Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Monday, March 07, 2005

Nusakambangan, 30 Januari - 1 Februari 2005

Tgl 30 Januari 2005 yang lalu aku diberi kesempatan oleh Pasca untuk ikut serta dalam rombongan mahasiswa Psikologi Kriminal yang mengadakan kunjungan “ilmiah” ke Lapas Nusakambangan. Wow…me…at Nusakambangan? Sama sekali tak terbayangkan sebelumnya aku punya kesempatan ke sana. Mudah-mudahan aku tidak sampai harus ke sana karena issues! Kalau hanya berkunjung sih, siapa takut…mudah-mudahan bisa bertemu Tommy Suharto J

Perjalanan dari kampus dimulai pada hari Minggu jam 9 pagi. Kami berencana menginap di Hotel Rosenda, Baturaden. Perkiraannya sampai di Baturaden diperkirakan sampai jam 5 sore. Di dalam bus HIBA sewaan mahasiswa Psi Kriminal, banyak kegembiraan-kegembiraan mereka dapat aku rasakan. Sudah sepantasnya mereka gembira, karena baru-baru ini semua sudah lulus ujian tugas akhir. Memang ujian tersebut dilaksanakan sebelum kami berangkat ke Nusakambangan, tetapi masih menyisakan stres bagi mereka, sehingga mereka sempat regress menjadi anak-anak lagi. Bayangkan saja, sepanjang perjalanan kami harus mendengar Dora (kartun anak2 yang sedang tren saat ini) berteriak “berhasil....berhasil....horeee...horee....”. Mahasiswa-mahasiswa istimewa ini (aku katakan istimewa karena latar belakang mereka yang mirip: berasal dari Departemen Hukum dan HAM dan Lapas-Lapas) memang menarik perhatian karena kekompakan mereka. So, perjalanan panjang yang biasanya membuat aku lelah karena bosan, kali ini menjadi tidak melelahkan karena ada hiburan di belakang bangku-ku. Gila, energi mereka sepanjang jalan tak ada habis-habisnya!

Mendekati waktu makan siang kami berhenti di sebuah rumah makan di pinggir laut di daerah Cirebon. Makanan laut yang enak kami santap sambil menunggu rombongan yang tertinggal di belakang. Setelah itu kami meneruskan perjalanan ke Baturaden. Sampai di Baturaden, waktu sudah menunjukkan pukul 18.30. Meleset satu setengah jam dari perkiraan waktu semula. Secara demokratis (maksudnya berdasarkan undian) aku, Bu Mimi, Mbak Tiwin dan Mbak Isti menentukan siapa tidur dengan siapa, dan aku kebagian tidur bersama Bu Mimi. Maka masuklah kami ke dalam kamar masing-masing, mandi dan turun lagi ke restoran hotel untuk santap malam. Sebelum turun aku sempat melihat sebuah sinetron yang diperankan oleh anaknya Pak Joni. Ah, akhirnya aku tidak kuper lagi! Aku rada malu sama Pak Joni yang sudah lama wanti-wanti untuk nonton sinetron anaknya, tapi aku “tidak sempat”.

Di restoran Pak Joni bergabung bersama kami. Dia memang tidak serombongan dengan kami, karena menggunakan kendaraan sendiri datang ke Baturaden. Kebetulan pada saat yang sama ada teman Pak Joni yang menikah di Purwokerto, sehingga dia menyempatkan diri untuk datang karena tertarik ingin ikut ke Nusakambangan. Pak Joni ternyata ingin bertemu seorang teman lama (Pande Lubis) yang dipenjara di Lapas Permisan Nusakambangan.

Karena agenda mahasiswa di Nusakambangan adalah melakukan FGD, maka mereka mendapatkan briefing dari Mbak Tiwin tentang bagaimana melakukan FGD. Sambil menunggu Mbak Tiwin selesai melakukan briefing, aku bercakap-cakap dengan Pak Enoch, Pak Joni, dan Bu Mimi dan Mbak Isti. Tapi ah, ngantuk sekali. Aku lega briefing berlangsung singkat (ya namanya juga briefing), sehingga kami boleh kembali ke kamar tidur masing2 tidak terlalu malam. Oh, how I miss you, bed. Sesampainya di kamar kami pun langsung terlelap. Pemandangan dari beranda kamar indah sekali, tapi tidak mungkin dinikmati pada waktu malam. Hanya suara air mengalir di kali terdengar kencang, sampai2 Bu Mimi mengira itu suara AC. Wuih, udara sesegar Baturaden buat apa pake AC segala? Rugi!

