Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Wednesday, November 30, 2005

CRASH (the must see movie)

Beberapa waktu yang lalu aku beli keping DVD berjudul CRASH yang dibintangi oleh Sandra Bullock, Brandon Fraser dan Matt Dillon. Film psikologis yang mengambil inspirasi dari peristiwa 9/11 itu berkisah tentang kehidupan beberapa orang di Los Angeles yang diwarnai oleh konflik dan prasangka buruk, dimana good men turn to be bad men. A very good movie, membuat kita bercermin pada tindakan sehari-hari kita yang selalu berprasangka buruk pada orang lain. Betapa rapuhnya hubungan kita dengan orang lain, jika kita hanya mengandalkan persepsi kita yang sangat terbatas untuk menilai orang. Lewat film ini kita diajak untuk berpikir bahwa sejahat-jahatnya orang, deep inside they are as good as you. All you have to do is just show some empathy, and the world would be a better place to live. Ceile…

Pada sebuah adegan dalam film digambarkan sebuah keluarga berdarah Pakistan (seorang bapak dan anak perempuannya) yang tinggal di Amerika Serikat mendapat perlakuan buruk dari penjual senjata berkulit putih, karena tidak yakin mereka dapat membeli senjata api yang menurut penjual toko itu mahal dan unaffordable oleh keluarga sekelas mereka. Dengan susah payah dan high tension akhirnya senjata api itu berpindah tangan.

Pada adegan lain, dikisahkan pintu toko keluarga Pakistan itu rusak (mereka memiliki sebuah toko kelontong), sehingga harus memanggil seorang tukang kunci untuk memperbaiki pintu itu. Sang tukang kunci yang berdarah Latin memberi nasihat kepada si bapak lebih baik mengganti pintunya saja, karena yang rusak bukan kunci tetapi pintunya. Karena si tukang kunci dianggap mengada-ada, sambil berteriak Bapak itu bilang,”aku memanggilmu untuk kau perbaiki kuncinya, bukan untuk ngasih nasihat macam-macam”. Dengan gemas si tukang kunci meremas-remas bon dan melemparkannya kepada si bapak sambil berkata,”tidak usah bayar, jangan salahkan aku jika terjadi apa-apa pada tokomu”.

Malam sebelumnya, tukang kunci itu telah mendapatkan perlakuan buruk dari Sandra Bullock yang dalam film ini berpasangan sebagai istri Brandon Fraser. Dikisahkan pada suatu malam mobil mereka dirampok paksa sepulang dari sebuah acara. Perampokan yang dilakukan oleh dua preman berkulit hitam itu membuat sang istri paranoid, dan meminta suaminya untuk mengganti kunci pintu-pintu di rumahnya. Maka tukang kunci yang berdarah Latin itupun dipanggil. Melihat si tukang kunci bukan seorang berkulit putih, sang istri merasa ketakutan. Dia lalu meminta suaminya untuk mengganti kembali kunci pintunya first time in the morning. Permintaannya didengar oleh tukang kunci itu yang dengan tersinggung meninggalkan rumah itu.

Pada adegan lain, dikisahkan sepasang polisi (yang perempuan berdarah putih, yang lelaki berkulit hitam) sedang “em-el”. Karena bangga berpacaran dengan perempuan berkulit putih, ketika ibu lelaki itu menelepon dijawab demikian,”Ma, I’m making love with a white girl” (barangkali buat lelaki itu, dapat bercinta dengan perempuan kulit putih adalah sebuah prestasi). Karena merasa tidak seperti kulit putih lainnya, perempuan itu tersinggung dan berkata,”I am from Brazil, I bet you don’t know where the hell Brazil is!”

Pada scene lain, sepasang suami istri entertainer berkulit hitam yang baru pulang dari sebuah pesta diberhentikan mobilnya oleh 2 orang polisi berkulit putih yang mungkin sedang kebosanan karena tidak ada tindak kejahatan ditemuinya sepanjang hari itu. Melihat istri yang seksi (tapi sayang suka sekali mengomel) sang polisi melakukan pelecehan seksual disaksikan rekan polisi dan sang suami. Sang suami yang super sabar meminta sang istri untuk diam instead of menghajar polisi kurang ajar itu. Sang istri menangis diam-diam sambil memandangi suaminya dengan tatapan memohon agar sang suami melakukan sesuatu ketika tubuhnya diraba-raba oleh polisi kurang ajar itu, sedangkan rekannya yang muak melihat adegan itu besoknya memutuskan untuk tidak berpasangan dengan polisi cabul itu lagi.

