Fenomena Raju
Pada pertengahan bulan Februari yang lalu mencuat kasus Raju, seorang anak usia 8 tahun yang harus menjalani proses pengadilan dengan dakwaan penganiayaan di Medan. Sampai hari ini kasus yang digelar sejak tahun 2005 itu belum selesai. Begitu rumitkah persoalan ini sampai proses peradilannya pun musti berlarut-larut? Tentu saja, karena beberapa alasan.
Pertama, terdakwa adalah seorang anak usia 8 tahun. Kedua, pihak yang melaporkan adalah seorang anak usia 14 tahun, 6 tahun lebih tua daripada Raju. Ketiga, hakim tunggal yang mengadili perkara ini (tante Tiur namanya…to some extent dia sodaraan sama ibuku karena sama-sama punya marga Pardede) sudah mengatributkan predikat nakal “hanya dengan melihat tampang Raju” (itu hakim atau paranormal ya?). Keempat, Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Yudikasi (semoga nama Komisi ini benar, karena rada-rada lupa) bereaksi keras atas peradilan ini, karena menurut Konvensi Hak Anak Sedunia seorang anak usia 8 tahun tidak seharusnya menjalani pengadilan yang panjang, dan ditempatkan bersama tahanan orang dewasa. Kelima, Mahkamah Agung menolak petisi Komnas Perlindungan Anak yang diketuai oleh Kak Seto (my favorite since I was in the 3rd grade) dan masyarakat yang meminta agar peradilan dihentikan. Menurut MA proses peradilan Raju dianggap sudah memenuhi undang-undang.
Semua ini telah mengundang reaksi masyarakat luas. Pak Sarlito contohnya, menulis sebuah artikel yang dimuat di Kompas mengenai kasus ini, mengetengahkan soal hilangnya nurani. Seorang mahasiswa di milis pascasarjana dengan gemas minta agar komunitas melakukan sesuatu, dan dia akan mendaftar sebagai volunteer pertama.
Tadi pagi sebuah artikel di Harian Kompas menyajikan perspektif lain dari kasus Raju. Kalaulah benar apa yang dipaparkan koran hari ini, finally aku mendapatkan gambaran penuh tentang kasus ini dari dua sisi. Artikel tersebut betul-betul telah mengajarkan pentingnya persepsi dalam menentukan sikap terhadap sebuah kasus. Sebelum membaca artikel itu, aku sempat berpikir betapa hancurnya moral bangsa ini, anak kecil diadili seperti orang dewasa sementara orang dewasa yang melakukan tindakan kriminal malah dilindungi. Sangat ironis. Tetapi pada akhirnya aku dapat memahami perasaan sang hakim yang merasa pengadilannya dilecehkan, dan MA yang terkesan membantunya. Di sisi lain, aku juga memahami Kak Seto, Pak Sarlito, dan pihak-pihak yang membela Raju. Lha wong jalannya Raju itu masih panjang…masa sebagiannya harus dihabiskan di penjara?
“People change”. Orang dewasa aja bisa berubah, apalagi Raju yang masih berusia 8 tahun. Aku percaya pengasuhan yang benar dari orang tuanya akan membuat Raju tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Jika pun selama ini dia adalah “sang jagoan” yang gemar menjitak kepala anak-anak lain, tidak tertutup kemungkinan dia akan menjadi anak paling soleh di kelasnya kelak (mudah-mudahan masih punya semangat sekolah). Tetapi tidak perlu dengan memberikan ganjaran penjara. Aku setuju dengan Kak Seto yang ingin mengamandemen Undang-undang peradilan anak yang menyebutkan peradilan anak usia 8 tahun boleh dilakukan. Katanya di negara lain, usia minimal anak boleh diajukan ke pengadilan adalah 12 tahun. Hanya saja, Raju harus mendapatkan pendidikan ekstra soal moral dan tanggung jawab, terutama setelah kejadian traumatik yang dihadapinya di usia yang masih sangat belia. Sudahkah orangtuanya aware tentang hal ini?
Dikaitkan dengan fenomena di LP Anak Tangerang, ada anak usia 9 tahun divonis penjara karena telah memperkosa anak perempuan dan menggunakan narkoba (Oh My God! Bu Dani sampai nyeletuk,”Kencing aja belum lempeng, kok bisa-bisanya memperkosa…). Waktu ditanya kenapa dia lakukan itu, jawabnya,”karena ikut-ikutan”. Yang salah siapa siiihhhhh?
