Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Saturday, August 26, 2006

1st Convention of Asian Psychological Association

Konvensi APsyA pertama yang berlangsung dari tanggal 18 s/d 20 Agustus 2006 di Hotel Kuta Paradiso Bali, berjalan cukup sukses despite of minor mistakes. Biasalah, pada pengalaman pertama pasti ada sedikit kesalahan di sana sini. Kalau boleh memberikan sedikit penilaian, koordinasi antara panitia agak sedikit kurang. Ada panitia yang sibuk sekali, ada yang tidak sibuk sama sekali.

Hari pertama diisi dengan workshop-workshop dan welcome ceremony berupa cocktail party. Ada tiga workshop tersaji: Resiliency (Chok Hiew), Exposure Technique (Tian Oei), dan Hypnotherapy (dr. Arya). Ketiga workshop tersebut under-promotion, sehingga yang hadir tidak banyak, dan kabarnya membuat Pak Tian Oei rada kecewa. Banyak partisipan yang check-in or re-register pada hari pertama dan baru tahu ada workshop setelah workshop berjalan beberapa lama, sehingga mereka tidak boleh masuk karena sudah ketinggalan. Too bad…

Aku ikut membantu di meja registrasi ulang sejak sehari sebelum konferensi dimulai. Sebetulnya it’s a very fun experience, karena aku berhadapan dengan peserta dari berbagai negara. Tapi aku gak tahan sama anginnya! Meja registrasi berada di lobi hotel dimana angin datang dari mana-mana. Jadilah aku sibuk mencari pertahanan diri, semua persediaan obat aku periksa ketersediaannya. Gak lucu juga kalau sudah tewas baru 2 hari di sana, dan event belum mulai pula.

Beberapa peserta asing membuat aku terkesan, terutama KC dari England (ehem!) yang mengingatkanku pada seorang teman (kalau dipikir-pikir beberapa kali KC itu ternyata mirip pacarnya Leona…hwaaaaaaa kok bisaaaa!!!). Sejak pertama he caught my attention, dan ternyata selama 2 hari berikutnya dia cukup mampu menjaga semangatku. Bagaimana tidak? Seakan Tuhan sudah mengaturnya, di ruangan mana pun aku ada (ruangan untuk temu ilmiah ada tiga: Arjuna, Nakula dan Sadewa) dia selalu ada di sana. Sayangnya ketika giliran dia presentasi aku tidak bisa menemani. Halah, kayak dia notice aja.

Sepulang dari Bali, pada satu kesempatan aku ngobrol-ngobrol sama Mba Liche. Dan yang gak penting banget, aku cerita tentang KC. Aku sempat bertanya-tanya ke Mba Liche, kenapa aku bisa tertarik sama Chinese people, satu hal yang tidak pernah terpikir sejak dulu. Aku ingat dulu ketika masih SMP sempat marah besar ke mamaku karena beliau menggodaku. Kata mama suatu saat nanti jodohku kemungkinan besar orang Cina, hanya gara-gara aku membuat seorang teman sekolahku yang kebetulan keturunan Cina sakit hati karena aku menolak mengajarinya pelajaran matematika. That scared me a lot so I even hated this person more. Dan sekarang, kok bisa ya aku jadi suka sama tampang Taiwan? Mirip pacarnya Leona lagi! Hwaaaaa!!! (bahkan aku pernah bertanya ke Leona kok bisa dia suka sama si Chongki) Mba Liche sempat menganalisis dan mengatakan ‘chemistry’ Cina dan Batak itu sama. Hehehe maksa deh si Mbak…

Lalu peserta lainnya yang mengesankan adalah the one from Saudi Arabia, Ibrahim Alnaim. Dia orang ini luar biasa genitnya! Dari sejak pertama kali registrasi bawaanya menggoda terus, but he’s really not my type. Hari terakhir dia sempat bertanya apakah aku local people, dan aku jawab bukan, tapi dari Jakarta. Dengan semangat dia bilang akan ke Jakarta, dan berharap bisa bertemu denganku di Jakarta. Then dia bilang he’s not a very religious man (what’s that supposed to mean?) Aku bilang, dia harus membawa mahar yang banyak supaya bisa bertemu dengan aku. Dia bilang no problem. Lalu aku ingatkan lagi, untuk membayar biaya konvensi USD 290 saja dia minta diskon jadi USD 261, padahal mahar untukku jauh lebih besar dari itu. Hehehe…akhirnya dia bilang,”You’re not allowing me to meet you in Jakarta” and I replied,”Of course not, I am a religious woman”.