Pada scene lain, ada perampokan besar-besaran yang memorak-porandakan toko keluarga Pakistan yang bersahaja itu. Dalam kesedihannya, sang bapak menemukan bon yang dilempar oleh si tukang kunci sehari sebelumnya. Pada bon tersebut tertera sebuah nama lengkap dengan alamatnya. Dengan amarah yang memuncak, bapak itu mengambil senjata api yang baru dibelinya, dan mencari rumah tukang kunci tersebut. Ketika bertemu dengan tukang kunci yang tidak bersalah itu, sang bapak berteriak-teriak sambil menodongkan senjata apinya pada jarak dekat.

Sementara itu, anak perempuan si tukang kunci yang mendengar ribut-ribut di luar rumah, keluar untuk menyambut ayahnya. Saat berada di pelukan ayahnya, si bapak Pakistan yang sedang marah menembakkan senjatanya, yang ndilalah mengenai anak perempuan itu. Sejenak si tukang kunci menangis tersedu mengira anaknya telah tertembak, sementara bapak Pakistan tertegun, terlalu kaget pada kemampuannya menarik pelatuk dengan mudahnya tapi nyasar. Dan tiba-tiba anak itu berkata kepada ayahnya,’tidak apa-apa, daddy…everything’s okay…” Si tukang kunci dan istrinya bersuka cita karena anaknya tidak apa-apa, dan bapak Pakistan pun bersuka cita karena telah menemukan ‘malaikatnya’. Sambil tersenyum ia pulang ke rumah, membuat heran istri dan anaknya, dan hanya dijawab,”I met an angel” sambil memandangi tangannya.

Kembali ke keluarga entertainer berkulit hitam, keesokan harinya suami yang digambarkan super sabar tersebut mendapatkan perlakuan buruk di tempat kerjanya. Barangkali ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan perlakuan buruk, tetapi ditambah dengan kejadian buruk malam sebelumnya dimana istrinya telah mengalami pelecehan seksual, habislah kesabarannya. Dengan amarah yang terpendam ia mengendarai mobilnya sekencang mungkin sambil mengantungi sebuah senjata api. Entah siapa yang ingin ditembaknya.

Sementara pada waktu yang sama istrinya mengalami kecelakaan jalan raya yang hampir merenggut nyawanya. Polisi yang menolongnya justru adalah polisi yang melakukan pelecehan padanya malam sebelumnya. Pada mulanya ia menolak untuk ditolong, tetapi akhirnya menyerah karena tidak ada jalan lain. Polisi itu betul-betul menolong dengan tulus hati, sampai hampir merenggut nyawanya sendiri. Pada adegan lain juga digambarkan kehidupan pribadi polisi itu, dimana ia dengan penuh kasih menjaga ayahnya yang sedang sakit.

Kembali ke sang suami yang sedang marah, pada sebuah sudut kota kedua preman berkulit hitam yang malam sebelumnya merampok suami istri Bullock dan Fraser memaksa masuk ke mobilnya. Karena masih diliputi amarah, ia memarahi preman-preman yang dianggap telah memperburuk citra orang kulit hitam. Sementara salah seorang preman yang sebelumnya berprinsip tidak akan merampok sesama kulit hitam terkejut ketika menyadari orang yang hampir saja mereka rampok berkulit hitam! Pada akhirnya sang suami menyelamatkan kedua preman tersebut dari polisi yang mencurigai mereka, dan berpesan agar mereka tidak melakukan lagi tindakan kriminal tersebut.

