Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Friday, February 20, 2004

Anni Iwasaki Foundation (lanjutan):

Aku tertarik ikut ke AIF karena visi dan misinya yang menarik perhatian. Misinya yang mungkin paling menohok sebagian perempuan yang punya karier adalah mengembalikan perempuan pada kodratnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Bagi perempuan yang belum menikah seperti aku, barangkali hal ini impossible. Buat apa berlelah-lelah belajar tinggi2 kalau nantinya harus balik ke rumah, ngurusin anak dan tetek bengek kerumah tanggaan lainnya yang sebenarnya bisa dikerjakan pembantu dan baby sitter? Toh kan masih ada pembantu, yang tenaganya masih cukup murah di Indonesia (tentunya dengan asumsi tidak semua calon pembantu tertarik menjadi TKW di negeri orang yang notabene gajinya jauh lebih tinggi). Atau masih ada mertua yang rela repot-repot ngurusin cucunya.

Ketidakacuhan ibu-ibu (yang walaupun bukan wanita karier, tapi kerjaannya arisaaaan melulu) pada pekerjaan rumah karena mereka berpendapat pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak layak dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Ada pembantu kok??! Aku jadi ingat temanku Elsye yang aku pernah ceritakan, menikah dengan orang Belanda dan mereka hidup di sana. Selama hidup di Indonesia, Elsye tidak pernah mengerjakan pekerjaan memasak, cuci pakaian, cuci piring, dan pekerjaan lain karena selalu dilayani oleh pembantu. Ketika baru menikah, Elsye mengalami culture shock karena harus mengerjakan segalanya on her own, ditambah lagi dengan urusan bayi. Tetapi karena isi rumah mereka sudah berteknologi tinggi, semuanya sudah dibantu oleh mesin, dan membuat pekerjaan Elsye menjadi menyenangkan. She enjoys her life now.

My point is, jika isi rumah sudah berteknologi tinggi dan gaji suami sudah cukup untuk hidup satu keluarga dan pendidikan terbaik buat anak, masih adakah ibu-ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil bersama pembantu di rumah? I wouldn’t know since I’m not married yet, hehehe. Apakah pemerintah mau memperhatikan aspirasi ibu rumah tangga dan dikendalikan oleh ibu rumah tangga dari rumah? Apakah pemerintah dapat memberikan karier bagi ibu rumah tangga yang anak-anaknya sudah besar, sehingga mereka merasa sudah saatnya untuk memiliki karier kembali?

Sebuah perjuangan yang sangat berat!!! Mungkin ini juga yang menyebabkan kinerjaku di AIF tidak memuaskan. Tapi aku yakin, someday, rakyat Indonesia akan terdidik untuk melakukan kritik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Jadi bukan lagi: Don’t ask what the government can do for you, bla bla bla… tapi sudah jadi: Just ask what the government has done for you, since you have done a lot for them!

Himbauan buat keluarga muda dan calon keluarga muda: mari kita sama-sama menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan tempat tinggal yang layak dan modern bagi kita agar dapat membesarkan anak-anak dengan pendidikan yang komprehensif dan maju. Pembangunan dimulai dari rumah, dan pemerintah berkewajiban menyediakan perumahan yang layak bagi generasi mudanya yang masih belajar.

Thursday, February 19, 2004

Anni Iwasaki Foundation

Sudah cukup lama aku ikut bergabung pada organisasi ini, yaitu sejak Oktober 2002. Sudah cukup lama juga aku kenal dengan Mbak Anni Iwasaki, pemrakarsa berdirinya organisasi ini. Tetapi sampai sekarang rasanya belum ada kontribusi nyataku untuk perjuangan ini. Sebelum ngobrol panjang lebar tentang tujuan didirikannya lembaga ini dan ketiadaan kontribusi dariku, baiklah kita mengenal Mbak Anni lebih jauh lagi.

Mbak Anni Iwasaki adalah orang Indonesia tulen yang menikah dengan Yasuhiro Iwasaki, seorang Jepang yang kemudian menikah dan memboyong mbak Anni ke Jepang. 29 tahun lamanya mbak Anni hidup bersama suami dan tiga putranya di Jepang. Walau demikian ia selalu mengikuti perkembangan dan jatuh bangunnya kemudian jatuh lagi (dan tidak bangun-bangun lagi) Indonesia tercinta. Mbak Anni sangat sedih dan merasa terbeban dengan keadaan di negerinya tersebut, sehingga membuat beliau tidak bisa tinggal diam menikmati hidup yang enak di negeri seberang, sementara saudara-saudara sebangsanya di sini menderita.

