“Brokeback Mountain”
Film “Brokeback Mountain” yang pada ajang bergengsi Academy Award mendapat sebuah Piala Oscar untuk The Best Director (Ang Lee) cukup menarik banyak perhatian dunia, tak terkecuali perhatianku. Seperti biasa, film yang masuk nominasi Academy Award selalu menarik perhatianku untuk ditonton.
Sejak semula aku sudah tahu film ini mengisahkan cinta terlarang dua orang gay. Tapi aku tidak menyangka kisah cinta itu akan digambarkan begitu gamblang. Aku jadi sangat tidak suka pada film ini (minta maaf kepada kaum gay karena ternyata sampai saat ini saya belum dapat memahami percintaan jenis ini).
Film yang mengambil setting tahun 1960-an ini mengisahkan dua orang cowboy Texas yang ditugasi menggembalakan domba di daerah Brokeback Mountain, perbatasan Wyoming dan Texas. Seorang sudah menjadi gay dari sononya, dan seorang lagi “terpaksa” menjadi gay karena “force of nature”. Sepanjang summer sampai winter mereka memang hanya berdua saja mengawasi domba-domba ditemani seekor anjing. Ang Lee menerjemahkan “force of nature” itu sebagai “loneliness” yang dialami oleh the straight man yang “memaksanya” untuk menyalurkan kebutuhan pada rekannya yang orientasi seksualnya telah berbeda sejak semula. Jika ada seorang wanita di antara mereka, mungkin ceritanya akan lain.
Di pertengahan film, dikisahkan keinginan lelaki yang sebelumnya normal untuk hidup normal kembali dengan meninggalkan kekasih barunya dan menikahi pacarnya yang seorang wanita. Awalnya dia mampu hidup normal kembali, memiliki dua orang anak perempuan dan mencintai istrinya sepenuh hati. Akan tetapi hubungan dengan sang istri pun menjadi berbeda (melakukan anal sex pada istrinya dengan alasan agar istrinya tidak hamil lagi). Di lain pihak, kekasih Brokeback Mountainnya pun telah berkeluarga, dan memiliki seorang anak lelaki.
Setelah bertahun-tahun berpisah, kedua lelaki tersebut dipertemukan kembali. Kali ini dengan cinta yang sangat membara dan tanpa memperdulikan sekitarnya (bayangkan sikap masyarakat terhadap mereka pada masa itu jika ketahuan). Artinya, penyimpangan seksual yang dialami lelaki tersebut ternyata permanen. Well, film ini mengajarkan apa sih?
Film yang menuai banyak kontroversi ini seperti mencoba menegakkan tesis “gay” bukanlah sekedar bawaan (faktor genetik). Padahal setahu aku yang awam pada pengetahuan tentang ini, pengaruh lingkungan berupa “gay style” bukan pengaruh yang menetap. Jika lingkungannya kemudian berubah, orientasi seksualnya pun dapat berubah ke arah normal kembali. Tapi tidak di dalam film ini. Uupppsss…sok tau ya? Ntar deh aku tanyain seorang temanku dari SYLFF yang sedang melakukan penelitian tentang kehidupan homoseksual di Jakarta untuk disertasinya.
Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengannya pada sebuah acara promosi doktor di tempatku, dan sempat melakukan diskusi kecil dengan suara rendah (maklum, diskusinya dilakukan tepat pada saat acara promosi berlangsung) tentang hasil sementara penelitiannya. Temanku ini sendiri (nama sengaja dirahasiakan demi kepentingan ybs) adalah seorang bapak dengan dua anak yang sedang mencoba memahami dan menjiwai dunia homoseksual dengan metode kualitatif, yang membuat dia harus melakukan hal-hal yang dilakukan oleh seorang gay. Sampai dimana kira-kira tindakannya? Wallahualam…. hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, saking menariknya topik disertasi tersebut, dia sampai menjadi rebutan beberapa profesor untuk dibimbing.
Aku bukan orang yang religius, dan aku pikir inipun tidak ada hubungannya dengan religiusitas. Tapi aku punya pendirian sendiri tentang hal ini yang tidak ada sangkut pautnya dengan perintah Tuhan. Aku belum dapat menyetujui kehidupan gay, sehingga aku tidak suka pada film ini. Ternyata kaum lelaki pun setahu aku tidak suka pada film ini. Banyak yang menyatakan menyesal telah menonton, atau hanya menonton setengahnya saja. Si Mogly yang biasanya semangat nonton film X-rated ketika ditawari film ini menolak mentah-mentah. Katanya lebih baik nonton 9 songs berkali-kali daripada nonton Brokeback Mountain sekali. Dasar lelaki!
Tiba-tiba teringat film “Philadelphia”, one of my favorite movies yang dibintangi oleh Tom Hanks. Tom memerankan seorang gay yang mengidap HIV/AIDS. Film itu sangat menyentuh nurani, dan aku tidak terlalu peduli pada orientasi seksual Tom, karena fokus film itu bukan pada cinta Tom dan pasangan gaynya, tetapi pada perjuangannya memperoleh keadilan sebagai seorang pengidap HIV/AIDS. Mbok yao, kalau mau bikin film tentang gay yang seperti itu sajalah…
Film “Brokeback Mountain” yang pada ajang bergengsi Academy Award mendapat sebuah Piala Oscar untuk The Best Director (Ang Lee) cukup menarik banyak perhatian dunia, tak terkecuali perhatianku. Seperti biasa, film yang masuk nominasi Academy Award selalu menarik perhatianku untuk ditonton.