Sementara itu, ada adegan Sandra Bullock yang paranoid jatuh dari tangga rumahnya. Dalam kesakitannya ia mencari teman-teman kulit putihnya, yang ternyata tidak terlalu ‘care’ padanya. Pada masa-masa sulit itu, hanya Rosa “asisten rumah tangga”nya yang berasal dari Amerika Selatan menemaninya dengan setia, sehingga pada suatu titik Sandra sadar bahwa teman sejatinya selama ini adalah Rosa, bukan “teman-teman” dari ras kulit putih yang sebelumnya diagung-agungkannya.

Sementara itu, polisi berkulit hitam yang berpacaran dengan polisi wanita berdarah Brazil memiliki masalahnya sendiri. Ibunya kehilangan seorang anak laki-lakinya yang lain (adik si polisi) dan berkali-kali meminta sang kakak untuk mencari adiknya. Karena alasan kesibukannya sebagai polisi, amanat sang ibu tidak digubris sama sekali. Sampai suatu ketika ia menemukan sendiri mayat adiknya di pinggir jalan. Yang membunuh sang adik adalah mantan rekan si polisi cabul yang melakukan pelecehan seksual malam sebelumnya.

Mantan rekan si polisi cabul itu sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang ‘hitchhiker” yang adalah adik polisi yang berpacaran dengan polwan berdarah Brazil. Pembicaraan di dalam mobil yang tadinya berjalan hangat kemudian menjadi memanas karena polisi itu salah mengartikan kata-kata yang dilontarkan oleh pemuda berkulit hitam yang sedang merindukan ibunya itu. Tanpa peringatan sebelumnya sang polisi menembak mati penumpangnya yang sebetulnya tidak bersalah. Menyesal dengan perbuatannya (atau takut?) polisi itu membakar mobilnya.

Dengan perasaan menyesal sang kakak menghibur ibunya yang sedih luar biasa karena anak kesayangannya meninggal sia-sia. Sang kakak berjanji pada ibunya untuk mencari orang yang membunuh adiknya, dan membalaskan dendam adiknya. Dengan marah sang ibu berkata,”I already knew who did it”. Terkejut sang kakak bertanya,”WHO?” dijawab arif oleh ibunya,”YOU did it! I asked you thousand times to go find your brother but you ignored me. You killed him!”

Sedangkan kedua preman berkulit hitam yang mendapatkan pencerahan dan ingin memulai lembaran baru hidupnya menolong membebaskan orang-orang Asia hasil jual-beli seorang Cina yang kebetulan tertabrak oleh mereka malam sebelumnya.

Thursday, November 24, 2005

The Matchmaker Business

Sudah sejak lama perjodohan merupakan sesuatu yang tabu buat keluargaku. Orangtuaku adalah orang yang open-minded (setidaknya sampai beberapa waktu yang lalu). Buktinya ketika ada orang yang minta dijodohkan denganku, ayahku menolak mentah-mentah dengan alasan aku sendirilah yang harus menentukan dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku nanti. Bijaksana juga ya…Iseng aku pernah bertanya sambil terkagum-kagum mengapa ayahku bisa sebijaksana itu, dan dijawab ringan,”lha kalau dijodohin, trus ternyata suamimu gak bener, yang kamu salahkan pasti orangtua. Malas ah dimarahin sama orang galak” hehehe…

Tapi aku yakin sikap ayahku yang seperti itu karena pernikahannya dengan mamaku adalah pilihannya sendiri, yang pada mulanya ditolak mentah-mentah oleh keluarganya. Dari pengalaman pernikahannya sendiri, ayahku berkesimpulan tidak ada salahnya jika anak-anak menikah dengan pilihannya sendiri. Sehingga aku yang anak perempuan semata wayangnya bebas saja menentukan pilihanku. Yang gerah barangkali adalah my extended family (biasalah orang Indonesia, yang namanya keluarga bukan cuman ayah, ibu dan anak-anak, kalau lagi ada rapat keluarga iparnya sepupu opung juga punya suara kali…kenceng lagi suaranya!)