Sandy yang berada di sampingku bilang, malam sebelumnya waktu Sandy jalan-jalan keluar kamar sekitar jam 11 malam, dan melihat orang itu membawa perempuan cantik masuk ke kamar hotelnya (kebetulan mereka sama-sama menginap di hotel Kuta Paradiso). Lalu aku bilang, ya dia tadi memang mengakui he’s not a religious man, dan dengan itu dia membenarkan tindakannya.

Satu lagi dari Malaysia, seorang ibu bernama unik yang ternyata duduk di BOD APsyA sebagai wakilnya Pak Ito. Ibu ini sejak pertama datang sudah menyusahkan, karena tidak membawa cash untuk membayar biaya pendaftaran. Dia hanya membawa RM500, yang kata Bu Bulie diterima saja. Akhirnya aku harus membuat surat perjanjian dengannya supaya ia membayar kekurangannya dalam RM setelah konvensi usai. Kabarnya, setelah beberapa waktu si Ibu berubah pikiran, dan meminta kembali RM500 tetapi minta receipt. Dia berjanji akan membayar sepulang dari Bali. Wah…nyusahin juga si Ibu, plin-plan banget!. Kabarnya Pak Ito pun rada kuatir sama si Ibu karena kongres berikutnya (tahun 2008) akan dilangsungkan di Malaysia.

Lalu ada Kate Moore dari Melbourne yang sangat modis. Dia ini favoritku karena orangnya easy going, cheerful, dan very considerate. Si Kate ini sangat bernafsu jadi anggota BOD, sampai-sampai minta reference dari aku. Emangnya siapa gue bisa jadi referensi dia? Akhirnya memang si Kate ini bisa masuk ke BOD, tetapi untuk meeting tahun 2010 yang akan diadakan di Melbourne, person in charge-nya justru Kate Burrell dari Canberra. Nah lho….Kate Burrell bilang Canberra-Melbourne takes 10 hours drive. Kemudian ada Sherry McCarthy dari Arizona, USA yang keibuan. Semua presentasi dari yang Englishnya bagus sampai yang Englishnya belepotan dibilang bagus sama dia, persis alm. Pak Tino Sidin kalau lagi menilai gambar anak-anak di televisi.

Selain sesi ilmiah, ada juga sesi-sesi Asian Terrorism yang berlangsung di ballroom pada saat yang bersamaan. Aku sudah berjanji pada Mark, detektif dari Aussie Embassy untuk ikut sesi Asian Terrorism, tapi ternyata aku tidak bisa sama sekali mengikutinya karena harus berada pada sidang ilmiah. Padahal ada video dokumenter dari Mas Rudi tentang kejadian bom Bali yang sempat terekam, dan wawancaranya dengan Amrozi dan beberapa pelaku bom (oya aku belum sempat ngobrol sama this energetic man tentang ijin copy CD filmnya). Lalu ada lagi Nasir Abbas yang mengaku gurunya Amrozi tapi sudah insyaf. Pokoknya sayang sekali deh aku gak bisa ikutan sesi-sesi itu. Nanti deh aku pinjam CD-nya si Rudi yang diberikan ke Pak Ito.

Setelah acara farewell, ada acara General Tour ke Garuda Wisnu Kencana, Uluwatu dan diakhiri dengan makan malam di Jimbaran. Aku ikutan general tour tersebut, tapi sayang banget KC gak bisa ikut karena sudah harus pulang ke UK. So soon?! Hiks!

