Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Friday, August 25, 2006

Desa Bali Aga di Trunyan

Hari Rabu, 16 Agustus 2006 aku dan rombongan panitia APsyA berangkat ke Bali untuk 1st convention of Asian Psychological Association. Berangkat jam 7 pagi tepat dengan Adam Air, kami sampai di Bandara Ngurah Rai sudah jam 9.30 WIT. Perjalanan yang memakan waktu 1.5 jam jadi 2.5 jam karena waktu di Bali lebih cepat 1 jam daripada waktu di Jakarta.

Sampai di mess AURI yang tidak jauh dari bandara, terjadi perebutan kamar di cottage 2, dan membuat “yang muda yang mengalah” tapi dengan gondok yang amat sangat. Tadinya aku tidak terlalu mengerti mengapa harus berebut kamar, tapi akhirnya aku ngerti setelah tahu bahwa dari 3 kamar di cottage 2, hanya 1 kamar yang punya kamar mandi di dalam. Dua kamar lainnya share kamar mandi. Tapi tidak masalah buatku, yang penting ada fasilitas air panas di kamar mandi, dan AC di kamar. Itu sudah cukup.

Setelah berbagi kamar tidur, aku diajak Pak Luluk dan Pak Wilman ke Desa Bali Aga di Trunyan. Alasannya cari kopi dan bahan logistik lainnya. Maka berangkatlah kami berenam ke Trunyan (aku, Pak Wilman, Pak Luluk, Bang Hamdi, Alvin dan Faya). Sialnya, aku tidak membawa HP (dan ternyata jadi blessing in disguise karena sepanjang jalan tidak diganggu sama panitia lainnya yang tidak ikut jalan2). Sepulang dari Bali Aga, dengan penuh kerinduan aku ambil HPku dari Ringking (untung tidak dijual sama dia) dan ada 9 missed calls dari fakultas dan pasca. Mendadak tidak kangen aku. Tapi kayaknya urusannya penting banget sampai harus missed call 9 kali (sepulang dari Bali baru aku tau dari Eka kalau mereka ngotot telepon aku karena kebingungan memilih orang yang akan maju ke depan pada waktu wisuda di balairung) Halah...masa sih gak ada yang bisa handle that easiest decision-making in the world? Kata Eka lagi, karena HPku tidak diangkat2 mereka coba telepon Pak Wilman, dan beliau sengaja mematikan HP-nya karena gak mau diganggu waktu paying a respect to the deceased. Hehehe....

Kembali ke Bali, mencari tempat makan di Pulau Dewata ini merupakan masalah yang cukup serius untuk rekan-rekan muslim, sehingga untuk amannya kita makan di restoran padang Natrabu di daerah Sanur. Setelah makan siang di sana, HP Pak Wilman selalu sibuk karena ditelepon panitia, disuruh meeting bo!

Jam 2 siang kami sampai di Danau Batur, a very beautiful and windy lake. Di kejauhan kelihatan Desa Trunyan, yang terkenal dengan budaya meletakkan mayat di atas tanah di bawah pohon tarumenyan. Orang-orang di seberang danau mengitari kami dan menawarkan perahunya, Rp 400rb untuk sampai di lokasi mayat. Katanya ada mayat yang baru tiga hari meninggal. Setelah tawar menawar akhirnya disepakati harga Rp 350rb, dengan perjanjian tidak akan membayar apa2 lagi di Trunyan.

Dengan nekat aku naik perahu kecil yang kelihatannya unreliable itu. Rombongan sebelumnya adalah keluarga bule yang sudah siap dengan pelampungnya. Meskipun demikian, perahu mereka hanya menyusuri pantai, barangkali takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat perahu-perahu di sana kurang fasilitas. Sedangkan perahu kami yang kondisinya barangkali lebih buruk (karena jalannya sangat lambat) berjalan membelah danau. Bisa dipastikan aku tidak akan selamat jika perahu terbalik or something, dan tidak ada pegangan untukku. Tapi namanya juga orang Indonesia, nekat is the rule.

Sesampainya di desa terdekat dengan tempat mayat, kami ganti perahu yang kelihatannya punya mesin lebih bagus. Orang-orang setempat ternyata betul-betul “menghargai” uang, bahkan sampai ke anak-anak. Dengan menggunakan perahu dayung, anak-anak mengitari perahu kami sambil berteriak “lempar…lempar”. Apanya yang dilempar? Akhirnya kami mengerti yang dimaksud anak-anak itu adalah “lempar duitnya”. Wah duit kok dilempar.