Itulah yang terjadi padaku. Ketika aku memutuskan berpacaran dengan orang yang bukan berasal dari etnisku, tidak ada masalah pada orangtuaku. Malah mereka sering bertanya,”Kapan akan menikah?” Tetapi jika berada di antara keluargaku pada sebuah pertemuan keluarga, seluruh keluarga menolak mentah-mentah dan orangtuaku terdiam seribu bahasa. Pulang dari pertemuan aku bertanya pada ayahku,”Bapak kenapa tadi tidak membela aku?” dan jawabnya,”ntar masalahnya jadi panjang, biarkan saja mereka”

Kebijaksanaan mereka ternyata tidak berlanjut sampai hari ini (setidaknya begitulah menurutku). Selama beberapa waktu ini, ada saja orang datang ke rumahku sebagai utusan ayahku dan menanyakan “kapan menikah?” atau menawarkan anak atau saudaranya untuk menjadi jodohku. Oh my God…kenapa ayahku jadi begini? Sebetulnya aku ingin menikah, membahagiakan orangtuaku, dan lain-lain…tapi tidak begini caranya. Tindakan ayahku malah membuatku tidak ingin menikah!

Di keluargaku, aku sebetulnya bukan tipe orang yang mudah agreeable. Di mata ayahku, aku adalah seorang pemberontak, tidak mudah diatur, dan tidak mau dengar nasihat. Aku berani bilang “tidak” pada ayahku. Beruntunglah aku dititipkan Tuhan pada keluarga ini, karena orangtuaku bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, dan tidak mudah sakit hati karena anak-anaknya yang punya karakter macam-macam. Mereka memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada kami anak-anaknya untuk menentukan sendiri jalan hidup kami.

Dan itulah yang sedang aku lakukan sekarang. What’s so wrong with being single? Hehehehe...

But I am not that radical. I still want to be married, have a husband, many children and all that come with that. Dalam hal perjodohan ini, aku membuang prinsipku yang “Only dead fish follow the current, and I am no dead fish”. Instead aku jalani saja hidupku seperti air, mengalir saja mengikuti arus…Aku masih berharap someday aku menemukan my real soulmate, seorang yang memahami aku dan menerima aku apa adanya. Peganganku cuman sebuah ayat,”Untuk segala sesuatu ada masanya” dan kata orang bijak “Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya”. So what’s to worry about?

Sunday, November 20, 2005

Days Without Mbak Ami

Mbak Ami Sudah Pulang!!! Akhirnya, setelah tiga bulan meninggalkan kami, tadi malam Mbak Ami pulang juga. Rada gemukan. Baguslah…selama tiga bulan ini mbak Ami menjalani perawatan di Bandung, untuk kakinya yang tak kunjung sembuh. Sampai sekarang pun masih sulit berjalan, tetapi dokternya sudah membolehkan mbak Ami pulang, dan kontrol setiap 2 minggu.

Selama ditinggal mbak Ami, aku tidak juga belajar mandiri. Harusnya aku jadi bisa masak, atau mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak habis-habisnya. Aku memang mencoba belajar masak masakan-masakan ringan semacam menggoreng telur atau ayam beku. Tapi dasar tidak bakat masak, semuanya jadi “too well-done” (bahasa halus untuk hangus). Aku menyerah, dan akhirnya membeli makanan dari luar. Biasanya, waktu mbak Ami masih ada aku makan di luar hanya siang hari. Ditinggal mbak Ami, makan di luar jadi pagi, siang dan malam. Very healthy, huh?!

Bulan puasa kemarin, stamina anak-anak kos merosot. Banyak yang jatuh sakit, ada yang tifus atau demam berdarah. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya. Mbak Ami betul-betul dibutuhkan! Untung saja aku bisa menjaga diri, dengan bantuan makanan suplemen tentunya. Sampai hari ini aku tidak terkena penyakit-penyakit menakutkan itu. Tapi beberapa hari yang lalu, perutku perih bukan main. Perih itu sampai ke punggung. Setiap kali makan, rasanya mual. Ada apa gerangan? Aku takut perutku luka, karena rasanya seperti ada luka di usus. Jangan-jangan tifus, oh my God…jangan tifus. Aku sih curiga aku kena maag (semoga hanya maag…)

Hari Selasa yang lalu aku pulang dari kampus dengan perut nyeri. Rasanya kampus – kos jauuuuh sekali. Keringat dingin menetes di tengkukku, rasanya mau pingsan. Wuih, tidak enak sama sekali!

