Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Tuesday, June 10, 2008

Melintasi tiga zona waktu

Tgl 28 Mei yang lalu aku berangkat ke Denpasar untuk ngajar di sebuah perusahaan ground handling ternama di Indonesia (ceile…). Perusahaan tersebut ngeset waktu berangkat terlalu awal, tgl 28 pagi, dan waktu pulang terlalu akhir, Kamis tgl 4 Juni siang. Kebetulan tgl 28 itu aku sudah punya janji dengan seorang dosen FISIP yang kuundang ngajar di tempatku. Terpaksalah aku mengundurkan waktu berangkat menjadi lewat magrib, dengan konsekuensi denda Rp 50 rb. Kepulanganku pun harus dimajukan, karena ada rencana tgl 4 Juni aku diberangkatkan ke Papua (emangnya gue barang diberangkatkan!) Predicted fine Rp 50 rb lagi. Lumayan nih buat makan malam yang enak 2 kali.

Sampai di Denpasar sudah jam 10 malam meskipun terbang cuman 1 jam 40 menit. Tau kenapa? Harusnya tau! Perbedaan waktu antara Jakarta dan Denpasar kan sejam sendiri. Sudah malam nyampenya, even nama hotelnya pun aku tak tau. Yang aku tau, itu hotel lokasinya dekat Kuta. Oh, Kuta Paradise barangkali? Tidaaaakkkk….emangnya lu siapa diinepin di sana?

Sambil nungguin bagasi, kuhubungi Pak Agung yang nomornya kebetulan ada di inbox sms-ku. Ternyata Pak Agung sedang berada di tengah-tengah upacara entah apa. Beliau berjanji menghubungiku kembali. Gak sampe semenit kemudian, seseorang menghubungi. Well…pretty fast. Gak sampe semenit kemudian lagi, seseorang sudah mendekatiku di conveyer belt. Mungkin dia disuruh oleh orang yang disuruh oleh Pak Agung untuk mencariku. Tak ada kesulitan sama sekali. Gak sampe lima menit, sudah nyampe di Risata. It’s a resort and spa. Pretty homey. I like it, meski sandal, sikat gigi dan odol musti ngadain sendiri.

Sampai di Sakura Cottage kamar 1801, aku membersihkan badan dan siap-siap menghafal channel tipi. Lengkap bangeeettt…sampe pusing milih channel apaan. Kuputuskan untuk nonton HBO, baru 5 menit sudah tertidur pulas. Zzzzzz…besok saja mulai aktivitas nontonnya.

Hari Kamis pagi sudah harus ngajar pukul 8.30. Have a quick breakfast (hmmm yummy….berat badanku saat ini sudah naik 3 kilo sejak dari Bali) and rushed to class. Muridku ada 21 orang dan alamaaaakkk….laki semua! Dan yang bikin sebel, sudah menikah semua! Despite the disappointing fact, mereka semuanya menyenangkan…untunglah…karena aku harus ngajar mereka selama 4 hari dari pagi sampai malam.

Malam hari ketika tidak ada kegiatan, para bapak-bapak yang nginep di Risata (beberapa dari mereka harus nginap karena unit kerjanya di Jakarta, Solo atau Mataram) mengajak jalan-jalan. Malam pertama pijet refleksi (halah!) yang turned out to be fully traditional massage karena aku menjerit-jerit kesakitan “disentuh” oleh mbak Nyoman. Phewwww….penyakitku banyak kali ya?

Hari Sabtu dan Minggu tidak ada kuliah, jadi program jalan-jalan sekitar Bali baru terselenggara lebih serius pada dua hari itu. Hari Sabtu jalan-jalan ke Dreamland bersama dua orang bapak dan seorang supir. What a beautiful beach, cocok buat surfing. Ombaknya cukup membahayakan jiwa, dan sudah memakan satu korban: kameraku sayang. Ini terjadi ketika aku dengan sok berani jalan-jalan di atas karang just to have some great spots. Padahal sebelumnya aku melihat tingkahlaku si ombak, yang mengingatkan kejadian tsunami, semakin lama semakin surut. Bodohnya, aku tak belajar dari tsunami. Aku cuman berkata pada Pak Tri (salah satu muridku),”Lihat pak….garis ombaknya makin lama makin surut”. Lalu aku pun seperti jagoan melompat di batu karang yang ada di pinggir pantai sambil membawa kameraku dalam keadaan terbuka.

Tidak disangka-sangka, tiba-tiba ombak menerpa punggungku dengan keras. Meskipun terkaget-kaget aku masih bisa menjaga keseimbangan. Yang bikin aku kehilangan keseimbangan adalah ketika ombak tersebut menyeretku ke arah laut, cukup membuat deg-degan dan panik. Dalam ketakutan dan kalut (karena sekali lagi gelombang menerpaku setinggi leher) aku buru-buru melangkah menjauh. Tapi ternyata aku malah jatuh ke sebuah lubang di karang. Booohhooooohooooo…..aku jatuh sampai sebatas dada, tas dan kameraku pun tak terselamatkan. Ketika bapak-bapak berlari-lari menolongku, yang ada di dalam pikiranku cuman satu: selamatkan kameraku dulu! Maka kamera itu kupindahkan ke tangan salah satu bapak, padahal itu kamera sudah berendam di air laut dengan sukses. Booohoooohooooo….