Sesampai di desa mayat, keluarga bule sudah akan pulang. Seorang nenek di tepi jalan menuju lokasi mayat minta uang. Seorang laki-laki menghadang jalan kami menuju lokasi mayat, minta sumbangan. Bang Hamdi mengeluarkan uang Rp 10rb untuk amal. Sumbangan itu ditolak sambil menunjukkan uang Rp 300rb yang sepertinya berasal dari keluarga bule itu. Bang Hamdi berang, dan bilang sumbangan itu kan sukarela, dan jangan samakan orang bule dengan orang Indonesia. Dia ngotot minta lebih dengan alasan “biar seimbang”. Hah, apanya yang seimbang. Aku bilang ke dia kita sudah bayar lebih untuk perahu dan dijanjikan tidak akan bayar apa2 lagi di sini. Dia gak mau tau. Akhirnya Pak Wilman tidak mau ribut2 dan mengeluarkan uang lagi, dan aku pun mengeluarkan uang lagi untuk menambahkan uang dari Bang Hamdi.

Setelah itu kami diperbolehkan menuju lokasi tengkorak, dan dikelilingi orang-orang lain lagi yang bertindak sebagai tour guide. Seorang diantaranya menerangkan segala sesuatu tentang mayat, upacara dan sebagainya, serta menjawab pertanyaan2 kami. Katanya mayat yang boleh ditaruh di sana adalah mayat yang meninggal secara wajar, artinya bukan karena kecelakaan, sakit dan sebagainya. Mayat itu hanya dibungkus kain batik, dan diletakkan di atas tanah. Perlindungannya hanya bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa. Mungkin untuk menghindari mayat itu diganggu oleh hewan. Mayat diletakkan di bawah sebuah pohon yang disebut “tarumenyan”, yang dipercaya oleh orang-orang setempat sebagai pohon yang menyerap bau dari mayat.

Waktu kami datang, mayat terbaru di sana meninggal seminggu sebelumnya, dan benar saja tidak ada baunya. Dari keterangan tour guide dadakan itu, kami mengerti mengapa ada tengkorak-tengkorak yang dijejerkan dengan rapi, dan ada tengkorak yang tergeletak sembarangan di tanah. Ternyata, mayat yang diletakkan di bawah pohon tarumenyan belum diupacarakan. Upacara menunggu keluarga mayat tersebut punya dana, dan biasanya dana ada setelah mayat tersebut sudah jadi tengkorak. Jika tengkorak mayat itu sudah diupacarakan, baru layak dijajarkan dengan tengkorak-tengkorak lainnya. Jika belum diupacarakan, ya dibiarkan saja berserakan di tanah. It is possible berjalan di antara tengkorak2 atau menginjak tengkorak yang berserakan. Hiiii...mudah-mudahan arwah mereka tidak ikut kami ke hotel mengingat mereka masih gelisah menunggu diupacarain.

Setelah berfoto-foto bersama tengkorak, kami pun beranjak pulang. Sang tour guide dadakan mengikuti kami dengan antusias dan minta uang. Waaaa…uang lagiiiii!!! Aku pikir dia menerangkan dengan sukarela, courtesy dia untuk membantu kami memahami budaya mereka, dan kalaupun ada biayanya, itu sudah termasuk dalam uang yang kami sumbangkan tadi. Tapi ternyata tidak….nenek-nenek di tepi jalan sudah dikasih uang oleh Pak Luluk dan Alvin, tapi masih juga mengejar kami di perahu dengan perahu dayungnya, minta uang lagi. Aduh sedih bener sih, ini terjadi di Indonesia, sebuah tempat yang jauh dari peradaban consumerism. Bagaimana mereka bisa memajukan pariwisata “mayat tak dikubur” itu jika sikap mereka tetap seperti ini?

Pulang dari tempat itu, kami buru-buru ke hotel Kuta Paradiso. ditunggu meeting sejak jam 4 sore. Sampai di hotel sudah jam 6 sore, belum ada tanda-tanda meeting sudah kelar, tapi sudah tidak membicarakan apa-apa lagi. Yang lain sudah cemberut saja, dan mengatakan kami pengkhianat. Hehehehe…tapi Pak Enoch tidak pernah merasa kami pengkhianat (thanks Pak, you're the best!), menurut beliau yang pengkhianat itu BH, yang meninggalkan mereka ketika makan siang sampai-sampai harus ikut mendorong mobil yang mogok. Wah, seru juga tuh pengalaman mereka, mobil mogok didorong satu orang profesor dan beberapa doktor katanya. Tau apa yang bikin Pak Enoch sebel? Buku acara yang tidak profesional dibuatnya, untuk sebuah acara berskala internasional. Hehehe...Emang tuh Pak, siapa sih yang bikin itu buku?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home