Tidur ditemani Bu Mimi dan suara air di kali yang cukup kencang rupanya tidak menggangguku sama sekali. Pertama karena Bu Mimi tidurnya anteng, kedua karena tempat tidur kami terpisah, ketiga capek juga ternyata duduk di atas bis berjam-jam, dan keempat, aku mungkin masuk spesies kebo ‘pelor’ (nempel langsung molor). Akhirnya di pagi hari kami masuk ke dalam golongan manusia yang telat bangun dan sarapan, karena ketika kami turun semua orang sudah pada sarapan! Tapi untunglah kami tidak ketinggalan bis, dan sempat makan yang banyak (Pak Joni yang juga bangun terlambat hanya sempat makan semangkuk bubur ayam).

Berangkat Ke Nusakambangan

Jam 9 pagi, bis bertolak dari Hotel Rosenda ke Cilacap. Perjalanan yang cukup membosankan karena entah kenapa aku kurang menikmatinya. Aku sampai lupa apa saja yang aku pikirkan sepanjang perjalanan. Ohya, aku ingat sekarang! Pak sopir dan asistennya memasang lagu2 dangdut! Kemarin waktu berangkat dari Jakarta sepanjang perjalanan tak satu lagu dangdut-pun mereka keluarkan, dan di pagi yang cerah ini, kami dipaksa mendengarkannya! Karena tidak punya kerjaan lain, maka aku coba mencerna lirik lagu-lagu dangdut yang selama ini “masuk telinga kiri keluar telinga kanan” tersebut. Hwarakadah! Pantas saja aku tidak pernah bisa menikmati lagu dangdut, ternyata liriknya kacau balau! Kalau hari ini aku dipaksa mengingat kembali lirik apa saja yang aku dengar waktu itu, sumpah mati aku tidak ingat one single word! Ternyata aku tidak sendirian. Mbak Tiwin yang duduk di depanku juga rupanya sedang menyimak lirik lagu tersebut dengan asyiknya, mungkin nasibnya sama, belum pernah mendengarkan dengan seksama lagu dangdut sebelum ini (atau dia sempat melihat tampangku yang blo’on menatap layar televisi?) Akhirnya, untuk membunuh rasa bosan kami saling mendiskusikan pesan apa yang ingin disampaikan pencipta lagu itu. Hasilnya, semua lagu dangdut absurd, dan hanya ada satu yang ‘agak’ masuk akal. Tapi aku lupa lagu yang mana. Hehehe.

Jam 11, kami tiba di Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap. Waktu itu hujan masih rintik-rintik, dan keinginan untuk buang air kecil luar biasa mengganggu. Unfortunately kamar mandi di pelabuhan tersebut tidak representatif. Tapi apa boleh buat, daripada menuai penyakit, dilakoni sajalah. Untung ada yang masih punya sebotol Aqua dan rela memberikannya untukku.

Pulau Nusakambangan berada persis di depan pelabuhan, tapi tidak ada jembatan penyeberangan ke pulau tersebut. Harus memakai feri. Maka dengan sabar kami menunggu feri datang. Tiba-tiba ada sms masuk dari Pak Rudy yang mengabarkan iklan sudah masuk Kompas dan minta agar tahun ini SDM&KM tidak menerima mahasiswa baru dulu. Weleh...weleh...repot banget sih. Langsung aku diskusikan dengan Pak Enoch permintaan yang tak kalah absurd-nya dengan lagu dangdut yang aku dengar tadi. Dengan arif Pak Enoch tersenyum, dan bersabda demikian,”yang ingin menerima sekali setahun kan dia”

