Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Monday, June 30, 2008

Sakit itu gak enak bow...

Sudah tiga hari ini my body is not delicious. Pasalnya...gak tau pasal berapa....tiba-tiba bagian pinggang sebelah kanan belakang sakit aja. Tidak pakai peringatan, tidak ada lampu kuning, tiba-tiba sakit saja. Dan sakitnya pun tidak ketulungan. Bukan hanya bikin aku gak bisa tidur nyenyak, bahkan bikin aku susah bernafas. Nah lho...kayaknya paru-paru bukan di situ deh tempatnya.

Sakit di bagian pinggang kanan belakang itu membuat aku kayak orang bego, tidak bisa ngapa2in. Sebetulnya ini sudah kali ketiga aku merasakan sakit itu. Pertama kali adalah januari 2007 ketika aku divonis dokter gejala tifus, yang membuat aku tergeletak di tempat tidur selama 3 hari. Kali kedua bulan April 2008, sehabis mengantarkan bo-nyok ke airport. Biasanya sih obatnya adalah obat pusing, antibiotik, penurun panas, minum air putih yang banyak dan tergeletak di tempat tidur 24 jam.

So kali ini kuterapkan ilmu penyembuhan ala kali pertama dan kedua itu. Aku meringkuk di bawah selimut tebal sejak malam minggu sampai minggu malam, sampai kepalaku mau pecah karena tidur melulu. Aku hanya bangun untuk makan, minum dan makan obat. Untung tidak mual-mual waktu makan. Artinya bukan tifus dong ya....mudah-mudahan. Tapi aku rewel sekali dengan makanan, tidak boleh asin dan pedas. Hanya boleh rasa manis....itu artinya cuman mau makan coklat. Hehehe...

Pagi tadi anehnya sakit itu menyebar ke bagian depan. Hwaaaaaa.....sakit sekali kalau dibawa jalan, tapi aku yang keras kepala memaksakan diri ke kampus. Coba emak gue ada di sini, pasti gue dikerangkeng di tempat tidur supaya tidak pergi-pergi. Ada yang nakut-nakutin aku kena radang usus buntu. Aku beneran takut...takut dioperasi. Waaaa....jangaaaaaannn....

Untuk lebih mengenal bagian apa sih sebetulnya yang sakit, aku browsing human body anatomy di internet, dan dapat gambar ini:

Kalau dilihat gambar di samping (kelihatan gak?) bagian yang sakit adalah Ascending Colon. Itupun kalau dimensi kiri dan kanan gambar benar...aku rada heran kenapa usus buntu letaknya di sebelah kiri pada gambar ini. Whatever...kira-kira bagian itulah yang sedang sakit, bukan lever. Kenapa? Karena di gambar ini lever berada di belakang tulang rusuk. Kenapa aku begitu concerned sama lever? Ya iyalaaahhh....bukan cuma lever, aku concerned sama seluruh bagian tubuhku. Karena kabarnya lever itu termasuk organ yang penting sekali, aku tentu peduli sekali sama bagian ini. Mungkin nanti kalau aku terkena penyakit yang terkait dengan lever, pihak yang paling aku pertanyakan adalah Tuhan. Aku tidak merokok, tidak minum alkohol dan minuman bersoda lainnya, aku selalu menjaga intake makanan, dan aku sangat menghindari stressful conditions. Pokoknya seperti yang disarankan oleh dokterku. Yang kurang dariku hanyalah olahraga. Well....sport is matter though :-P

Begitulah...aku berharap sakit ini pergi dari tubuhku sepulangnya aku ke rumah. Atau bangun tidur besoknya, sehingga aku tidak perlu ke dokter untuk periksa. I hate hospitals. I hate injections and all kinds of stuffs related to illness. They really don't make me be an effective and efficient person.

