paling soleh di kelasnya kelak (mudah-mudahan masih punya semangat sekolah). Tetapi tidak perlu dengan memberikan ganjaran penjara. Aku setuju dengan Kak Seto yang ingin mengamandemen Undang-undang peradilan anak yang menyebutkan peradilan anak usia 8 tahun boleh dilakukan. Katanya di negara lain, usia minimal anak boleh diajukan ke pengadilan adalah 12 tahun. Hanya saja, Raju harus mendapatkan pendidikan ekstra soal moral dan tanggung jawab, terutama setelah kejadian traumatik yang dihadapinya di usia yang masih sangat belia. Sudahkah orangtuanya aware tentang hal ini?

Dikaitkan dengan fenomena di LP Anak Tangerang, ada anak usia 9 tahun divonis penjara karena telah memperkosa anak perempuan dan menggunakan narkoba (Oh My God! Bu Dani sampai nyeletuk,”Kencing aja belum lempeng, kok bisa-bisanya memperkosa…). Waktu ditanya kenapa dia lakukan itu, jawabnya,”karena ikut-ikutan”. Yang salah siapa siiihhhhh?