Tour Guide di GWK bilang, nantinya patung Dewa Wisnu naik Garuda Kencana akan lebih tinggi dari Patung Liberty di New York. Wah, huebat bener. Beberapa peserta asing tidak percaya, karena pasti menelan biaya sangat besar. Apalagi pada grand plan-nya, proyek GWK akan selesai pada tahun 2010. Impossible rasanya. Tapi mereka tidak tahu sih, kalau Indonesia punya Bandung Bondowoso yang bisa bikin 1000 candi dalam semalam dan Gatot Kaca yang punya otot baja.

Di Uluwatu, monyet-monyetnya pinter-pinter bener. Kegemarannya mencuri barang pengunjung, jadi harus awas bener sama barang bawaan. Steven dari Aus Embassy sempat melihat ada monyet sedang making love di tengah kerumunan orang dan dengan bahasa Indonesianya yang baik dan benar Steven bilang ke aku,”ada dua monyet bercinta dilihat oleh orang banyak, dan monyet-monyet itu tidak peduli”. Waktu aku tanya dimana monyet-monyet itu, Steven bilang,”sudah selesai bercintanya, itu tadi mengapa orang ramai bertepuk tangan.” Hehehe…dasar monyet, gak pilih-pilih tempat melakukan kegiatan pribadi. Dan dasar orang, ngeliat monyet bercinta kok ditepukin.

Walaupun sudah diperingati sejak awal untuk menjaga barang-barang bawaan, termasuk kacamata, ada saja yang kecolongan. Kacamata peserta dari Malaysia dan Chok Hiew dari Kanada diambil oleh monyet-monyet itu. Untungnya dua kacamata itu kembali ke pemiliknya, meskipun kacamata si Malaysia tidak bisa dipakai lagi. Anehnya kacamata Chok Hiew yang baliknya lebih lama tidak mengalami kerusakan. Mungkin karena kacamatanya buatan Kanada, lebih mahal dan proses pengembaliannya juga memakan biaya cukup besar (EO kita harus bayar Rp 50rb kepada orang yang membantu mengambilnya dari sang monyet). Lumayan, Chok Hiew jadi punya pengalaman untuk diceritakan ke rekan-rekannya. Karena EO-nya tidak mau dibayar balik oleh Chok Hiew, sambil bercanda si Chok bertanya,”is this part of the program?” dan si EO jawab,”no, it’s pure accident.”

Acara General Tour diakhiri dengan makan malam di Jimbaran, di sebelah kafe Manega tempat bom bali kedua terjadi beberapa waktu yang lalu. Untunglah tidak terjadi apa-apa ketika kami di sana, baik tsunami maupun bom bali ketiga. Kami pulang dengan perut sangat kenyang (bayangkan, harus makan ikan, udang, cumi, kerang dalam sekali makan, untung perutku elastis). Sampai jumpa di Malaysia….atau Melbourne aja kali ya?

Friday, August 25, 2006

Desa Bali Aga di Trunyan

Hari Rabu, 16 Agustus 2006 aku dan rombongan panitia APsyA berangkat ke Bali untuk 1st convention of Asian Psychological Association. Berangkat jam 7 pagi tepat dengan Adam Air, kami sampai di Bandara Ngurah Rai sudah jam 9.30 WIT. Perjalanan yang memakan waktu 1.5 jam jadi 2.5 jam karena waktu di Bali lebih cepat 1 jam daripada waktu di Jakarta.

Sampai di mess AURI yang tidak jauh dari bandara, terjadi perebutan kamar di cottage 2, dan membuat “yang muda yang mengalah” tapi dengan gondok yang amat sangat. Tadinya aku tidak terlalu mengerti mengapa harus berebut kamar, tapi akhirnya aku ngerti setelah tahu bahwa dari 3 kamar di cottage 2, hanya 1 kamar yang punya kamar mandi di dalam. Dua kamar lainnya share kamar mandi. Tapi tidak masalah buatku, yang penting ada fasilitas air panas di kamar mandi, dan AC di kamar. Itu sudah cukup.