Sakit ini juga ada hikmahnya...tadi malam aku memimpikan dua orang teman masa kecilku yang tidak pernah kulihat lagi setelah masa-masa SMP. Tiba-tiba aku kangeeeen sekali semua teman-teman masa kecilku. Sudah jadi apa mereka? Bagaimana caranya get in touch lagi sama mereka? Ah...sentimentil...

Picture's taken from: http://www.acuhealthzone.com/images/

Friday, June 27, 2008

Buku

Kemarin aku nggak ke kampus. Mendadak penyakit malez menyerbu kuat di pagi hari sekeluarnya dari kamar mandi. Padahal udah mandi lho! Setelah sarapan dan sedikit chatting bersama teman-teman, aku masuk kamar lagi. Baru ingat belum periksa tugas akhir mahasiswa yang sekarat karena pengen lulus semester ini tapi masih harus banyak perbaikan.

Cek tugas akhir mahasiswa, give many comments on that (busyet deh...di satu bab aja komentar sampe hampir 40, panjang2 lagi komentarnya...kayak ngomel lah), nggak berasa sudah jam 12. Makan siang dulu, trus ke warnet mengirimkan kembali tugas akhir tersebut untuk diperbaiki oleh yang bersangkutan. Mabok-mabok deh...sapa suruh pengen lulus semester ini. Tapi kalau nggak lulus semester ini kasihan juga sih, musti bayar 10 juta lagi. Hehehe...

Sepulang dari warnet bersiap-siap ke Gramedia. Jadwalku padat memang hari ini, meski tidak ke kampus. Aku berencana membeli beberapa buku ringan untuk mengisi waktu senjang. Tapi dasar bukan penggemar buku sejati, sesampai di Gramedia malah mbelok ke konter tas dulu. Tiba-tiba ada kebutuhan membeli wadah kabel laptop. Dapet satu dari bodypack, for 45 ribu. Heran, selama bertahun-tahun tanpa wadah kabel, sekarang kecentilan pengen punya. Sejak ganti laptop aku memang rada boros sih, padahal harusnya aku menghemat untuk beli software originalnya SPSS dan Lisrel karena Windows Vista Bebek itu hanya menerima software original.

Naik ke atas, lihat ada novel Lolita yang sudah berbahasa Indonesia. Kuambil satu, dan keliling-keliling sampai dapat 4 buku. Lalu kuhabiskan waktu membaca satu bukunya Andy F. Noya. Dulu waktu dia off air ke kampus, aku gak kebagian buku kisah inspiratifnya gara-gara aku bukan jenis orang yang beruntung kalo berkaitan dengan undi-undian. Kubaca habis bukunya di tempat sambil berdiri, entah berapa lama, yang jelas setelah membaca tiba-tiba dunia jadi terbalik. Busyet...sampe segitunya. Aku sampai berpegangan di meja-meja buku sampai keadaan normal kembali.

Ini dia daftar buku yang terbeli:
1. Lolita karya Vladimir Nabokov
2. Horeluya karya Arswendo
3. Buddha karya Deepak Chopra
4. Harry Potter and Philosophy: If Aristotle Ran Hogwarts, yang jelas bukan karya JK Rowling.

Ketika membayar di kasir, aku beruntung banget karena punya kartu BNI. Ternyata lagi ada diskon buat pemegang kartu BNI, buku gramedia 30%, dan buku bukan Gramedia 20%. Dari keempat buku yang aku beli, dua diantaranya diterbitkan oleh Gramedia. Jadilah aku menghemat hampir 50 ribu hari itu. Baru kali ini aku bersyukur jadi nasabah BNI, biasanya marah-marah melulu.

Saking semangatnya, aku berencana untuk kembali memborong buku akhir pekan nanti. Tuh kan...sebetulnya orang Indonesia itu bukan nggak mau baca buku. Bukunya mahal-mahal sih. Buktinya aku yang punya bujet terbatas untuk beli buku akhirnya rela membeli buku karena ada diskon. Hahahaha....dasar....discount girl!