Sampai di kamarku yang berantakan, langsung membaringkan diri di tempat tidur. Untuk mengurangi nyeri tadi aku sudah kunyah milanta sampai 4 tablet. Milantanya belum memberikan efek, sehingga aku memutuskan untuk tidur saja. Mana bisa tidur nyenyak sambil tersiksa beginiiiii….kalau lagi begini jadi ingat ibuku, hiks! Biasanya kalau aku lagi sakit banyak tawaran menarik dari beliau untuk meringankan sakitku, antara lain menyediakan susu hangat, atau pijat. Oh, rumahku istanaku…

Sementara di sini, aku harus menghadapi sakitku sendiri. Tidak ada mbak Ami yang juga suka menjagaku kalau sedang tidak enak badan. Sambil menunggu rasa kantuk datang, aku coba membaca bahan-bahan untuk artikelku. Aduh, makin eneg. Kapan selesainya itu artikel ya? Tidak mampu baca yang berat2, kuambil PDA. Mencoba menulis? Tidak…ada yang lebih menarik dari itu, games. Hehehe…

Sekarang aku tidak perlu kuatir lagi dengan perutku, karena Mbak Ami sudah pulang.

Friday, November 11, 2005

My Handwriting Analysis

About 3 month ago, Ibu Semi asked me to write everything I'd like to write on a blank paper. She just got back from Handwriting Analysis Training, and was assigned to analyze 2 writings. She chose me as one of her victims.

And below is my characteristics as judged by the damned handwriting analysis software, not bad though...

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

Handwriting Analyst Report for
Debby on 11/11/2005

Copyright 1986, 1999 by Michaels, Maze, & Hodos
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

Physical & Material Drives

Debby is an intense person with a lot of vitality and a zestful, exuberant attitude. She doesn't value physical or material pleasures (gourmet food, luxurious surroundings, etc.), so she doesn't put any energy into finding them.
Accumulating money or material possessions is not very important to her. Debby is not eager to build a fortune or surround herself with expensive things. She is not able to hold onto her money. Whether or not she has a lot, it just seems to slip through her fingers. While she tends to be generous, she also tries not to waste her resources.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Emotional Characteristics

Debby's mind is in control. She believes in approaching all situations in a rational way and doesn't allow herself to express emotions, even when she is upset. Moments of hate, love and joy affect her deeply and continue to affect her after the experiences have passed. She may hold grudges because she has a hard time
forgiving and forgetting.

Debby tries to maintain an even emotional keel by not assuming an overly optimistic or pessimistic attitude.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Intellectual Style

Though Debby is able to process information quickly, she is willing to slow down to be more deliberate and precise. She will try to solve problems by systematically evaluating information and developing new problem-solving strategies. Her step-by-step approach doesn't prevent her from coming up with original solutions to problems.

Debby is so intuitive that she disregards information which doesn't come to her through her own insight. She calls upon past experience to come up with quick answers. Although she is clever and inventive, her ideas usually lack logical cohesiveness. In thinking and problem-solving, she is cautious and often pauses for reflection before trying to solve a problem. She enjoys some activities which are intellectually stimulating, but she is equally concerned with taking care of the business of her day-to-day life. She notices details and pays attention to the particulars of an idea or problem. She believes that the details are important. She likes to read because she is a visual learner who can interact well with written material.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Personality Traits

Overall, Debby has developed a sufficient amount of self-confidence and self esteem.

Debby's interests are well-defined and she knows what she wants. She can be firm in her beliefs, attitudes and modes of behavior, and she tries not to let her life become cluttered with details. Her stubbornness sometimes prevents her from giving in, even when she is wrong. Since her willpower is consistently adequate, she is usually able to get herself to do the things which need to be done.

Debby's behavior is steady, and she is not inconsistent in her responses. She is versatile and many-sided. She is not rigid or prescribed in her behavior. She has carefully cultivated her sense of taste and exercises good judgement in aesthetic matters. She tries to simplify things in her personal life and stick to the essentials so that she doesn't get bogged down in undesirable complications. She likes to talk out loud when she is alone. She finds it helpful to verbalize her thoughts.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Social Behavior

Debby enjoys social contact and loves to have people close to her. This can be a problem for some people who feel that she imposes herself upon them and invades their space.