Setelah berbagi kamar tidur, aku diajak Pak Luluk dan Pak Wilman ke Desa Bali Aga di Trunyan. Alasannya cari kopi dan bahan logistik lainnya. Maka berangkatlah kami berenam ke Trunyan (aku, Pak Wilman, Pak Luluk, Bang Hamdi, Alvin dan Faya). Sialnya, aku tidak membawa HP (dan ternyata jadi blessing in disguise karena sepanjang jalan tidak diganggu sama panitia lainnya yang tidak ikut jalan2). Sepulang dari Bali Aga, dengan penuh kerinduan aku ambil HPku dari Ringking (untung tidak dijual sama dia) dan ada 9 missed calls dari fakultas dan pasca. Mendadak tidak kangen aku. Tapi kayaknya urusannya penting banget sampai harus missed call 9 kali (sepulang dari Bali baru aku tau dari Eka kalau mereka ngotot telepon aku karena kebingungan memilih orang yang akan maju ke depan pada waktu wisuda di balairung) Halah...masa sih gak ada yang bisa handle that easiest decision-making in the world? Kata Eka lagi, karena HPku tidak diangkat2 mereka coba telepon Pak Wilman, dan beliau sengaja mematikan HP-nya karena gak mau diganggu waktu paying a respect to the deceased. Hehehe....

Kembali ke Bali, mencari tempat makan di Pulau Dewata ini merupakan masalah yang cukup serius untuk rekan-rekan muslim, sehingga untuk amannya kita makan di restoran padang Natrabu di daerah Sanur. Setelah makan siang di sana, HP Pak Wilman selalu sibuk karena ditelepon panitia, disuruh meeting bo!

Jam 2 siang kami sampai di Danau Batur, a very beautiful and windy lake. Di kejauhan kelihatan Desa Trunyan, yang terkenal dengan budaya meletakkan mayat di atas tanah di bawah pohon tarumenyan. Orang-orang di seberang danau mengitari kami dan menawarkan perahunya, Rp 400rb untuk sampai di lokasi mayat. Katanya ada mayat yang baru tiga hari meninggal. Setelah tawar menawar akhirnya disepakati harga Rp 350rb, dengan perjanjian tidak akan membayar apa2 lagi di Trunyan.

Dengan nekat aku naik perahu kecil yang kelihatannya unreliable itu. Rombongan sebelumnya adalah keluarga bule yang sudah siap dengan pelampungnya. Meskipun demikian, perahu mereka hanya menyusuri pantai, barangkali takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat perahu-perahu di sana kurang fasilitas. Sedangkan perahu kami yang kondisinya barangkali lebih buruk (karena jalannya sangat lambat) berjalan membelah danau. Bisa dipastikan aku tidak akan selamat jika perahu terbalik or something, dan tidak ada pegangan untukku. Tapi namanya juga orang Indonesia, nekat is the rule.

Sesampainya di desa terdekat dengan tempat mayat, kami ganti perahu yang kelihatannya punya mesin lebih bagus. Orang-orang setempat ternyata betul-betul “menghargai” uang, bahkan sampai ke anak-anak. Dengan menggunakan perahu dayung, anak-anak mengitari perahu kami sambil berteriak “lempar…lempar”. Apanya yang dilempar? Akhirnya kami mengerti yang dimaksud anak-anak itu adalah “lempar duitnya”. Wah duit kok dilempar.

Sesampai di desa mayat, keluarga bule sudah akan pulang. Seorang nenek di tepi jalan menuju lokasi mayat minta uang. Seorang laki-laki menghadang jalan kami menuju lokasi mayat, minta sumbangan. Bang Hamdi mengeluarkan uang Rp 10rb untuk amal. Sumbangan itu ditolak sambil menunjukkan uang Rp 300rb yang sepertinya berasal dari keluarga bule itu. Bang Hamdi berang, dan bilang sumbangan itu kan sukarela, dan jangan samakan orang bule dengan orang Indonesia. Dia ngotot minta lebih dengan alasan “biar seimbang”. Hah, apanya yang seimbang. Aku bilang ke dia kita sudah bayar lebih untuk perahu dan dijanjikan tidak akan bayar apa2 lagi di sini. Dia gak mau tau. Akhirnya Pak Wilman tidak mau ribut2 dan mengeluarkan uang lagi, dan aku pun mengeluarkan uang lagi untuk menambahkan uang dari Bang Hamdi.