Vision

Couple of days ago we had a meeting with our president university. The young and restless president university is a very good orator, with his well-spoken and quite easy to understand speech. At that time, I was indeed mesmerized by his speech.

He spoke about the diamonds the university must create to be a world class university. He then elaborated what he meant about the diamonds: creating nobel laureates and publications in international journals. None of the above has been reached by our uni.

Then he mentioned about combining the 12 faculties and one graduate program into only 3 faculties (faculty of health sciences, faculty of science and technology, and faculty of social and humanities). By combining them, research efforts are expected to be focused and multi-disciplined. He is working on it right now.

I was awed by this breakthrough. Actually this is not the first effort in Indonesia, since as far as I know, ITB has been through this. But in UI, with its mafiosos in the faculties, this is really a hard work. He needs to be well prepared, he needs to find the best men to be placed in the direct subordinates of his.

Then I reflected on my faculty, my poor poor faculty with it's never ending excuses of why the faculty members didn't come up with research efforts all these years. Why only the older staff member to be granted higher degree education and let us the younger ones to wait until they all get educated (my dear friend Eko said emotionally to these fact: they only let "the almost died staff members" to doctoral degree! :-)) They don't even care about using SIAK-NG or SIPEG with the 'gaptek' and age factor reasons! Alamaaakkk....And paradoxically the president uni talked about our badly need of ICT to enable the faculty members to enter the worldclass mainstream research university and global research institutions. Sad oh sad....he must work hard on us.

When at a meeting before the above meeting, a young staff member from FIB told our president uni about his vision of.......(he never could finish his part since he was cut up by the president). Then the president told him/audience: "it is me who has vision...i'm the president. it is your task to implement my vision."

Well...the problem is, everyone has his/her own vision...the bad news is...if one vision contradicts the president's vision, is it good for the institution?

Wednesday, June 18, 2008

Imam dan prophet

Kemarin sore akhirnya aku berhasil memenuhi janji untuk bertemu dengan teman-teman Kapando (Kelompok Penulis Akademik Indonesia) di kediaman Pak Ali. Setelah berbulan-bulan janji itu bentrok dengan kegiatan lain, aku pun muncul setelah 'dikangeni' oleh Pak Frans.

Di jalan berlian itu sudah berkumpul Pak Frans, Pak Ali, dan Mba Nova pemilik RajaGrafindo yang juga Ketua Ikapi. Diskusi sudah berjalan cukup panjang ketika aku datang. Karena baru bergabung kembali setelah beberapa lama, aku pun mengambil posisi pendengar yang baik.

Mba Nova cerita mengenai pengalaman ikut pameran di Frankfurt tahun lalu, dan menawarkan Kapando untuk ikut tahun ini. Pak Frans bilang enggak dulu deh, tahun ini kita akan berpartisipasi dengan menitipkan buku terbitan Kapando tentang festival budaya di Indonesia. Ohya, rencananya dalam beberapa bulan ini Kapando akan membuat buku tentang peristiwa-peristiwa budaya di seluruh Indonesia dalam bahasa Inggris, untuk dijual kepada wisatawan asing.

Tidak berapa lama Mba Jini ikut bergabung. Beliau ini salah satu penulis dan pelukis wanita Indonesia yang cukup restless...yang setiap hari ingin menciptakan sesuatu. Berangkat dari kata "restless" ini Pak Frans me-recall kembali ingatannya tentang almarhum Romo Mangun.

Pak Frans mengenal Romo Mangun secara sangat dekat selama 10 tahun. Bahkan ketika Romo Mangun meninggal dunia di tengah acara seminar beberapa tahun lalu, Pak Frans kebetulan sedang bertindak sebagai moderator pada seminar tersebut. Jadi boleh dikatakan, selama 10 tahun terakhir hidupnya, Romo Mangun berteman dekat dengan Pak Frans.