Sambil naik dan duduk manis di feri, aku sempat terlibat sms seru dengan Pak Rudy dan Pak Eko, mengundang kecurigaan dari orang-orang di sebelahku. Pak Rudy dengan keluhan menjadi miskin karena ngajar di Pasca, dan Pak Eko dengan pesanan batu mulia yang bejibun. Sebagai selingan aku mengamati pekerjaan nelayan Cilacap yang sedang gotong royong mengangkut satu demi satu ikan tuna yang besarnya hampir satu perahu. Wuih...pastilah orang Cilacap tak pernah kekurangan protein. Ohya, aku lupa menceritakan crew ANTEVE yang ikut dalam rombongan kami. Mereka mulai bekerja di atas feri, mewawancarai anak-anak berseragam yang rupanya baru pulang sekolah. Pergi pulang sekolah naik feri, lumayan juga perjuangan anak-anak itu. Belum lagi perjalanan darat yang harus mereka tempuh di Nusakambangan, yang ternyata tidak dekat sama sekali!

Menunggu feri berjalan ternyata lebih lama daripada perjalanan menyeberang itu sendiri. Karena mengira perjalanan cukup jauh, aku pasang badan di depan feri ingin menjadi orang pertama yang melihat pelabuhan Nusakambangan. Hehehhe... Padahal dalam tempo 10 menit kami pun sudah sampai di Pelabuhan Nusakambangan.

Dari pelabuhan ke arah Lapas Batu cukup jauh, sulit juga napi kalau ingin kabur ke arah darat. Di kanan jalan ada laut dengan pemandangan pabrik Pertamina (kayaknya) di seberangnya, dan di kiri jalan hanya ada semak belukar yang lebat sekali. Pak Marwan (ketua angkatan Psikologi Kriminal yang sempat digosipkan dengan Lisa dulu) kebetulan membawa mobilnya dari Jakarta, sehingga kami dapat menumpang di mobilnya yang nyaman instead of di atas truk yang menjadi kendaraan sehari-hari warga Nusakambangan. Pak Marwan bercerita tentang ular kobra hasil tangkapan dari para penyelundup yang banyaknya beberapa kontainer dibuang di Nusakambangan. Hih...kenapa musti diceritain sih?

Akhirnya, sudah lewat waktu makan siang....barulah kami sampai di LP Batu. Kabarnya Tommy “dirawat” di LP Batu. Kami diterima oleh Kalapas Batu yang ternyata dulu adalah murid Pak Enoch. Wah...wah...akibat koneksi tak diduga ini kami jadi memberanikan diri minta dipertemukan dengan Tommy, yang hanya dijawab dengan senyum penuh arti oleh Kalapas. Beliau mulai bercerita tentang sulitnya menjaga seorang ‘selebriti’ kaya raya macam Tommy, yang tentunya dengan kekuasaan dan uang yang ada padanya dapat melakukan apa saja di sana. Waktu itu ada warga LP Nusakambangan yang baru saja meninggal, sehingga Kalapas pun pamit pergi ke Cilacap untuk melayat almarhum. Kami di bawa ke ruang pertemuan, dimana hidangan makan siang yang sederhana sudah tersaji (what do you expect, debby?). Pak Joni yang kelaparan (maklumlah, pagi tadi beliau hanya sempat makan bubur ayam) sampai menambah makanannya.

Di sana juga sudah ada napi-napi yang menjalani asimilasi (napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukumannya sehingga diperbolehkan berkeliaran di luar pada siang hari) dan napi yang akan dijadikan informan pada saat FGD nanti. Para napi yang gencar menjajakan batu mulia membuat aku takut, padahal aku ingin sekali melakukan tawar menawar. Setengah memaksa mereka minta agar kami membeli batu-batu mereka, alasannya mereka belum makan siang. Salah seorang napi asimilasi mengaku tidak diberi makan pada siang hari. Ah kasihan sekali. Mana mungkin mereka disuruh cari uang sendiri di sini, mau cari dimana? Belakangan aku baru tahu dari Bapak Kalapas bahwa mereka berbohong. Hehehehe..aku lupa sedang berhadapan dengan orang yang terganggu secara psikologis.