Debby will conceal information in order to protect herself, but she can be open and informative at other times. Because she knows what she wants, she can be direct or emphatic. She may become frustrated by indecision or indirect communication. She knows when to be conversational, when to be quiet and when something is better left unsaid. She is discreet, tactful and willing to respond openly and honestly when questioned. She tries to be clear in what she is saying because she wants to avoid miscommunication and misunderstanding.

Debby's feelings will usually not get hurt when her personal appearance is criticized. When her abilities or her performance are criticized, she is able to maintain a sense of dignity and poise rather than letting her feathers get ruffled. It may not be possible to tell when she is feeling let down because she won't show it. Instead, she will cover up her feelings by looking as if everything is going along just fine. She can be critical of others and focus on their deficiencies. Her dissatisfaction with others is likely to be a reflection of her dissatisfaction with herself. She will take an active part in social activities, whether that involves a central role or not. She is willing to become involved without requiring the spotlight.

Debby doesn't usually develop dependent social relationships. Her independence allows her to establish, maintain or break off contact when she chooses to.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Vocational Implications

Debby bases her decisions on facts and figures. When making decisions, she sets her emotions aside so that she can assess the information in an objective manner and choose the most sensible course of action. She is able to jump into the middle of new projects. It is not important to her to be with the project from the beginning. She doesn't like to waste time, and she can become frustrated when people are late for their appointments or when she is unable to be efficient in her use of time. She may become frustrated if she has to perform timed tasks because she needs time to do her work the way she would like to do it. In order to feel that she has adequately done her job, she needs to be both systematic and creative in her approach. She doesn't want to overlook anything, but she also likes to find novel solutions. She likes to streamline her work, but she will sacrifice speed for accuracy when necessary. She slows down to make sure that the accuracy of her work doesn't suffer. Because she has a lot of energy which she channels into her work, she is able to accomplish more than most people. When necessary, she is able to work alone with concentration and, in a group, she can be either a leader or a follower, as appropriate. She is willing to assume a variety of group roles.

In any task Debby undertakes, she is careful to systematically follow the proper procedures and take care of all the details. She enjoys being able to omit unessential tasks and prefers not to do things which appear to be less important. She doesn't like having to deal with bureaucratic red tape. She is able to remember important specifics, and would do well in occupations which involve attention to detail. Mechanical matters and the principles of construction work may be second-nature to her. Whether or not she is interested in construction or mechanical activities, she may have the potential to make machines work, solve mechanical problems and apply this understanding to construction.

Debby rarely expresses excitement about her work and generally appears to lack enthusiasm.

Debby sets realistic goals and is able to assess how her resources stack up compared to the resources she needs to reach her goals. Once she decides to do something, she goes after her objectives in a direct, focused manner. She is able to benefit from a constructive evaluation of her work and doesn't react defensively when she is criticized. She stands back, looks at her work objectively, and changes what needs to be changed in order to do the best job she can.

Thursday, November 10, 2005

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1426 H

Lebaran tahun ini jatuh pada tanggal 4 November 2005. Kalo liat acara-acara televisi sepertinya meriah sekali. Brand new day after all those scary programs back then. Televisi Indonesia benar-benar tidak mendidik dengan acara-acara sinetron full of hantu, jin, atau karma yang muncul semenit setelah orang melakukan dosa dalam bentuk yang seram-seram, orang baik yang digambarkan tanpa cela dan orang jahat yang tidak punya sisi baik. Kemana perginya komite pengawas acara televisi itu?
Lebaran kali ini aku sambut di kos aja. Acaranya jaga kos sekalian jaga Tweety (bukan nama sebenarnya). Anak itu tidak pulang sih Lebaran ini. Mungkin takut didesak oleh keluarganya untuk membuat acara pernikahan yang meriah. Oya, Tweety memang akan menikah bulan Januari 2006 di Blitar. Dia kepengen sekali pada saat pernikahan nanti pengantin dipisah, yang perempuan hanya menerima tamu perempuan dan yang pria hanya menerima tamu pria.