Dari cerita Pak Frans, aku baru tahu kalau ternyata Romo Mangun pernah berseberangan dengan rekan-rekan sesama pastor karena pemikirannya yang liberal. Menurut Romo Mangun, seorang pastor hendaknya tidak hanya berperan sebagai imam. Dia juga harus dapat menjadi seorang prophet. Dan ini berarti ada banyak nabi-nabi di gereja katolik. Kalau di Ahmadiyah nabi hanya nambah satu, di katolik nabi bisa nambah ribuan orang (approx. sebanyak jumlah pastor itu).

Imam dan nabi memiliki sifat yang berbeda; jika imam cenderung tenang, berdiam diri, dan bertindak sebagai penjaga kitab suci, maka nabi sifatnya restless, gelisah, tidak diam di suatu tempat, dan terus-menerus mencari. Nabi baru diam kalau sudah rest in peace.

Bayangkan reaksi para imam (pastor-pastor) menanggapi pemikiran Romo Mangun yang kontroversial itu. Bagaimana mungkin seorang pastor bisa berdiam diri dan at the same time tidak diam di tempat? Bagaimana mungkin seorang pastor harus gelisah terus menerus dan pada saat yang bersamaan dituntut untuk tenang?

Reaksi kami sendiri? Gak ikut-ikutan deh pak...takut diciduk FPI.

Monday, June 16, 2008

Gue sebel sama program tipi!!!

Televisi merupakan salah satu media yang paling efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan. Semua orang pasti setuju. Presiden, wakil presiden, para menteri juga setuju. Orangtua setuju. Guru-guru setuju. Apalagi kapitalis!

Tapi kenapa televisi tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia?? Kenapa kok cuman kesannya para kapitalis doang yang setuju dan memanfaatkan media ini untuk kepentingan mereka? Coba tengoklah program-program televisi sekarang. Program idol-idolan (mulai dari Idola Cilik, Idola Cilik Selebritis, Indonesian Idol, Mama mia, dll) menyemarakkan jam-jam tayang primer dan menyita waktu pemirsa. Jangan lupa, program-program ini pun menguras kocek penonton dan orangtua (kabarnya ada orangtua yang sampai ngutang kiri kanan demi sang anak agar tetap berada di panggung minggu depan). Ada juga program konyol yang memang diprogram sekonyol mungkin sampe presenter dan komentatornya “nggak banget gitu loch…” seperti di acara jam 6-12 malamnya Indosiar (gue lupa nama acaranya). Atau program sinetron yang nggak kreatif, ketika satu sinetron hantu-hantuan booming, mendadak semua sinetron bertema hantu. Ketika ada satu sinetron religi muncul, rame-rame semua production house menciptakan sinetron dengan nada yang sama.

Sebetulnya televisi yang bikin rakyat jadi ignorance, atau rakyat yang ignorance dimanfaatkan oleh televisi (a.k.a kapitalis) demi sebuah kata keramat di dunia pertelevisian: rating?

Kembali ke kapitalis, bukan salah mereka jika mereka ingin mengeruk kekayaan dari rakyat yang ignorance. Mencari keuntungan sebesar-besarnya memang tujuan hidup kapitalis kok. Mereka tidak peduli apakah keuntungan itu berakibat kerugian pada pihak lain. Sabodo teuing! Kapitalis pun tak punya nasionalisme. Kalau mereka nasionalis, tentu ada pemikiran bagaimana caranya sambil mengeruk keuntungan mereka ikut memajukan bangsa. Kapitalis yang patriotis. Hehehe…mimpi kali yeee….