Bapak-bapak berusaha mengeringkan kameraku dengan seksama, dan aku hanya terbengong-bengong memandangi mereka. Olaalaaaa… di antara bule-bule yang datang ke sini, cuman aku yang basah! Yang lain cuman berjemur di matahari saja. Surfing biasanya dilakukan antara siang sampai sore hari. Tapi aku sempat mengambil pemandangan pantai ini dengan kamera HP-ku.

Dari Dreamland Beach kami ke Sukawati dan Ubud setelah kukeringkan badan. Hehehe…lengket-lengket deh…gak peduli. Aku juga sempat ambil foto di Ubud, segambar dengan lukisan Ubud si Blanko (atau Blanco?) Nice, isn’t it? Tentunya bukan dengan kamera rusak.

Pulang dari Ubud, bersihin badan dan siap-siap dugem bersama Pak Taufik dkk. Mereka menunggu di lobi. Baru sampai di lobi, cerita tentang aku “berenang” di pantai sudah menyebar kemana-mana. Hehehe….kami makan malam di Jimbaran, got caught by GM at the airport waktu mengantarkan seorang bapak yang harus tugas malam itu, ngobrol sebentar sama GM, lalu ahead to Jaya Pub milik Rima Melati. Lagi enak-enaknya dengerin live music, bapak-bapak sudah pada ngantuk. Payah niiiihhhh…terpaksa pulang.

Besoknya jalan-jalan ke Denpasar, makan di Ayam Taliwang, dan malamnya makan bersama GM dan jejerannya di Ayam Betutu. Jadi judulnya, seharian makan ayam!

Senin dan Selasa ngajar lagi, di hari Selasa aku baru dapat kabar bahwa jadwal kepergian ke Papua dipercepat menjadi Selasa malam. Oh dear…how come? Untunglah aku ngajar di Gapura Angkasa yang ngurusin service-nya Garuda, sehingga aku bisa dengan mudah slip in di antara padatnya penumpang dari Denpasar ke Jayapura. Setelah selesai ngajar pukul 7 malam, kami makan malam di Plengkung (restoran Surabaya?) dan killing time ke Kuta di belakang Discovery. Karena waktunya gak mati-mati juga, kami keliling-keliling kota sampai aku tertidur. Pak Taufik memutuskan kembali ke hotel saja, dan kami killing time di bar hotel sambil cerita-cerita.

Flight-ku baru berangkat pukul 2.30 dinihari, jadi setidaknya para bapak harus menemaniku sampai pukul 2.00. Baik sekali….mereka bersedia melakukannya…terharu…pasti nilai mereka kupertimbangkan! Pukul 2.00 aku harus berangkat ke airport, bagasi kutinggalkan di hotel karena nanti akan diurus oleh GA. Meskipun waktu berangkatnya tidak begitu nyaman, aku masih lebih beruntung dibandingkan teman-temanku. Mereka tidak kebagian Garuda karena pesawat penuh, harus naik Merpati. Kasiaaan deh. Berbeda dengan Garuda, Merpati itu waktu transitnya cukup lama. Temanku berangkat dari Jakarta jam 9 malam lewat Makasar, nyampe di Jayapura sekitar jam 8 pagi. 9 jam di jalan. Aku berangkat dari Bali jam 2.30 (pesawatnya berangkat dari Jakarta jam 12 malam), nyampe di Jayapura pun seharusnya sekitar jam 8 pagi. Saat itu pesawatku mendarat di Jayapura baru sekitar pukul 9 pagi WIT, terlambat sejam dari waktu kedatangan biasanya. Pasalnya adalah kami harus berputar-putar di atas bandara Moses Kilangit (Timika) selama hampir sejam karena cuaca buruk (pesawatku transit di Timika).

Mendarat di bandara Sentani sekitar pukul 9 pagi, janji pak kapten pilot di atas tadi suhu udara di bandara sekitar 28 derajat Celsius. Gak taunyaaaaa….puaaannnaaaassss buangeeeeetttt…padahal itu masih pagi. Menunggu temannya si Dekson yang tak kunjung datang (belakangan baru kami tahu dia terserang malaria), kami terpaksa menyewa taksi dengan biaya Rp 250 ribu. Sentani – Jayapura ternyata jauh banget rek! (ini kata supir taksi kami yang asli Malang). Sekitar sejam berkendara kalau tidak macet.

Kami tidak punya waktu banyak untuk menjelajahi kota Jayapura kali ini. Hari pertama aku balas dendam menjadi sleeping beauty sampai besok paginya. Bahkan makan malam hampir diskip, untung Dekson membawakan makan malam ikan bakar yang lezat. Hari kedua adalah acara diskusi dengan para pengawas eksternal, dan sowan ke Polda di siang hari. Praktis baru sore hari kami jalan-jalan, diantar oleh Pak Bagus orang Polda yang kebetulan mantan mahasiswa Fakultas Psikologi. Jayapura kecil sekali, dikelilingi bukit-bukit dan laut yang menghadap Samudra Pasifik. Hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk menguasai kota ini (sudah termasuk makan malam dan beli suvenir). Moreover, biaya hidup di sini tinggi sekali, sehingga ketika harga BBM naik, orang Jayapura cuman bilang,”biasa aja tuh…”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home