Sejak semula aku sudah tahu film ini mengisahkan cinta terlarang dua orang gay. Tapi aku tidak menyangka kisah cinta itu akan digambarkan begitu gamblang. Aku jadi sangat tidak suka pada film ini (minta maaf kepada kaum gay karena ternyata sampai saat ini saya belum dapat memahami percintaan jenis ini).
Film yang mengambil setting tahun 1960-an ini mengisahkan dua orang cowboy Texas yang ditugasi menggembalakan domba di daerah Brokeback Mountain, perbatasan Wyoming dan Texas. Seorang sudah menjadi gay dari sononya, dan seorang lagi “terpaksa” menjadi gay karena “force of nature”. Sepanjang summer sampai winter mereka memang hanya berdua saja mengawasi domba-domba ditemani seekor anjing. Ang Lee menerjemahkan “force of nature” itu sebagai “loneliness” yang dialami oleh the straight man yang “memaksanya” untuk menyalurkan kebutuhan pada rekannya yang orientasi seksualnya telah berbeda sejak semula. Jika ada seorang wanita di antara mereka, mungkin ceritanya akan lain.
Di pertengahan film, dikisahkan keinginan lelaki yang sebelumnya normal untuk hidup normal kembali dengan meninggalkan kekasih barunya dan menikahi pacarnya yang seorang wanita. Awalnya dia mampu hidup normal kembali, memiliki dua orang anak perempuan dan mencintai istrinya sepenuh hati. Akan tetapi hubungan dengan sang istri pun menjadi berbeda (melakukan anal sex pada istrinya dengan alasan agar istrinya tidak hamil lagi). Di lain pihak, kekasih Brokeback Mountainnya pun telah berkeluarga, dan memiliki seorang anak lelaki.
Setelah bertahun-tahun berpisah, kedua lelaki tersebut dipertemukan kembali. Kali ini dengan cinta yang sangat membara dan tanpa memperdulikan sekitarnya (bayangkan sikap masyarakat terhadap mereka pada masa itu jika ketahuan). Artinya, penyimpangan seksual yang dialami lelaki tersebut ternyata permanen. Well, film ini mengajarkan apa sih?
Film yang menuai banyak kontroversi ini seperti mencoba menegakkan tesis “gay” bukanlah sekedar bawaan (faktor genetik). Padahal setahu aku yang awam pada pengetahuan tentang ini, pengaruh lingkungan berupa “gay style” bukan pengaruh yang menetap. Jika lingkungannya kemudian berubah, orientasi seksualnya pun dapat berubah ke arah normal kembali. Tapi tidak di dalam film ini. Uupppsss…sok tau ya? Ntar deh aku tanyain seorang temanku dari SYLFF yang sedang melakukan penelitian tentang kehidupan homoseksual di Jakarta untuk disertasinya.
Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengannya pada sebuah acara promosi doktor di tempatku, dan sempat melakukan diskusi kecil dengan suara rendah (maklum, diskusinya dilakukan tepat pada saat acara promosi berlangsung) tentang hasil sementara penelitiannya. Temanku ini sendiri (nama sengaja dirahasiakan demi kepentingan ybs) adalah seorang bapak dengan dua anak yang sedang mencoba memahami dan menjiwai dunia homoseksual dengan metode kualitatif, yang membuat dia harus melakukan hal-hal yang dilakukan oleh seorang gay. Sampai dimana kira-kira tindakannya? Wallahualam…. hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, saking menariknya topik disertasi tersebut, dia sampai menjadi rebutan beberapa profesor untuk dibimbing.
Aku bukan orang yang religius, dan aku pikir inipun tidak ada hubungannya dengan religiusitas. Tapi aku punya pendirian sendiri tentang hal ini yang tidak ada sangkut pautnya dengan perintah Tuhan. Aku belum dapat menyetujui kehidupan gay, sehingga aku tidak suka pada film ini. Ternyata kaum lelaki pun setahu aku tidak suka pada film ini. Banyak yang menyatakan menyesal telah menonton, atau hanya menonton setengahnya saja. Si Mogly yang biasanya semangat nonton film X-rated ketika ditawari film ini menolak mentah-mentah. Katanya lebih baik nonton 9 songs berkali-kali daripada nonton Brokeback Mountain sekali. Dasar lelaki!
Tiba-tiba teringat film “Philadelphia”, one of my favorite movies yang dibintangi oleh Tom Hanks. Tom memerankan seorang gay yang mengidap HIV/AIDS. Film itu sangat menyentuh nurani, dan aku tidak terlalu peduli pada orientasi seksual Tom, karena fokus film itu bukan pada cinta Tom dan pasangan gaynya, tetapi pada perjuangannya memperoleh keadilan sebagai seorang pengidap HIV/AIDS. Mbok yao, kalau mau bikin film tentang gay yang seperti itu sajalah…
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home