Lalu siapa dong yang memikirkan bangsa ini? Presiden dan jajarannya? Halah…mana sempeeeettt…sekarang kan mereka sedang sibuk menjaga image sejak harga BBM naik. DPR? Lagi sibuk bersembunyi dari KPK. Kapitalis? Yah kapitalis lagi…kapitalis lagi…wong yang bikin onar itu mereka kok…

Kita punya Komisi penyiaran televisi (gue lupa nama komisinya, yang gue inget Pak Ito pernah jadi ketuanya) yang kayak macan ompong. Eh salah….kucing ompong. Kemana sih komisi itu gak pernah kedengeran kiprahnya? Dulu pernah sekali dua kali namanya sayup-sayup terdengar. Makanya gue jadi tau ada komisi penyiaran nasional. Sekarang sudah tinggal nama kayaknya, ketuanya sudah go international ke kuala lumpur. Gak jauh-jauh sih, tapi mudah-mudahan beliau bisa belajar dari program televisi milik negara tetangga yang masih sodara sepupu kita.

Terus siapa lagi yang care? Ya kita-kita ini lah…gue, elu, kita semua. Bagaimana caranya? Mari kita pikirkan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Kok masih mikir? Ngrepotin banget nih, dah minta bantuan gratis, suruh mikir lagi! Sapa suru lo pinter baca!

Btw…I’m not fully against television. There are always good sides of every bad thing. Don’t you agree? For instance, I like the almost finish Idola Cilik, and I vote for ANGEL! (though I hate the vote method!!) She’s very good, she even deserves to be Indonesian Idol. Hehehe….

Tuesday, June 10, 2008

Melintasi tiga zona waktu

Tgl 28 Mei yang lalu aku berangkat ke Denpasar untuk ngajar di sebuah perusahaan ground handling ternama di Indonesia (ceile…). Perusahaan tersebut ngeset waktu berangkat terlalu awal, tgl 28 pagi, dan waktu pulang terlalu akhir, Kamis tgl 4 Juni siang. Kebetulan tgl 28 itu aku sudah punya janji dengan seorang dosen FISIP yang kuundang ngajar di tempatku. Terpaksalah aku mengundurkan waktu berangkat menjadi lewat magrib, dengan konsekuensi denda Rp 50 rb. Kepulanganku pun harus dimajukan, karena ada rencana tgl 4 Juni aku diberangkatkan ke Papua (emangnya gue barang diberangkatkan!) Predicted fine Rp 50 rb lagi. Lumayan nih buat makan malam yang enak 2 kali.

Sampai di Denpasar sudah jam 10 malam meskipun terbang cuman 1 jam 40 menit. Tau kenapa? Harusnya tau! Perbedaan waktu antara Jakarta dan Denpasar kan sejam sendiri. Sudah malam nyampenya, even nama hotelnya pun aku tak tau. Yang aku tau, itu hotel lokasinya dekat Kuta. Oh, Kuta Paradise barangkali? Tidaaaakkkk….emangnya lu siapa diinepin di sana?

Sambil nungguin bagasi, kuhubungi Pak Agung yang nomornya kebetulan ada di inbox sms-ku. Ternyata Pak Agung sedang berada di tengah-tengah upacara entah apa. Beliau berjanji menghubungiku kembali. Gak sampe semenit kemudian, seseorang menghubungi. Well…pretty fast. Gak sampe semenit kemudian lagi, seseorang sudah mendekatiku di conveyer belt. Mungkin dia disuruh oleh orang yang disuruh oleh Pak Agung untuk mencariku. Tak ada kesulitan sama sekali. Gak sampe lima menit, sudah nyampe di Risata. It’s a resort and spa. Pretty homey. I like it, meski sandal, sikat gigi dan odol musti ngadain sendiri.

Sampai di Sakura Cottage kamar 1801, aku membersihkan badan dan siap-siap menghafal channel tipi. Lengkap bangeeettt…sampe pusing milih channel apaan. Kuputuskan untuk nonton HBO, baru 5 menit sudah tertidur pulas. Zzzzzz…besok saja mulai aktivitas nontonnya.

Hari Kamis pagi sudah harus ngajar pukul 8.30. Have a quick breakfast (hmmm yummy….berat badanku saat ini sudah naik 3 kilo sejak dari Bali) and rushed to class. Muridku ada 21 orang dan alamaaaakkk….laki semua! Dan yang bikin sebel, sudah menikah semua! Despite the disappointing fact, mereka semuanya menyenangkan…untunglah…karena aku harus ngajar mereka selama 4 hari dari pagi sampai malam.