Dalam berbagai ceramah dan tulisan yang dikeluarkan oleh Mbak Anni sejak tahun 1985, satu hal yang selalu terucap dari dirinya adalah: Jepang bisa maju relatif sangat cepat karena pemerintahnya memperhatikan keluarga muda sebagai golongan menengah yang perlu dilindungi. Sebagai istri orang Jepang, mbak Anni cukup mendapat akses ke dalam kebijakan-kebijakan dalam negeri Jepang, yang berisi resep-resep cara menjadi negara industrialis terbesar. Bahkan seorang Indonesia yang kuliah di Jepang sampai jenjang S3 sekalipun tidak akan mendapat kuliah ini di universitas-universitas Jepang.

Pada sebuah kesempatan aku ikut rapat bersama mbak Anni dengan Bappenas, yang isinya sebagian besar lulusan dari Jepang. Guess what! Banyak di antara mereka tidak tahu ada rancangan khusus dari pemerintah bahwa pasangan baru menikah mendapat prioritas utama dalam mendapatkan apartemen khusus untuk keluarga baru. Bahwa mereka ditempatkan bersama-sama dengan keluarga baru lainnya dengan gaya hidup tertentu sehingga pendapatan mereka dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Bahwa mereka memiliki pusat perbelanjaan sendiri, rumah sakit sendiri, sekolah sendiri, di lingkungan yang dekat dengan kediaman mereka, sehingga anak-anak dapat pergi ke sekolah hanya dengan berjalan kaki. Bahwa pada sebuah daerah hanya ada satu komoditas yang menjadi unggulan dan keunikan daerah tersebut. Lalu apa sih yang mereka pelajari di Jepang ketika mendapat tugas belajar? *sebel aku*

Maka mbak Anni tanpa kenal lelah terus memperjuangkan agar kita jangan jauh-jauh berkaca ke negeri-negeri barat untuk membangun, tetapi ambillah filosofi kesuksesan negara Jepang (tentunya bukan dengan meniru habis-habis budaya mereka) dan bangunlah negeri kita dengan kekuatan sendiri (a.k.a transformational development – konsep inipun aku belum paham benar, masih harus mencari referensi), dengan kecintaan dan kebanggaan menggunakan produk dalam negeri sehingga uang tidak jauh-jauh larinya.

Perjuangan mbak Anni mulai diperhatikan oleh Dirjen Perkim (Bpk Aca Sugandhi) yang mengambil inisiatif untuk meneruskan perjuangan mbak Anni di tingkat nasional. Usaha pertama adalah dengan mengadakan sebuah seminar sehari yang mengumpulkan pakar-pakar dari Depkimpraswil, REI, dan didukung juga oleh Faisal Basri dan Bpk Bob Widihartono. Mengenai perjuangan mbak Anni agar pemerintah memperhatikan keluarga muda dari golongan menengah ini, aku tidak berani berkata banyak karena harus konsultasi terlebih dahulu dengan beliau.

to be continued

Tuesday, February 17, 2004

Soto Gebraaakkkk!!!

Tadi malam, aku pulang kantor cukup malam. Jam menunjukkan pukul 8.30...lapar niaaannn...si Adri sudah makan sendirian bersama rekan-rekan yang sedang mengurusi database untuk keuangan. Tinggallah aku dan Nisa yang kelaparan di lab komputer. Dingiiiiiinnnnn....tapi aku musti bertahan, karena Nisa musti selesai kuliahnya semester ini! Dia sudah menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk menyelesaikan studinya paling lambat Agustus 2004, lewat dari waktu tersebut dia akan di-DO. Well...she's one of my best friends, what can I say?. Aku bertekad membantunya sampai titik darah penghabisan (ceila!). Maka tadi malam aku bertahan di lab komputer yang dinginnya bujubune itu untuk menemaninya mencari jurnal. Kebetulan aku punya akses gratis di Proquest dan EBSCO.

