The reason behind the choice
Pemilu sudah cukup lama lewat, euphoria rakyat pemilih sudah mereda (itu kalau ada euphoria lho…), dan penghitungan suara sampai saat ini masih berlangsung (lama juga ya?). Aku memang bukan termasuk rakyat yang ikut ambil bagian dalam pemilu terakhir. Cukuplah sudah aku ikut pada pemilu kedua, di saat calon presiden masih ada 5 orang. Lagipula aku mengalami dilema dalam pemiliu kali ini
Di kampus, hari Sabtu sebelum Pemilu berlangsung. Pada satu kesempatan makan siang bersama rekan-rekan, aku mengajukan sebuah permasalahan yang cukup mengganggu diriku pada salah seorang rekan yang kebetulan bidang minatnya psikologi politik. That is, aku tidak terlalu mengenal kedua kandidat presiden dan wakil presiden. Weleh…mengapa pula ini jadi masalah? Bukankah hampir seluruh rakyat Indonesia tidak terlalu mengenal kedua pasang kandidat itu? Tapi ya…aku teruskan dulu lah ya ceritanya.
Berdasarkan informasi yang aku dapat selama ini, keduanya sama saja. Ada kelebihan, banyak kelemahan. Tapi aku harus memilih salah satu dari mereka, jika tidak ngapain juga aku capek2 datang ke TPS kalau suaraku tidak dihitung? Preferensiku adalah pada kandidat A, dengan disertai alasan a,b,c,d,e. Tapi kemudian, tetangga sebelah rumahku adalah orang yang paling aku sebelin, karena kesombongan mereka. Suatu hari dia memasang spanduk kandidat A besar-besar di depan rumahnya untuk menandakan dukungannya pada kandidat A. Wuih, tiba-tiba aku ingin memilih kandidat B! Begitulah akhirnya aku bertanya kepada ahlinya, kenapa kok alasan pemilihanku (kalau aku jadi memilih lho) bukan alasan yang rasional tapi sebaliknya: emosional. And he couldn’t explain it!!
Bayangkan kalau seluruh pemilih punya kecenderungan kayak aku, betapa ruginya kandidat A hanya karena seorang tetangga yang tidak simpatik??? Untunglah aku tidak jadi ikut Pemilu, jadi tidak merugikan kandidat A dan tidak pula menguntungkan kandidat B…..
Pemilu sudah cukup lama lewat, euphoria rakyat pemilih sudah mereda (itu kalau ada euphoria lho…), dan penghitungan suara sampai saat ini masih berlangsung (lama juga ya?). Aku memang bukan termasuk rakyat yang ikut ambil bagian dalam pemilu terakhir. Cukuplah sudah aku ikut pada pemilu kedua, di saat calon presiden masih ada 5 orang. Lagipula aku mengalami dilema dalam pemiliu kali ini
Di kampus, hari Sabtu sebelum Pemilu berlangsung. Pada satu kesempatan makan siang bersama rekan-rekan, aku mengajukan sebuah permasalahan yang cukup mengganggu diriku pada salah seorang rekan yang kebetulan bidang minatnya psikologi politik. That is, aku tidak terlalu mengenal kedua kandidat presiden dan wakil presiden. Weleh…mengapa pula ini jadi masalah? Bukankah hampir seluruh rakyat Indonesia tidak terlalu mengenal kedua pasang kandidat itu? Tapi ya…aku teruskan dulu lah ya ceritanya.
Berdasarkan informasi yang aku dapat selama ini, keduanya sama saja. Ada kelebihan, banyak kelemahan. Tapi aku harus memilih salah satu dari mereka, jika tidak ngapain juga aku capek2 datang ke TPS kalau suaraku tidak dihitung? Preferensiku adalah pada kandidat A, dengan disertai alasan a,b,c,d,e. Tapi kemudian, tetangga sebelah rumahku adalah orang yang paling aku sebelin, karena kesombongan mereka. Suatu hari dia memasang spanduk kandidat A besar-besar di depan rumahnya untuk menandakan dukungannya pada kandidat A. Wuih, tiba-tiba aku ingin memilih kandidat B! Begitulah akhirnya aku bertanya kepada ahlinya, kenapa kok alasan pemilihanku (kalau aku jadi memilih lho) bukan alasan yang rasional tapi sebaliknya: emosional. And he couldn’t explain it!!
Bayangkan kalau seluruh pemilih punya kecenderungan kayak aku, betapa ruginya kandidat A hanya karena seorang tetangga yang tidak simpatik??? Untunglah aku tidak jadi ikut Pemilu, jadi tidak merugikan kandidat A dan tidak pula menguntungkan kandidat B…..
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home