Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Tuesday, July 06, 2004

Pemilu Presiden, 5 Juli 2004

Pada pemilu legislatif yang lalu aku tidak ikut nyoblos, karena waktu itu aku sedang berada di Bandung. Agak kecewa juga karena jadi gak bisa menikmati memilih di kotak aluminium yang kecil imut-imut itu. Oleh karena itu, hari ini aku memutuskan untuk ikutan nyoblos presiden pilihanku, meskipun aku (dan jutaan orang di seluruh Indonesia) tidak yakin dengan pilihanku. Tapi ini adalah pemilu presiden pertama di Indonesia, sayang kalau dilewatkan. Lagipula, seperti yang dikatakan para tokoh di surat kabar yang aku baca akhir-akhir ini, di antara yang terburuk pasti ada yang terbaik. Tambahan lagi, aku ingin coba menghilangkan diri di kotak aluminium. Mana mungkiiiinnnn.....

Jam 11 hampir tengahari matahari sedang terik2nya bersinar. Teman2ku sudah selesai nonton VCD Philadelphia,dan aku pun sudah selesai dengan tugasku menyapu kamar tidurku yang berantakan. Heran, kok mereka gak terharu nonton film itu ya? Meskipun sudah berkali2 nonton, aku suka terharu dan meneteskan air mata setiap kali nonton film ini, one of my favorite movies. Usut punya usut, ternyata mereka terlalu sibuk menganalisis siapa yang lebih berperan sebagai 'perempuan', banderas atau tom hanks. Hehehehe....

Bersama keempat temanku, kami marching ke TPS 21. Kebetulan TPS tempatku nyoblos dekat, lebih kurang 50 m dari rumah. Sesampai di TPS, suasananya sepiiii sekali. Hanya ada dua orang pak polisi dan beberapa petugas pemilu. Selebihnya adalah bapak-bapak kurang kerjaan (atau bapak2 calon saksi dalam penghitungan? Masa sih sudah standby jam 11?).

Aku mendapat giliran pertama nyoblos. Ternyata tidak ada kotak aluminium seperti yang aku lihat di tivi, tapi ada kamar-kamar dari tripleks yang pintunya ditutupi kain, seperti pemilu lima tahun sebelumnya. Asyiknya lagi, ada lubang cukup besar di dinding untuk ngintip aktivitas di kamar sebelah, atau sekedar ngobrol2 siapa jagoan masing-masing.

Pertama-tama aku membuka kartu suara dan melihat untuk pertama kalinya susunan capres cawapres. Untunglah hanya ada 5 pilihan presiden, karena aku harus lihat dulu satu persatu siapa di posisi nomor berapa. Maklum, meskipun kampanye gencar sekali, aku tak pernah peduli urut-urutan mereka. Tampang-tampang mereka di foto bahagia sekali. Sekilas aku terbayang foto2 sihir dalam novel Harry Potter, yang bisa saling berkunjung di foto sebelahnya. Ugh...jangan deh, pasti akan ribut banget, karena bisa dipastikan mereka berebutan ngomong "pilih aku...pilih aku..." sambil memaparkan program-program populis mereka.

Ingin rasanya nyoblos semuanya, untuk menyatakan bahwa mereka semua kuberi kesempatan yang sama untuk membuktikan kepada dunia mereka layak memimpin negeri yang multikultural ini. Atau karena aku tak tahu mana yang lebih mewakili kepentinganku? Tapi kalau aku mencoblos semuanya, maka kartu suaraku tidak sah. Percuma juga aku ikutan milih panas-panas di bawah terik matahari. Akhirnya aku memutuskan mencoblos sepasang presiden pilihanku, disertai doa jika mereka kelak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, mereka akan menjadi pasangan yang betul-betul bekerja untuk bangsa Indonesia, bukan untuk mereka sendiri. Dan semoga kekuasaan mereka tidak absolut, ‘cause absolute power tends to corrupt. (kata siapa ya? lali aku....)

Dengan masuknya kartu suaraku ke kotak suara, maka tuntaslah sudah kewajibanku sebagai rakyat Indonesia. Untuk melegitimasi keikutsertaanku, jari kelingking kiri dicelupkan pada tinta yang kelihatannya murahan. Dan ternyata memang murahan (buatan lokal pula - padahal tidak semua barang lokal murahan lho!). Setelah jari dibasuh dengan air, tintanya hilang. Entah apa maksudnya mencelupkan jari pemilih ke dalam tinta yang ternyata murahan tersebut. Kalau niatnya untuk mencegah kecurangan (satu orang bisa memilih berkali2), well...rasanya sih tidak efektif. Mudah-mudahan harga tinta itu tidak mahal. Tadi aku baca di koran, perusahaan pemasok tinta itu akan dimasukkan ke dalam blacklist pemasok tinta celup pemilu lima tahun mendatang. Siapa takut? Memori bapak-bapak di atas sana tak sebagus itu mengingat janji mereka lima tahun yang lalu.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home