Menulis itu gampang?
Setelah setahun lulus kuliah, baru kemarin aku mencoba menulis sebuah artikel yang cukup serius tentang masalah permukiman. Motivasi menulis tiba-tiba muncul ketika ada kabar baik dari Mbak Anni mengenai media yang bersedia menampung tulisan-tulisan dari anggota AIF. Setelah berhasil menulis 3 halaman dalam 1 spasi, tulisan aku tinggalkan, lalu ku-klik new document. Mencoba tulisan yang sama tapi dari sudut pandang berbeda. Gagal lagi. Klik new document lagi. Jadi ingat film-film jaman dulu tentang penulis yang mencoba menulis dengan mesin ketik bututnya namun selalu gagal memunculkan mood, sehingga kamarnya tergenang kertas-kertas gagal yang dicopot dari mesin ketik. Wow….untung saja aku sudah menggunakan komputer, sehingga tidak perlu mengorbankan begitu banyak kertas.
Yang membuat aku tidak mengerti adalah, mengapa aku sulit sekali memulai menulis sekarang ini? Bukankah ketika kuliah aku sudah terbiasa menulis under pressure, satu malam berkutat di depan komputer dengan setumpuk buku dan artikel print-out dari internet, and voila….pagi hari tulisan siap untuk diprint-out. Kenapa sekarang, ketika tidak ada tenggat waktu dan aku boleh ngomong apa saja yang aku suka, pikiranku malah buntu? Arrrggghhhh…ternyata menulis itu tidak gampang!!! Mungkin aku membutuhkan pressure berupa konsekuensi.
Teringat kembali ketika beberapa waktu yang lalu aku tiba-tiba tertarik masalah autisme dan meminjam buku Psychology of Abnormal Children dari Bu Mimi, salah seorang dosen Psikologi Perkembangan, tiba-tiba aku berniat menulis mengenai autisme. Sayangnya, karena kesibukanku pada pekerjaan, nafsu menulis jadi surut secara tiba-tiba. Padahal Bu Mimi sangat senang aku ingin tahu lebih dalam tentang autisme, dan menyatakan menunggu tulisanku mengenai hal itu. Sementara Pak Budi yang mencuri dengar pembicaraanku dengan Bu Mimi, sambil membenahi peralatan ajaibnya sempat berkomentar “kenapa kamu tiba-tiba tertarik masalah autisme, Deb?” . Hehehehe…barangkali Pak Budi berpikir, pertanyaan tentang “apakah knowledge management itu sebuah art atau science” saja masih belum terjawab, sekarang sudah cari gara-gara di psikologi abnormal.
Tidak gampang….but still…worth to try.
Setelah setahun lulus kuliah, baru kemarin aku mencoba menulis sebuah artikel yang cukup serius tentang masalah permukiman. Motivasi menulis tiba-tiba muncul ketika ada kabar baik dari Mbak Anni mengenai media yang bersedia menampung tulisan-tulisan dari anggota AIF. Setelah berhasil menulis 3 halaman dalam 1 spasi, tulisan aku tinggalkan, lalu ku-klik new document. Mencoba tulisan yang sama tapi dari sudut pandang berbeda. Gagal lagi. Klik new document lagi. Jadi ingat film-film jaman dulu tentang penulis yang mencoba menulis dengan mesin ketik bututnya namun selalu gagal memunculkan mood, sehingga kamarnya tergenang kertas-kertas gagal yang dicopot dari mesin ketik. Wow….untung saja aku sudah menggunakan komputer, sehingga tidak perlu mengorbankan begitu banyak kertas.
Yang membuat aku tidak mengerti adalah, mengapa aku sulit sekali memulai menulis sekarang ini? Bukankah ketika kuliah aku sudah terbiasa menulis under pressure, satu malam berkutat di depan komputer dengan setumpuk buku dan artikel print-out dari internet, and voila….pagi hari tulisan siap untuk diprint-out. Kenapa sekarang, ketika tidak ada tenggat waktu dan aku boleh ngomong apa saja yang aku suka, pikiranku malah buntu? Arrrggghhhh…ternyata menulis itu tidak gampang!!! Mungkin aku membutuhkan pressure berupa konsekuensi.
Teringat kembali ketika beberapa waktu yang lalu aku tiba-tiba tertarik masalah autisme dan meminjam buku Psychology of Abnormal Children dari Bu Mimi, salah seorang dosen Psikologi Perkembangan, tiba-tiba aku berniat menulis mengenai autisme. Sayangnya, karena kesibukanku pada pekerjaan, nafsu menulis jadi surut secara tiba-tiba. Padahal Bu Mimi sangat senang aku ingin tahu lebih dalam tentang autisme, dan menyatakan menunggu tulisanku mengenai hal itu. Sementara Pak Budi yang mencuri dengar pembicaraanku dengan Bu Mimi, sambil membenahi peralatan ajaibnya sempat berkomentar “kenapa kamu tiba-tiba tertarik masalah autisme, Deb?” . Hehehehe…barangkali Pak Budi berpikir, pertanyaan tentang “apakah knowledge management itu sebuah art atau science” saja masih belum terjawab, sekarang sudah cari gara-gara di psikologi abnormal.
Tidak gampang….but still…worth to try.
1 Comments:
akhirnya da comment box lagi..yippi!
terus menulis ya deb..soalnya kalo gak terus nulis jadi gak bisa nulis lagi :D
itu jg yg bikin aku blogging, biar terus menulis, biar terus baca pengetahuan untuk bahan tulisan..
kalo pun aku gak selalu meninggalkan jejak, aku terus membaca blogmu..
isinya kan okreee...*thump up*
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home