Setelah makan siang, mahasiswa Psikologi Kriminal mulai membagi-bagi kelompoknya dan melakukan FGD. Di saat yang sama, kami (aku, Mbak Tiwin, Mbak Isti dan Agus) bersama Pak Marwan berangkat ke pantai yang menghadap Laut Selatan. Perjalanan yang jauh tidak terasa melelahkan karena Pak Marwan punya banyak cerita mengenai keadaan LP dan napi-napi yang punya tingkah polah unik. Tapi saking jauhnya, ada juga waktu2 dimana aku tidak sanggup mendengarkan cerita Pak Marwan karena dikalahkan oleh kantuk yang amat sangat.

Akhirnya kami sampai juga ke pantai yang indah, yang rupanya adalah tempat pembaretan anggota Kopasus. Untuk menandai bahwa pantai ini adalah milik Kopassus, maka ditancapkan sebilah pisau besar di sebuah karang yang agak menjorok ke laut. Kami tidak lama berada di pantai, karena waktu telah menunjukkan pukul 15.00 dan rasanya tidak terlalu nyaman dikelilingi napi asimilasi yang menjajakan batu-batu mulianya. Tadinya aku ingin sekali membeli batu2 tersebut, tapi aku takut juga membuka penawaran mengingat mereka adalah napi2 dari berbagai latar belakang perbuatan kriminal (bukan “kejahatan”, aku ingat sebuah plang besar di depan pintu masuk LP Batu yang bertuliskan “Mereka bukan penjahat, mereka hanya tersesat...”) Bagaimana pun, mereka sudah pernah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum dan itu sudah cukup membuat nyaliku ciut.

Maka tanpa batu, kami langsung meluncur kembali ke Batu. Di sana FGD ternyata telah usai, dan makanan-makanan ringan yang enak rasanya telah tersaji di meja. Pak Enoch yang kelihatan suka sekali dengan singkong rebus buatan para napi menawarkan singkong empuk dan manis tersebut. Wah, jangan-jangan pakai narkoba! Pak Joni berhasil membeli beberapa butir batu dari seorang napi yang ternyata adalah tetangganya di Ngawi. Dan aku... karena phobia napi, tak satupun batu yang berhasil aku beli, karena aku takut mereka dapat membaca ketakutan dari air mukaku.

Dari tempat pertemuan kami menuju LP Batu dengan tujuan bertemu Tommy. Meskipun aku tahu tidak bakal bisa bertemu Tommy karena kabarnya dia sedang sakit dan dirawat di Jakarta, paling tidak bisa lihat sel-nya, lumayan juga. Sebelum berhasil menengok keadaan dalam LP Batu, sambil menunggu Kalapas yang belum pulang dari melayat rekannya, aku berbincang2 dengan seorang napi yang menjual kaos oblong “Dagadu” bergambar Nusakambangan. Di antara jualannya juga ada kaos napi LP Batu yang diminati oleh Mbak Tiwin. Napi tersebut mewanti2 kami untuk tidak membeberkan kepada petugas penjara bahwa ia telah menjual kaos napi. Ketika aku tanya apa sebabnya, dia menjawab,”nanti saya disuruh jalan bebek sepanjang lapangan”. “Saya sudah tidak mau lagi di sini, hukuman saya tinggal 3,5 bulan, jadi Mbak tolong jangan bilang2 sama mereka ya.” tambahnya.

Setelah kami mendapatkan ijin untuk melihat2 LP Batu, kami mencoba berkeliling sel-sel mereka, tapi kemudian terhenti tiba-tiba karena ada sekelompok napi yang sedang mandi di ruang terbuka, yang hanya dibatasi tembok sebatas pinggang saja. Dengan serta merta aku menghentikan langkahku dan berbalik ke belakang. Para mahasiswa wanita yang berada di baris depan pun ketakutan. Maka kami pun membatalkan niat berkunjung ke tiap sel.

Seorang mahasiswi yang memiliki koneksi dengan petugas Lapas Batu membuat kami boleh mengelilingi sel-sel khusus yang dihuni narapidana terhukum mati. Mengenai napi hukuman mati ini, Kalapas sebelumnya bercerita bahwa eksekusi terhadap mereka belum pernah dilakukan di sana. Ada seorang napi yang dihukum mati 40 tahun yang lalu pada usia 29 tahun, sampai sekarang masih hidup di LP. Kalaupun ada pengampunan atas napi tersebut pada saat ini, percuma saja karena ia pun pasti tidak akan mampu lagi hidup di luar, karena keadaan sekarang sudah sangat berbeda dibandingkan keadaan 40 tahun yang lalu.