Setelah itu kami diperbolehkan menuju lokasi tengkorak, dan dikelilingi orang-orang lain lagi yang bertindak sebagai tour guide. Seorang diantaranya menerangkan segala sesuatu tentang mayat, upacara dan sebagainya, serta menjawab pertanyaan2 kami. Katanya mayat yang boleh ditaruh di sana adalah mayat yang meninggal secara wajar, artinya bukan karena kecelakaan, sakit dan sebagainya. Mayat itu hanya dibungkus kain batik, dan diletakkan di atas tanah. Perlindungannya hanya bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa. Mungkin untuk menghindari mayat itu diganggu oleh hewan. Mayat diletakkan di bawah sebuah pohon yang disebut “tarumenyan”, yang dipercaya oleh orang-orang setempat sebagai pohon yang menyerap bau dari mayat.

Waktu kami datang, mayat terbaru di sana meninggal seminggu sebelumnya, dan benar saja tidak ada baunya. Dari keterangan tour guide dadakan itu, kami mengerti mengapa ada tengkorak-tengkorak yang dijejerkan dengan rapi, dan ada tengkorak yang tergeletak sembarangan di tanah. Ternyata, mayat yang diletakkan di bawah pohon tarumenyan belum diupacarakan. Upacara menunggu keluarga mayat tersebut punya dana, dan biasanya dana ada setelah mayat tersebut sudah jadi tengkorak. Jika tengkorak mayat itu sudah diupacarakan, baru layak dijajarkan dengan tengkorak-tengkorak lainnya. Jika belum diupacarakan, ya dibiarkan saja berserakan di tanah. It is possible berjalan di antara tengkorak2 atau menginjak tengkorak yang berserakan. Hiiii...mudah-mudahan arwah mereka tidak ikut kami ke hotel mengingat mereka masih gelisah menunggu diupacarain.

Setelah berfoto-foto bersama tengkorak, kami pun beranjak pulang. Sang tour guide dadakan mengikuti kami dengan antusias dan minta uang. Waaaa…uang lagiiiii!!! Aku pikir dia menerangkan dengan sukarela, courtesy dia untuk membantu kami memahami budaya mereka, dan kalaupun ada biayanya, itu sudah termasuk dalam uang yang kami sumbangkan tadi. Tapi ternyata tidak….nenek-nenek di tepi jalan sudah dikasih uang oleh Pak Luluk dan Alvin, tapi masih juga mengejar kami di perahu dengan perahu dayungnya, minta uang lagi. Aduh sedih bener sih, ini terjadi di Indonesia, sebuah tempat yang jauh dari peradaban consumerism. Bagaimana mereka bisa memajukan pariwisata “mayat tak dikubur” itu jika sikap mereka tetap seperti ini?

Pulang dari tempat itu, kami buru-buru ke hotel Kuta Paradiso. ditunggu meeting sejak jam 4 sore. Sampai di hotel sudah jam 6 sore, belum ada tanda-tanda meeting sudah kelar, tapi sudah tidak membicarakan apa-apa lagi. Yang lain sudah cemberut saja, dan mengatakan kami pengkhianat. Hehehehe…tapi Pak Enoch tidak pernah merasa kami pengkhianat (thanks Pak, you're the best!), menurut beliau yang pengkhianat itu BH, yang meninggalkan mereka ketika makan siang sampai-sampai harus ikut mendorong mobil yang mogok. Wah, seru juga tuh pengalaman mereka, mobil mogok didorong satu orang profesor dan beberapa doktor katanya. Tau apa yang bikin Pak Enoch sebel? Buku acara yang tidak profesional dibuatnya, untuk sebuah acara berskala internasional. Hehehe...Emang tuh Pak, siapa sih yang bikin itu buku?