Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Tuesday, November 09, 2004

Duh....gue norak abis!!!!

Kemarin ada acara buka puasa bersama mantan teman kuliah waktu S1. Acara yang diprakarsai oleh Bekti dan para kembarannya yang menamakan gerombolan mereka "We are" itu diadakan di Warung Daun, sebuah restoran yang terletak di jalan Wolter Monginsidi. Karena belum pernah ke sana, aku memutuskan untuk pergi ke kantor Okti dulu di Wisma GKBI Sudirman, dan dari sana berangkat berdua ke Warung Daun.

Sesampai di Wisma GKBI, aku pun diperiksa oleh Satpam dengan seksama. Tas ranselku yang berwarna hitam gede memang mencurigakan, dan pasti kena sasaran pemeriksaan kalo aku pergi ke gedung2 mewah di Jakarta. Jadi aku pasrahkan saja isi tasku diobrak-abrik. Kemudian sang satpam menanyakan KTP-ku. Aku bilang "gak bawa pak", trus dia tanya identitas lain. Aku bilang lagi, "ada SIM tapi sudah tak berlaku lagi." Dengan putus asa dan tampang tidak sabar sang satpam tanya lagi (mungkin karena lagi buka puasa diganggu),"identitas lainnya lagi ada gak?". Lalu aku jawab lagi, "saya cuman punya SIM mati, KTM mati, ATM idup 2, ATM mati 1, kartu belanja Alpha mart, kartu belanja Matahari dan kartu Timezone, pilih mana pak?" Pak satpam cengengesan wae, trus akhirnya aku diminta menulis identitas jelas di buku besarnya. Maka barulah aku boleh ke lantai 40.

Sesampai di barisan lift yang menuju lantai bernomor banyak, aku bingung setengah mati cari tombol tanda panah ke atas ke bawah yang biasa ada di lift2 yang pernah aku kunjungi. Kulongokkan kepalaku ke tulisan yang ada di samping tiap2 lift, kali-kali aja ada tombol tersembunyi di sana. Tapi tidak ketemu juga, hanya ada warning macam-macam yang aku lupa peringatan apa saja yang tertulis di sana sangking paniknya. Untunglah waktu itu aku cuman sendirian aja di barisan lift itu, jadi tidak malu-maluin amat.

Gak lama kemudian, ada seorang mbak2 sedang mencet-mencet sesuatu di samping lift paling kiri, dan voila....pintu lift dekat panel yang tadi dipencet si mbak terbuka. Ajaib! Waktu itu aku pikir hanya members saja yang boleh buka itu lift. Jadi mumpung pintu lift sedang terbuka, buru-buru aku menghambur ke dalam...dan di dalam aku pun tidak melihat tombol angka-angka seperti yang biasa ada di lift-lift yang pernah aku naiki! Nah lho....maka bertanyalah aku ke mbak2 yang masuk lift bersamaku (malu bertanya sesat di lift hehehe),"mbak...ini lift kok gak ada tombol2nya sih, dan kok cuman ke lantai 32 saja?" Si mbak dengan senyum arif (kayaknya banyak juga korban gagap teknologi seperti aku sebelum ini) dan bilang,"mau ke lantai berapa?" Kujawab,"lantai 40". Lalu dia bilang lagi "nanti di lantai 32 keluar dulu aja, trus pencet angka 4 dan 0 di tombol yang tersedia di luar lift dan lihat di panel, lift yang mana yang ke lantai 40." Oooooo......ya ampuuuunnnn...canggih banget ini lift....Huaahahahahaha. Aku lega banget sekarang. Wah, pengalaman baru yang harus aku ceritain ke Okti. Dan ketika mendengar ceritaku, Okti bilang kayaknya memang lift ini satu2nya di Jakarta. Jadi ya, aku belum terlalu ketinggalan dong.

Aku jadi teringat lift di kantorku sendiri yang keadaannya begitu menyedihkan. Jumlahnya cuman satu, sering ngadat, tidak reliable, kalau kepenuhan diem aja...tau tau udah "out of order", dan baru berfungsi lagi sehari kemudian (nunggu tukang servisnya datang). Sampe-sampe di samping lift ada peringatan yang kira2nya begini "Berikan bagi mereka yang sangat membutuhkan", "Lebih sehat naik tangga", dll. Dan tau sendiri di kampus, orang iseng bejibun, jadi di bawah tulisan ada celetukan "Lebih nikmat naik lift", dan dibalas lagi "Malas luh". Mirip papan demokrasi. Kapan ya punya lift yang kayak di Wisma GKBI??? Mimpi kali ye....

Monday, November 01, 2004

Menulis itu gampang?

Setelah setahun lulus kuliah, baru kemarin aku mencoba menulis sebuah artikel yang cukup serius tentang masalah permukiman. Motivasi menulis tiba-tiba muncul ketika ada kabar baik dari Mbak Anni mengenai media yang bersedia menampung tulisan-tulisan dari anggota AIF. Setelah berhasil menulis 3 halaman dalam 1 spasi, tulisan aku tinggalkan, lalu ku-klik new document. Mencoba tulisan yang sama tapi dari sudut pandang berbeda. Gagal lagi. Klik new document lagi. Jadi ingat film-film jaman dulu tentang penulis yang mencoba menulis dengan mesin ketik bututnya namun selalu gagal memunculkan mood, sehingga kamarnya tergenang kertas-kertas gagal yang dicopot dari mesin ketik. Wow….untung saja aku sudah menggunakan komputer, sehingga tidak perlu mengorbankan begitu banyak kertas.

Yang membuat aku tidak mengerti adalah, mengapa aku sulit sekali memulai menulis sekarang ini? Bukankah ketika kuliah aku sudah terbiasa menulis under pressure, satu malam berkutat di depan komputer dengan setumpuk buku dan artikel print-out dari internet, and voila….pagi hari tulisan siap untuk diprint-out. Kenapa sekarang, ketika tidak ada tenggat waktu dan aku boleh ngomong apa saja yang aku suka, pikiranku malah buntu? Arrrggghhhh…ternyata menulis itu tidak gampang!!! Mungkin aku membutuhkan pressure berupa konsekuensi.

Teringat kembali ketika beberapa waktu yang lalu aku tiba-tiba tertarik masalah autisme dan meminjam buku Psychology of Abnormal Children dari Bu Mimi, salah seorang dosen Psikologi Perkembangan, tiba-tiba aku berniat menulis mengenai autisme. Sayangnya, karena kesibukanku pada pekerjaan, nafsu menulis jadi surut secara tiba-tiba. Padahal Bu Mimi sangat senang aku ingin tahu lebih dalam tentang autisme, dan menyatakan menunggu tulisanku mengenai hal itu. Sementara Pak Budi yang mencuri dengar pembicaraanku dengan Bu Mimi, sambil membenahi peralatan ajaibnya sempat berkomentar “kenapa kamu tiba-tiba tertarik masalah autisme, Deb?” . Hehehehe…barangkali Pak Budi berpikir, pertanyaan tentang “apakah knowledge management itu sebuah art atau science” saja masih belum terjawab, sekarang sudah cari gara-gara di psikologi abnormal.

Tidak gampang….but still…worth to try.