Melihat sel orang-orang terhukum mati tersebut timbul rasa iba pada diriku. Mereka terlihat seperti tetanggaku saja, dengan kaos oblong dan sarung memandang kami sambil tersenyum tulus. Apa betul dia pernah melakukan pembunuhan terencana? Tapi ah, itu urusan hukumlah...

Kami diperbolehkan melihat sel Tommy yang kosong. Di depan dinding kamarnya tertera nama Hutomo Mandala Putra, masa tahanan 15 tahun, ditahan mulai 2002. Berarti masih 12 tahun lagi masa tahanannya, tapi sudah mangkir dari ‘sekolahan’. Di sebelah kamarnya ada bekas kamar Bob Hasan. Praktis satu blok itu hanya terdiri dari 3 sel, sel Tommy berada di tengah2. Bu Mimi bercerita waktu kunjungan sebelumnya yang membawa pejabat-pejabat Departemen Hukum dan HAM, Tommy masih ada dan bersedia diwawancara. Too bad pada saat aku berkunjung dia tidak ada, padahal Bpk Kalapas berjanji akan mempertemukan kami. Bahkan petugas Lapas yang mengantarkan kami melihat-lihat sel Tommy berani berbohong dengan mengatakan,“Tommy sedang dijenguk keluarganya”. Ketika aku bertanya lebih lanjut,”dimana pak?” Dia menjawab sekadarnya,”Di sana” sambil menunjuk no where. Yang ditunjuk adalah sebuah mesjid (atau gardu?) yang kosong. Ya sudahlah...lumayan juga bisa sekilas melihat 3 pasang sandal, satu spring bed, kipas angin dan termos. Hehehehe...

Setelah kunjungan ke LP Batu, kami ingin melanjutkan perjalanan ke LP Besi, LP Kembang Kuning dan LP Permisan. Tetapi karena waktu yang tidak memungkinkan, kami tidak sempat berkunjung ke dalamnya. Di LP Kembang Kuning dan Permisan ada juga pasien-pasien narkoba di samping pasien lain. Di samping 4 LP yang sudah ada, masih ada 2 LP lagi yang sedang dibangun di Nusakambangan, salah satunya untuk menampung narapidana narkoba. Pak Joni yang semobil denganku sebetulnya sangat ingin bertemu dengan teman lamanya Pande Lubis yang ditahan di LP Permisan, tetapi karena waktu yang tidak memungkinkan mereka tidak dapat bertemu. Untunglah aku sudah sempat pergi ke pantai sebelumnya, karena kalau tidak ya aku tidak bakal bisa lihat pantainya, karena perjalanan kedua ini kami hanya sampai LP Permisan untuk kemudian balik kanan dan kembali ke pelabuhan. Feri terakhir dari Nusakambangan adalah jam 6 sore.

Perjalanan yang melelahkan tetapi mengesankan! Meskipun aku tidak membawa oleh2 berupa barang dari Nusakambangan, tapi aku mendapatkan sesuatu dari sana. Senyaman apa pun sel anda, kalau berada di Nusakambangan ya tidak enak juga. Kabarnya sih, Tommy setiap malam menyelinap keluar dari Nusakambangan by choper dan menginap di rumahnya di Cilacap.

Pulang ke hotel

Makan malam kami dijamu oleh Kalapas Cilacap di Rumah Makan Padang Sederhana. Makan malam yang berkesan, karena selain makan ada hiburan dari 2 mbak-mbak manis asal Cilacap yang bisa nyanyi lagu apa aja. Lagu berbahasa Inggris hayo, dangdut fasih, bahkan lagu berbahasa Batakpun mereka bisa. Wah..wah...para mahasiswa pria berebutan ingin berdansa bersama mereka. Acara lain yang tak kalah seru adalah tukar menukar kado. Ada pria mendapatkan pembalut wanita, ada yang dapat tempat kue, ada yang dapat voucher telepon. Aku sendiri mendapatkan dua buah mangkok besar.