Usai mencari jurnal, kita sepakat untuk mencari tempat makan malam. Pilih punya pilih, pilihan jatuh ke Soto Gebraaakkk!!!one of her favorite places to eat. Tempatnya di Margonda, tidak jauh dari tempat tinggalku. Walau begitu seumur hidup aku belum pernah mencoba makan di sana, karena kabarnya orang jantungan dilarang makan disana. Aku jadi tidak tertarik. Bukan karena aku jantungan lho....tapi karena aku kurang suka kejutan saja. Hehehehe.

Sesampai di Soto Gebrak, aku lihat banyak foto Cak Anton (pemilik tempat tersebut) dipajang gede-gede bersama artis-artis, macam Krisdayanti, Mamiek Prakoso, entah siapa lagi. Aku tidak sempat memperhatikan lebih jauh karena pada saat yang sama mereka telah berhasil membuat aku terlonjak kaget. Tiba-tiba aku mendengar suara seperti piring pecah dari arah tukang soto, apa itu? Nisa ketawa geli melihat tampangku yang shock. Ternyata begitulah bunyinya. Tradisi di warung ini adalah, setiap kali pembuat soto selesai meramu sotonya, ia akan membanting sebuah botol warna hijau (mirip botolnya jeannie oh jeannie) yang terbuat dari beling tapi tahan banting. Dengan membanting benda itu dia menyatakan proses pembuatan soto sudah kelar, dan soto sudah boleh diantar (oleh rekannya) ke pemesan. Hwarakadah...kenapa Nisa tidak memberitahu aku, biar aku siap2 tutup kuping! Sesaat setelah aku terlonjak kaget, tidak sengaja pandanganku tertuju kepada para pelayan yang jumlahnya lebih banyak daripada pengunjung. Mereka tertawa senang karena sudah bikin satu orang kaget (barangkali mereka menyimpulkan aku seorang pelanggan baru). Nisa bilang, sebelumnya dia pernah dengar seorang ibu marah-marah waktu dengar bunyi itu, bilang gini "apa sih maksudnya?" Well....aku tidak bisa nyalahin si ibu, karena aku juga rasanya mau marah. Kok Nisa bisa tahan makan di sini ya? Setiap kali ada pesanan baru, aku siap2 tutup kuping untuk menghindari suara tidak menyenangkan itu. Rasa sotonya sih...so so....dibandingkan soto di kantin kampus memang lebih enak, tapi ya...menurut aku biasa saja. Mungkin karena aku kurang soto, atau bad mood karena bunyi gebraaaaknya itu. Satu lagi tempat makan yang kalau boleh dihindari setelah Popeye :)

Wednesday, February 11, 2004

Elsye Zulver

Beberapa hari yang lalu aku dapat email dari seorang teman, Elsye Zulver. Tadinya aku pikir temen baru, ternyataa....temen SMA dulu! Dulu namanya Elsye Maureen Tetelepta, dan sekarang ganti nama belakang jadi Zulver. Menikah dengan orang Melayu? Bukan....kalau melayu namanya Zulfikar...tapi ini wong londo, jadi namanya Zulver. Elsye yang biasanya dipanggil Ece ini termasuk teman terdekat waktu kelas 1 SMA. Aku ingat waktu pelajaran olahraga, kita disuruh lari2 keliling kompleks perumahan. Kebetulan pada etape terakhir kita sudah pada lelah dan haus, dan kebetulan pula rumahnya Ece dekat dengan sekolahan. So, kita numpang minum deh di sana tanpa sepengetahuan guru...The funniest thing is, tak ada satupun anak yang ikutan minum ingat kalau saat itu bulan puasa, dan setelah minum sebotol air dingin seorang, baru pada inget kalo lagi puasa. Hahahaha...what a trick!!

Walaupun tidak lama berada di SMA YPP-7, aku merasa at home kalau sedang membincangkan hal-hal tentang sekolah di sana (bukan berarti I don't feel at home di PSKD 1 lho!). Aku selalu ingin mengetahui kabar teman2 sekolah dulu, walaupun channel-nya agak terbatas (heran, jaman begini channel masih terbatas aja - padahal katanya jarak kita dengan Presiden of the USA cuman 7 orang lho....). Ece salah seorang teman yang masih ingat aku, syukurlah. Biarpun dia sudah sibuk jadi ibu rumah tangga di belanda sana...setiap hari sibuk ngurusin rumah, kerjaan yang gak pernah dilakukan waktu di Indonesia karena selalu punya pembantu, sibuk belajar bahasa londo, dan tidak banyak bertemu dengan orang seperti di Indonesia. "Tapi aku enjoy..." begitu katanya Happy Marriage Ce....I am happy for you, semoga hidup bahagia selalu bersama anak dan suami tercinta.