Malam hari ketika tidak ada kegiatan, para bapak-bapak yang nginep di Risata (beberapa dari mereka harus nginap karena unit kerjanya di Jakarta, Solo atau Mataram) mengajak jalan-jalan. Malam pertama pijet refleksi (halah!) yang turned out to be fully traditional massage karena aku menjerit-jerit kesakitan “disentuh” oleh mbak Nyoman. Phewwww….penyakitku banyak kali ya?

Hari Sabtu dan Minggu tidak ada kuliah, jadi program jalan-jalan sekitar Bali baru terselenggara lebih serius pada dua hari itu. Hari Sabtu jalan-jalan ke Dreamland bersama dua orang bapak dan seorang supir. What a beautiful beach, cocok buat surfing. Ombaknya cukup membahayakan jiwa, dan sudah memakan satu korban: kameraku sayang. Ini terjadi ketika aku dengan sok berani jalan-jalan di atas karang just to have some great spots. Padahal sebelumnya aku melihat tingkahlaku si ombak, yang mengingatkan kejadian tsunami, semakin lama semakin surut. Bodohnya, aku tak belajar dari tsunami. Aku cuman berkata pada Pak Tri (salah satu muridku),”Lihat pak….garis ombaknya makin lama makin surut”. Lalu aku pun seperti jagoan melompat di batu karang yang ada di pinggir pantai sambil membawa kameraku dalam keadaan terbuka.

Tidak disangka-sangka, tiba-tiba ombak menerpa punggungku dengan keras. Meskipun terkaget-kaget aku masih bisa menjaga keseimbangan. Yang bikin aku kehilangan keseimbangan adalah ketika ombak tersebut menyeretku ke arah laut, cukup membuat deg-degan dan panik. Dalam ketakutan dan kalut (karena sekali lagi gelombang menerpaku setinggi leher) aku buru-buru melangkah menjauh. Tapi ternyata aku malah jatuh ke sebuah lubang di karang. Booohhooooohooooo…..aku jatuh sampai sebatas dada, tas dan kameraku pun tak terselamatkan. Ketika bapak-bapak berlari-lari menolongku, yang ada di dalam pikiranku cuman satu: selamatkan kameraku dulu! Maka kamera itu kupindahkan ke tangan salah satu bapak, padahal itu kamera sudah berendam di air laut dengan sukses. Booohoooohooooo….

Bapak-bapak berusaha mengeringkan kameraku dengan seksama, dan aku hanya terbengong-bengong memandangi mereka. Olaalaaaa… di antara bule-bule yang datang ke sini, cuman aku yang basah! Yang lain cuman berjemur di matahari saja. Surfing biasanya dilakukan antara siang sampai sore hari. Tapi aku sempat mengambil pemandangan pantai ini dengan kamera HP-ku.

Dari Dreamland Beach kami ke Sukawati dan Ubud setelah kukeringkan badan. Hehehe…lengket-lengket deh…gak peduli. Aku juga sempat ambil foto di Ubud, segambar dengan lukisan Ubud si Blanko (atau Blanco?) Nice, isn’t it? Tentunya bukan dengan kamera rusak.

Pulang dari Ubud, bersihin badan dan siap-siap dugem bersama Pak Taufik dkk. Mereka menunggu di lobi. Baru sampai di lobi, cerita tentang aku “berenang” di pantai sudah menyebar kemana-mana. Hehehe….kami makan malam di Jimbaran, got caught by GM at the airport waktu mengantarkan seorang bapak yang harus tugas malam itu, ngobrol sebentar sama GM, lalu ahead to Jaya Pub milik Rima Melati. Lagi enak-enaknya dengerin live music, bapak-bapak sudah pada ngantuk. Payah niiiihhhh…terpaksa pulang.