Sementara itu keluarganya menginginkan sebuah resepsi yang normal, dimana pengantin bersanding berdua di pelaminan saling melirik mesra. Hehehe... Komentarku singkat waktu Tweety minta pendapat: "Lu pacaran bedua doang kagak nape-nape, kenapa kawin musti dipisah?" Sambil melirik sadis dia bilang tidak pacaran. Whatever-lah, saat-saat makan berdua, ato cowoknya jemput di Malang buat pulang ke Blitar sama-sama, buat aku sudah pacaran. Emangnya definisi pacaran-nya Tweety itu apa sih? Snogging each other?

Btw, si Tweety ini ketemu sama the love of her life ketika sedang belajar di Unibraw. Waktu berangkat ke Malang, dia sangat berharap dapat jodoh di sana. Benar saja, dia memang got one, tapi bukan teman kuliahnya, melainkan teman masa kecilnya. Tweety tidak mau cerita how they met each other, tapi karena katanya cowoknya pemilik warnet, aku curiga mereka ketemu waktu Tweety sedang menggunakan warnet. How sweet...

Menurut Tweety, sepulang belajar di Malang, ada 2 hasil yang dia dapat: ijazah S2 dan suami. Bagaimana dengan ilmu Administrasi Perencanaan Daerahnya? Well, sudah lupa sama sekali! Program S2 kurang dari setaon kerjasama antara Bappenas & Unibraw ini memang dilaksanakan praktis hanya dalam 6 bulan. Sisanya dipakai untuk membuat tesis, yudisium dan wisuda. What a tight schedule! Pantes aja mereka bisa lupa, they got no time to internalize what they learnt from school!

Btw, omongin Lebaran kok jadi ngomongin Tweety ya... Kembali ke topik Lebaran lagi, tahun lalu aku menghabiskan liburan Lebaran di Bandung, bersama Alison & Kris. Tahun ini sebetulnya aku berencana berlebaran di Medan, tapi karena kurang niat akhirnya batal. Rencananya diubah ke acara keliling Jawa bersama Aan, my youngest bro. Tapi dasar adik durhaka, at the last minute he cancelled the plan. Dari sepupuku aku dapat kabar dia jadi jalan-jalan bersama teman-temannya, dari Surabaya sampai Yogyakarta. Untung tidak sampai Jakarta, kalo sampai pasti tidak selamat dari kakaknya yang sakit hati.

Lebaran hari pertama sampai ketiga aku lewati bersama Tweety di kos aja. Thanks to DVD Player, acara nonton jadi acara utama yang bikin otakku jadi lumpuh berhari-hari. Sebetulnya aku punya kewajiban membuat sebuah artikel yang harus dipresentasikan setelah Lebaran. Aku sudah membawa banyak bahan untuk artikel tersebut, tapi kok buka notebook aja mualesnya minta ampun.

Hari keempat Lebaran, aku pergi ke Bandung. Mudah-mudahan disini aku bisa lebih rajin mikirin artikelku. Maka akupun berangkat dengan semangat 45 meninggalkan Tweety sendirian di kos. Kasihan Tweety…Mudah-mudahan anak kos sudah ada yang kembali hari ini. One of them promised us to comeback yesterday, but she didn't.

Seperti biasa kalo ke Bandung, aku menggunakan KRL Express yang berhenti di Stasiun UI sekitar jam 11. Tujuanku adalah mengejar Argo Gede yang jam 12.30. Jam 12 aku sudah sampai di Stasiun Gondangdia. Yup, kalo musim Lebaran KRL Ekspres memang ditendang dari Stasiun Gambir, berhenti di Gondangdia dan Juanda yang mengapit Gambir. Aku terpaksa menggunakan jasa ojek untuk ke Gambir. Terburu-buru aku ke loket Argo Gede, untung masih ada tiket. Naik ke atas, ups...ada yang sedang shoot escalator. Mungkin untuk acara arus mudik/arus balik Lebaran salah satu stasiun TV.

