Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Wednesday, April 13, 2005

Rumah Susun “Masyarakat Miskin” Cinta Kasih Tzu Chi

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama beberapa dosen dari Fakultas Psikologi UI berkesempatan mengunjungi rumah susun Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. Kunjungan ini dalam rangka menjajaki kerjasama untuk menjadikan kompleks rumah susun ini menjadi laboratorium program studi Intervensi Sosial yang ada di Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI (dan juga program studi lain yang terkait dengan kehidupan rumah susun ini).

Di Rumah Susun ini terdapat lebih kurang 1000 kepala keluarga bekas penghuni bantaran Sungai Angke. Semula ribuan penghuni Tzu Chi adalah warga penghuni bantaran Kali Angke yang hidup kumuh bergelimang kemiskinan dan penyakit. Profesi mereka tadinya adalah pemulung, buruh kasar, dan tidak sedikit yang tak memiliki pekerjaan tetap, bahkan menganggur sama sekali.

Perumahan Tzu Chi yang sederhana tapi berfasilitas lengkap ala perumahan umum Singapura ini telah jadi alternatif perumahan rakyat, terutama mereka yang tadinya bertempat tinggal di bantaran kali.

Dari pintu gerbang perumahan yang dijaga oleh satpam, kami masuk ke pelataran parkir yang terdapat di samping sekolah dan rumah sakit. Sejauh mata memandang, tidak satu pun sampah terlihat di ruang publik yang cukup luas, menandakan bahwa pengelola perumahan ini cukup serius menangani kebersihan tempat ini. Dari sana kami berjalan ke kantor pengelola, yang tempatnya satu gedung dengan pabrik daur ulang kertas. Kantor pengelola terletak di atasnya. Kami diterima oleh Bpk Tawang, pengelola yang sebetulnya adalah seorang karyawan Sinar Mas yang ditugaskan untuk menjadi pengelola perumahan ini. Saat itu pengelola sedang disibukkan dengan pemberantasan TBC, penyakit yang disinyalir sedang menjangkiti sebagian masyarakat perumahan. Penyakit tersebut kemungkinan besar dibawa oleh masyarakat ketika mereka masih berada di bantaran kali, mengingat mereka baru satu tahun berada di perumahan ini.

Perilaku masyarakat sehubungan dengan pengungkapan penyakit ini pun bermacam-macam. Seluruh warga diminta untuk memeriksakan diri mereka ke rumah sakit, yang mengadakan pemeriksaan cuma-cuma untuk itu. Ada yang dengan rela menjalani pemeriksaan di rumah sakit Tzu Chi, ada yang tidak ingin dicap sebagai ‘orang sakit’ sehingga petugas kesehatan terpaksa mendatangi mereka ke rumah untuk diambil sampel dahaknya. Ada pula yang sengaja bersembunyi ketika petugas datang. Tampaknya memang perlu ada usaha yang kontinu dan membutuhkan kesabaran dari pihak pengelola untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kesehatan mereka.

Oleh pengelola kami diajak berkeliling perumahan untuk melihat fasilitas-fasilitas yang ada. Keluar dari kantor pengelola, kami memandang ke luar perumahan dimana terdapat rumah susun milik Perumnas, yang penghuninya pasti beragam tingkat sosial ekonominya, terlihat dari ketidakseragaman keadaan rumah. Ada rumah yang diberi ornamen-ornamen bagus, lengkap dengan balkon yang telah tertutup seluruhnya. Tetangga di sebelahnya tidak sempat mengecat rumah (atau tidak punya uang untuk mengecatnya) sehingga seperti tidak ditinggali. Tapi ada satu pemandangan seragam pada rumah-rumah tersebut: jemuran pakaian menutupi perumahan. Sebaliknya, di perumahan Tzu Chi tidak terlihat jemuran pakaian menjuntai-juntai di jendela rumah. Ketika berkeliling kami baru tahu jemuran pakaian di perumahan sebetulnya ada tetapi letaknya tersembunyi sehingga dari luar tidak terlihat.

Sambil berkeliling, saya catat fasilitas-fasilitas yang ada: rumah berukuran 36 m2 yang terdiri dari 2 kamar tidur, dapur, ruang tamu dan lapangan basket merangkap lapangan bulu tangkis (olahraga basket rupanya belum terlalu populer di komunitas ini), lapangan sepak bola, balai rakyat untuk tempat pertemuan masyarakat, pabrik daur ulang, lapak-lapak yang terdiri atas lapak kering dan lapak basah, ruang jenazah, musholla, rumah sakit, tempat sampah yang berbeda-beda: sampah organik dan sampah anorganik, dan sekolah. Rumah sakit megah yang berdiri di depan kompleks ternyata bukan hanya melayani masyarakat perumahan, tetapi juga orang luar. Seringkali ada pemeriksaan gratis di rumah sakit tersebut. Saat saya berkunjung, mereka sedang mempersiapkan program operasi katarak gratis untuk warga.

Dari rumah sakit kami berkunjung ke kompleks sekolah yang letaknya berseberangan dengan rumah sakit. Sekolah yang terdiri dari TK sampai SMP ini berdiri megah mengalahkan sekolah-sekolah umum Jakarta yang pernah saya lihat. Kebersihan sangat diperhatikan di sekolah ini. Anak dididik untuk mandiri dan memiliki moral yang tinggi. Program beasiswa bagi siswa-siswi berprestasi tinggi pun tersedia. Melihat semuanya itu saya hanya bisa geleng-geleng kepala, kagum pada kesungguhan pribadi-pribadi yang mewujudkan semua ini. Semoga semua ini tidak menjadi usaha yang sia-sia, karena orang miskinpun memiliki hak untuk hidup layak. Semua itu telah dipenuhi oleh Yayasan Tzu Chi, yang bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta telah memberikan sesuatu yang memang sudah menjadi hak mereka. Satu hal lagi yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah menyediakan pekerjaan bagi warga untuk kelangsungan hidup mereka.

Sepulang dari Rumah Susun Tzu Chi sesuatu berkecamuk dalam pikiran saya. Setelah program untuk orang miskin diwujudkan, apakah pemerintah telah memikirkan pula sebuah program permukiman untuk keluarga muda yang berasal dari keluarga menengah, produktif, berpendidikan tinggi pula, namun belum mampu menyediakan rumah yang layak bagi keluarga mereka? Daripada mereka mencari rumah di luar Jakarta dikarenakan gaji yang mereka terima hanya mampu membeli rumah-rumah berukuran 36 m2 di luar kota yang harga tanahnya masih belum terlalu mahal. Tentunya hal ini berdampak pada kesulitan dalam hal transportasi dan waktu yang habis di jalan (istilah mereka tua di jalan). Alangkah baik jika pemerintah menyediakan rumah susun yang layak bagi mereka yang letaknya di tengah kota, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Seandainya ini pun telah dipikirkan oleh pemerintah, entah kementerian yang mana (karena konon kabarnya Kementerian Perumahan Rakyat yang diadakan lagi di kabinet SBY ini hanya mengurusi rumah buat orang miskin – by the way kenapa tidak dinamakan Kementerian Perumahan Orang Miskin saja ya?)