Pada pertengahan bulan Februari yang lalu mencuat kasus Raju, seorang anak usia 8 tahun yang harus menjalani proses pengadilan dengan dakwaan penganiayaan di Medan. Sampai hari ini kasus yang digelar sejak tahun 2005 itu belum selesai. Begitu rumitkah persoalan ini sampai proses peradilannya pun musti berlarut-larut? Tentu saja, karena beberapa alasan.
Pertama, terdakwa adalah seorang anak usia 8 tahun. Kedua, pihak yang melaporkan adalah seorang anak usia 14 tahun, 6 tahun lebih tua daripada Raju. Ketiga, hakim tunggal yang mengadili perkara ini (tante Tiur namanya…to some extent dia sodaraan sama ibuku karena sama-sama punya marga Pardede) sudah mengatributkan predikat nakal “hanya dengan melihat tampang Raju” (itu hakim atau paranormal ya?). Keempat, Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Yudikasi (semoga nama Komisi ini benar, karena rada-rada lupa) bereaksi keras atas peradilan ini, karena menurut Konvensi Hak Anak Sedunia seorang anak usia 8 tahun tidak seharusnya menjalani pengadilan yang panjang, dan ditempatkan bersama tahanan orang dewasa. Kelima, Mahkamah Agung menolak petisi Komnas Perlindungan Anak yang diketuai oleh Kak Seto (my favorite since I was in the 3rd grade) dan masyarakat yang meminta agar peradilan dihentikan. Menurut MA proses peradilan Raju dianggap sudah memenuhi undang-undang.
Semua ini telah mengundang reaksi masyarakat luas. Pak Sarlito contohnya, menulis sebuah artikel yang dimuat di Kompas mengenai kasus ini, mengetengahkan soal hilangnya nurani. Seorang mahasiswa di milis pascasarjana dengan gemas minta agar komunitas melakukan sesuatu, dan dia akan mendaftar sebagai volunteer pertama.
Tadi pagi sebuah artikel di Harian Kompas menyajikan perspektif lain dari kasus Raju. Kalaulah benar apa yang dipaparkan koran hari ini, finally aku mendapatkan gambaran penuh tentang kasus ini dari dua sisi. Artikel tersebut betul-betul telah mengajarkan pentingnya persepsi dalam menentukan sikap terhadap sebuah kasus. Sebelum membaca artikel itu, aku sempat berpikir betapa hancurnya moral bangsa ini, anak kecil diadili seperti orang dewasa sementara orang dewasa yang melakukan tindakan kriminal malah dilindungi. Sangat ironis. Tetapi pada akhirnya aku dapat memahami perasaan sang hakim yang merasa pengadilannya dilecehkan, dan MA yang terkesan membantunya. Di sisi lain, aku juga memahami Kak Seto, Pak Sarlito, dan pihak-pihak yang membela Raju. Lha wong jalannya Raju itu masih panjang…masa sebagiannya harus dihabiskan di penjara?
“People change”. Orang dewasa aja bisa berubah, apalagi Raju yang masih berusia 8 tahun. Aku percaya pengasuhan yang benar dari orang tuanya akan membuat Raju tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Jika pun selama ini dia adalah “sang jagoan” yang gemar menjitak kepala anak-anak lain, tidak tertutup kemungkinan dia akan menjadi anak paling soleh di kelasnya kelak (mudah-mudahan masih punya semangat sekolah). Tetapi tidak perlu dengan memberikan ganjaran penjara. Aku setuju dengan Kak Seto yang ingin mengamandemen Undang-undang peradilan anak yang menyebutkan peradilan anak usia 8 tahun boleh dilakukan. Katanya di negara lain, usia minimal anak boleh diajukan ke pengadilan adalah 12 tahun. Hanya saja, Raju harus mendapatkan pendidikan ekstra soal moral dan tanggung jawab, terutama setelah kejadian traumatik yang dihadapinya di usia yang masih sangat belia. Sudahkah orangtuanya aware tentang hal ini?
Dikaitkan dengan fenomena di LP Anak Tangerang, ada anak usia 9 tahun divonis penjara karena telah memperkosa anak perempuan dan menggunakan narkoba (Oh My God! Bu Dani sampai nyeletuk,”Kencing aja belum lempeng, kok bisa-bisanya memperkosa…). Waktu ditanya kenapa dia lakukan itu, jawabnya,”karena ikut-ikutan”. Yang salah siapa siiihhhhh?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home