Di peron 4 sudah menunggu Argo Gede. Pelan-pelan aku mencari seat 11D. Semoga teman dudukku bukan orang reseh. Ukuran tidak reseh buatku adalah tidak ngajak ngobrol. Aku bukan tipe orang yang suka ngobrol sama strangers. Fortunately, the guy di seat 11C tidak banyak ngomong. Dia cuman show off that he's a geek with some expensive gadgets. Well, I don't mind at all, as long as he doesn't start talking about it. Waktu hampir 3 jam aku habiskan dengan menulis, mendengarkan Josh Groban, ABBA, Queen dan Bon Jovi silih berganti, and of course a little bit contemplation. Tadinya aku berencana menghitung jumlah jembatan yang aku temui sepanjang jalan, tapi pada hitungan 10 aku sudah jatuh tertidur.

Sampai di Bandung tepat waktu, sekitar jam 15.20. Alison belum kelihatan batang hidungnya, katanya stucked di Cihampelas. Pasti mobil-mobil Jakarta tumpah ruah di sana. Beberapa waktu yang lalu aku jalan-jalan ke Ciwalk (Cihampelas Walk). Tempat ini tak ubahnya Citos (Cilandak Town Square) di Jakarta, tapi kok mobil-mobil yang parkir di sana kebanyakan mobil dari Jakarta. Orang Jakarta jauh-jauh ke Bandung, maennya di mall juga. Hah!

Dari pagi perutku cuman diisi havermut, roti holland bakery dan roti dari kereta api, tapi masih kenyang. Walau gitu, daripada bengong kelamaan, aku memutuskan makan di Hokben meskipun tidak lapar.

Setelah makan Alison belum nyampe juga. Terpaksa acara bengong dilanjutkan lagi di ruang tunggu. Jam 4 lebih dikit dia baru nongol dengan sebuah Escudo merah seri terbaru. Alison mendadak kaya? Hehehe...kagak lah yaw. Itu mobil milik istrinya mas Zardi, rekan kerja Alison, yang kebetulan sedang liburan ke Bandung.

Malam ini aku berencana ketemuan dengan Flora, teman masa kecil waktu di Sungai Pakning. Actually, her brother was my friend. Kami makan malam di Kafe Kapulaga. Flora menceritakan kisah keluarganya yang tragic sepeninggal ayahnya. Kedua adiknya mengalami depresi ditinggal mati ayah mereka, kakaknya Ranto yang sudah lama meninggalkan keluarganya untuk jadi aktivis, Flora yang harus berkorban biaya untuk mengobati adik-adiknya karena sumber pemasukan ibunya praktis hanya berasal dari uang pensiun ayahnya, etc. Wow...kisah nyata ini bisa dibuatkan sinetron sebetulnya. No wonder Flora kelihatan sedikit stres...

Kayaknya berlama-lama di Bandung pun bisa bikin aku stres, apalagi kalau ada Aan yang tiba-tiba nongol tanpa pemberitahuan. Pusing lihat tingkah polahnya yang kekanak-kanakan dan sok dewasa. Baru dua hari di sini sudah membuat aku rindu Depok lengkap dengan Tweety yang hobi menerapkan double standard dalam hidupnya itu. Apalagi, di Bandung pun kebiasaan nonton DVD tidak bisa hilang. Kali ini aku nonton 24-nya Jack Bauer season 2 - 4 nonstop, sampai jam 2 pagi! Alamaaakkkk…makin tumpul aja otak gue!

Hari Kamis pagi, jam 4.30 aku sudah siap-siap berangkat pulang ke Jakarta. Aku mau mengejar Parahyangan jam 5 am, supaya bisa ke kantor agak tepat waktu. Hari ini ada acara Halal bi halal di FPsi. Tapi apa daya, jam 5 tepat baru nyampe stasiun, tadi mampir dulu sih di Circle K, rada lama karena Alison minum kopi dulu. Argo Gede yang jam 5.30 hanya ada hari Sabtu. Terpaksa aku naik Parahyangan jam 6.05. Katanya sih nyampe Gambir jam 9.04. Kita lihat saja nanti. Adios Bandung...