Ini foto anaknya Ece, namanya Wesley, very cute...tapi bule banget. Ece tidak meninggalkan jejak di sini. Wesley inilah yang bikin Ece rela sibuk di rumah saja, tidak bertemu dengan banyak orang, tidak balas email selama seminggu, the hell with the world out there, all I need is Wesley :)))




Friday, February 06, 2004

Banjir dan Petir di FPsi UI

Beberapa waktu yang lalu aku pernah terjebak banjir di dalam Gedung B Fakultas Psikologi UI, tidak bisa keluar! Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 16.00 dan karena mahasiswa sedang liburan semester, keadaan kampus sangat sepi. Aku dan beberapa rekan yang terjebak akhirnya sepakat menunggu surutnya banjir dengan sabar. Yang membuat kita cukup sabar barangkali adalah topik pembicaraan kita yang sedang seru-serunya: gosip! Emak-emak sekali ya, tapi yang ngegosip bukan cuma kaum emak lho, bapak2 pun menanggapi dengan seru. Sampai pukul 18.00 banjir masih belum surut, dan hujan sudah tinggal sisanya saja. Aku pikir mahluk hidup tingkat tinggi yang masih tinggal di Gedung B ini hanya tinggal kita berempat saja (aku, mbak Aga, Bang Hamdi, dan Adri). Akhirnya kita merasa harus nekat juga menerjang banjir karena naga-naganya banjir tak akan surut. Pembangunan Gedung H (yang diperuntukkan bagi kita juga nantinya) itu memperparah banjir sampai selutut orang dewasa. Dulu waktu masih kecil aku tidak keberatan maen banjir, tapi sekarang…hehehe…makasih deh. Tapi karena ketiga temanku sudah tidak sabar kembali ke rumah, kita siap-siap menyingsingkan celana panjang sampai di atas lutut. Hiiiii…kalo ketemu ular gimana??!!

Ketika akan keluar Gd B, ternyata sudah disediakan bangku panjang-panjang yang biasanya dipakai anak-anak buat duduk-duduk menunggu kuliah di depan pintu. Syukurlah! Jadi tidak perlu ketemu ular. Kita jalan lewat bangku yang dipindah-pindah, terharu! Karena dua orang satpam rela berbanjir-banjir demi tersedianya bangku buat jalan kita. Tapi sayangnya bangku tersusun menuju Gd A, padahal setelah Gd A ya pasti bakal ketemu banjir lagi di parkiran. Satpamnya agak keras kepala sih, tidak mau memindahkan bangku ke jalan samping Gd B yang bebas banjir. Ketika terbukti kita tidak bisa melewati Gd A, balik lagi ke satpam minta dianterin ke jalan samping. Hehehe…repot kan lu, gue bilang juga apa dari tadi.. Akhirnya kita dapat selamat sampai di jalan raya UI tanpa harus kena banjir. Bad experience.

Kemarin sore aku ke ruang internet yang biasa dipakai mahasiswa. Di luar hujan turun, petir menyambar-nyambar. Wuih, aku yang paling dekat dengan jendela, o my God...aku takut juga kalau-kalau petirnya mengira aku pohon lalu menyambarku! Petir di wilayah Depok memang terkenal kejam, seringkali menumbangkan pohon. Sebelumnya pernah membuat tumbang sebatang pohon gede di depan stasiun ui, dan jalanan jadi macet sampai jam 10 malam. Petir kemarin memang tidak menumbangkan pohon, apalagi menumbangkan Debby, tapi menyambar koneksi internet makara ke pasca. Huaaaaaaaa…..aku takkan terhubung ke internet selama berapa hari??? That’s the worst thing!!!

Tuesday, February 03, 2004

Cinta dan Perkawinan Menurut Plato

Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?

Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting.

Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta" Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"

Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)"

Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"

Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"

Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan saja. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/ subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"

Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya"

Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"

CATATAN - KECIL :

Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan... tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya

Sumber: unknown