Pulang dari Cilacap kami sampai di hotel Rosenda kira-kira jam 11 malam. Rasanya tidak ingin mandi, tapi untunglah sistem air panas di hotel ini masih bener, sehingga aku bisa menikmati mandi air panas untuk menghilangkan rasa lelah. Setelah mandi aku langsung terlelap.

Pagi hari aku dan Bu Mimi sudah rapi sebelum jam 7. Setelah sarapan aku berjalan2 dengan Pak Ramdhan menikmati udara pagi dan sedikit olahraga (jalannya lumayan menanjak). Segaaarrrrr...sayangnya kami tidak menemukan penjual tempe mendoan. Sesampai di hotel, Pak Marwan menawarkan segelas susu hangat campur jahe. Enak juga. Kami hampir tidak sempat menikmati mendoan karena tumben sekali di sekitar hotel tidak ada penjualnya, padahal Bu Mimi mengatakan selalu ada penjual mendoan di sana. Untunglah Pak Marwan bersedia membelikannya somewhere, sehingga kami pulang tidak dengan rasa penasaran karena belum mencoba mendoan yang dibuat di Baturaden (kalau mendoan Jakarta atau mendoan Depok sih sudah sering dicoba)

Berkunjung ke LP Cirebon

Rencana kami hari itu adalah mengunjungi LP Cirebon dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Kalapas Cirebon sudah menunggu sejak jam makan siang, tetapi kami terlambat tiba di Cirebon, jam tiga sore. Dengan perut kelaparan kami menyantap hidangan makan sore buatan ibu Kalapas. Very delicious. Akhirnya kami dapat menikmati hidangan laut, karena di Nusakambangan sekali pun makanan yang tersedia adalah ayam goreng! Setelah mengenyangkan perut, kami pun mengunjungi LP Cirebon, yang ternyata dikelola dengan sangat baik. Pak Enoch adalah putra Cirebon asli, tetapi sekali pun beliau belum pernah mengunjungi LP Cirebon. Dibandingkan dengan LP di Nusakambangan, ternyata LP Cirebon lebih produktif dan inovatif. Bayangkan saja, bola yang dipakai untuk Piala Dunia ternyata dibuat oleh napi di Cirebon! Karena masih dalam proses produksi, hanya ada satu bola sampel yang dapat dibeli dengan harga Rp 75 ribu. Seperti biasa...mbak Tiwin yang duluan beli. Pak Enoch sebetulnya sangat ingin memiliki sebuah bola sebagai kenang-kenangan, tetapi beliau tidak sampai hati menyampaikannya kepada Kalapas. Kalau disampaikan, jangan-jangan nanti Kalapas akan memerintahkan anak buahnya untuk membuatkannya khusus untuk Pak Enoch. Selain bola, LP Cirebon juga memproduksi bahan untuk kostum penjara, jala ikan untuk nelayan, kompor kuat yang dapat dinaiki dua orang dewasa sekaligus, tulisan kaligrafi, dan lain-lain. “Pabrik” tempat para napi bekerja yang mirip dengan pabrik-pabrik yang aku lihat di kawasan industri Cikarang, cukup luas.

Napi-napi yang ada di LP Cirebon ini pun beragam. Ada orang GAM, kasus pembunuhan terencana, sampai kasus mutilasi oleh waria yang pernah heboh di koran beberapa waktu yang lalu. Kalau melihat mereka dari dekat, rasanya tidak percaya mereka pernah melakukan perbuatan sadis itu sebelumnya.

Di dalam LP juga ada rumah sakit, memiliki bangsal-bangsal yang dihuni oleh orang-orang stres. Ada orang yang tidak mampu merespon orang di sekelilingnya, ada yang dapat melakukan kontak setelah beberapa lama didekati, ada yang berhalusinasi setiap malam ia diuber oleh dukun santet. Berada di dekat mereka membuatku merinding dan tidak nyaman. Ah, berat juga menjadi petugas Lapas. Karena hari sudah sangat sore, kami harus kembali ke Jakarta. Padahal masih banyak yang ingin kami lihat lagi di sini, tetapi karena waktu tidak memungkinkan, kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.

...selamat bertemu kembali, rutinitas....