Besoknya jalan-jalan ke Denpasar, makan di Ayam Taliwang, dan malamnya makan bersama GM dan jejerannya di Ayam Betutu. Jadi judulnya, seharian makan ayam!

Senin dan Selasa ngajar lagi, di hari Selasa aku baru dapat kabar bahwa jadwal kepergian ke Papua dipercepat menjadi Selasa malam. Oh dear…how come? Untunglah aku ngajar di Gapura Angkasa yang ngurusin service-nya Garuda, sehingga aku bisa dengan mudah slip in di antara padatnya penumpang dari Denpasar ke Jayapura. Setelah selesai ngajar pukul 7 malam, kami makan malam di Plengkung (restoran Surabaya?) dan killing time ke Kuta di belakang Discovery. Karena waktunya gak mati-mati juga, kami keliling-keliling kota sampai aku tertidur. Pak Taufik memutuskan kembali ke hotel saja, dan kami killing time di bar hotel sambil cerita-cerita.

Flight-ku baru berangkat pukul 2.30 dinihari, jadi setidaknya para bapak harus menemaniku sampai pukul 2.00. Baik sekali….mereka bersedia melakukannya…terharu…pasti nilai mereka kupertimbangkan! Pukul 2.00 aku harus berangkat ke airport, bagasi kutinggalkan di hotel karena nanti akan diurus oleh GA. Meskipun waktu berangkatnya tidak begitu nyaman, aku masih lebih beruntung dibandingkan teman-temanku. Mereka tidak kebagian Garuda karena pesawat penuh, harus naik Merpati. Kasiaaan deh. Berbeda dengan Garuda, Merpati itu waktu transitnya cukup lama. Temanku berangkat dari Jakarta jam 9 malam lewat Makasar, nyampe di Jayapura sekitar jam 8 pagi. 9 jam di jalan. Aku berangkat dari Bali jam 2.30 (pesawatnya berangkat dari Jakarta jam 12 malam), nyampe di Jayapura pun seharusnya sekitar jam 8 pagi. Saat itu pesawatku mendarat di Jayapura baru sekitar pukul 9 pagi WIT, terlambat sejam dari waktu kedatangan biasanya. Pasalnya adalah kami harus berputar-putar di atas bandara Moses Kilangit (Timika) selama hampir sejam karena cuaca buruk (pesawatku transit di Timika).

Mendarat di bandara Sentani sekitar pukul 9 pagi, janji pak kapten pilot di atas tadi suhu udara di bandara sekitar 28 derajat Celsius. Gak taunyaaaaa….puaaannnaaaassss buangeeeeetttt…padahal itu masih pagi. Menunggu temannya si Dekson yang tak kunjung datang (belakangan baru kami tahu dia terserang malaria), kami terpaksa menyewa taksi dengan biaya Rp 250 ribu. Sentani – Jayapura ternyata jauh banget rek! (ini kata supir taksi kami yang asli Malang). Sekitar sejam berkendara kalau tidak macet.

Kami tidak punya waktu banyak untuk menjelajahi kota Jayapura kali ini. Hari pertama aku balas dendam menjadi sleeping beauty sampai besok paginya. Bahkan makan malam hampir diskip, untung Dekson membawakan makan malam ikan bakar yang lezat. Hari kedua adalah acara diskusi dengan para pengawas eksternal, dan sowan ke Polda di siang hari. Praktis baru sore hari kami jalan-jalan, diantar oleh Pak Bagus orang Polda yang kebetulan mantan mahasiswa Fakultas Psikologi. Jayapura kecil sekali, dikelilingi bukit-bukit dan laut yang menghadap Samudra Pasifik. Hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk menguasai kota ini (sudah termasuk makan malam dan beli suvenir). Moreover, biaya hidup di sini tinggi sekali, sehingga ketika harga BBM naik, orang Jayapura cuman bilang,”biasa aja tuh…”