Anni Iwasaki Foundation (lanjutan):
Aku tertarik ikut ke AIF karena visi dan misinya yang menarik perhatian. Misinya yang mungkin paling menohok sebagian perempuan yang punya karier adalah mengembalikan perempuan pada kodratnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Bagi perempuan yang belum menikah seperti aku, barangkali hal ini impossible. Buat apa berlelah-lelah belajar tinggi2 kalau nantinya harus balik ke rumah, ngurusin anak dan tetek bengek kerumah tanggaan lainnya yang sebenarnya bisa dikerjakan pembantu dan baby sitter? Toh kan masih ada pembantu, yang tenaganya masih cukup murah di Indonesia (tentunya dengan asumsi tidak semua calon pembantu tertarik menjadi TKW di negeri orang yang notabene gajinya jauh lebih tinggi). Atau masih ada mertua yang rela repot-repot ngurusin cucunya.
Ketidakacuhan ibu-ibu (yang walaupun bukan wanita karier, tapi kerjaannya arisaaaan melulu) pada pekerjaan rumah karena mereka berpendapat pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak layak dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Ada pembantu kok??! Aku jadi ingat temanku Elsye yang aku pernah ceritakan, menikah dengan orang Belanda dan mereka hidup di sana. Selama hidup di Indonesia, Elsye tidak pernah mengerjakan pekerjaan memasak, cuci pakaian, cuci piring, dan pekerjaan lain karena selalu dilayani oleh pembantu. Ketika baru menikah, Elsye mengalami culture shock karena harus mengerjakan segalanya on her own, ditambah lagi dengan urusan bayi. Tetapi karena isi rumah mereka sudah berteknologi tinggi, semuanya sudah dibantu oleh mesin, dan membuat pekerjaan Elsye menjadi menyenangkan. She enjoys her life now.
My point is, jika isi rumah sudah berteknologi tinggi dan gaji suami sudah cukup untuk hidup satu keluarga dan pendidikan terbaik buat anak, masih adakah ibu-ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil bersama pembantu di rumah? I wouldn’t know since I’m not married yet, hehehe. Apakah pemerintah mau memperhatikan aspirasi ibu rumah tangga dan dikendalikan oleh ibu rumah tangga dari rumah? Apakah pemerintah dapat memberikan karier bagi ibu rumah tangga yang anak-anaknya sudah besar, sehingga mereka merasa sudah saatnya untuk memiliki karier kembali?
Sebuah perjuangan yang sangat berat!!! Mungkin ini juga yang menyebabkan kinerjaku di AIF tidak memuaskan. Tapi aku yakin, someday, rakyat Indonesia akan terdidik untuk melakukan kritik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Jadi bukan lagi: Don’t ask what the government can do for you, bla bla bla… tapi sudah jadi: Just ask what the government has done for you, since you have done a lot for them!
Himbauan buat keluarga muda dan calon keluarga muda: mari kita sama-sama menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan tempat tinggal yang layak dan modern bagi kita agar dapat membesarkan anak-anak dengan pendidikan yang komprehensif dan maju. Pembangunan dimulai dari rumah, dan pemerintah berkewajiban menyediakan perumahan yang layak bagi generasi mudanya yang masih belajar.
Aku tertarik ikut ke AIF karena visi dan misinya yang menarik perhatian. Misinya yang mungkin paling menohok sebagian perempuan yang punya karier adalah mengembalikan perempuan pada kodratnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Bagi perempuan yang belum menikah seperti aku, barangkali hal ini impossible. Buat apa berlelah-lelah belajar tinggi2 kalau nantinya harus balik ke rumah, ngurusin anak dan tetek bengek kerumah tanggaan lainnya yang sebenarnya bisa dikerjakan pembantu dan baby sitter? Toh kan masih ada pembantu, yang tenaganya masih cukup murah di Indonesia (tentunya dengan asumsi tidak semua calon pembantu tertarik menjadi TKW di negeri orang yang notabene gajinya jauh lebih tinggi). Atau masih ada mertua yang rela repot-repot ngurusin cucunya.
Ketidakacuhan ibu-ibu (yang walaupun bukan wanita karier, tapi kerjaannya arisaaaan melulu) pada pekerjaan rumah karena mereka berpendapat pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak layak dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Ada pembantu kok??! Aku jadi ingat temanku Elsye yang aku pernah ceritakan, menikah dengan orang Belanda dan mereka hidup di sana. Selama hidup di Indonesia, Elsye tidak pernah mengerjakan pekerjaan memasak, cuci pakaian, cuci piring, dan pekerjaan lain karena selalu dilayani oleh pembantu. Ketika baru menikah, Elsye mengalami culture shock karena harus mengerjakan segalanya on her own, ditambah lagi dengan urusan bayi. Tetapi karena isi rumah mereka sudah berteknologi tinggi, semuanya sudah dibantu oleh mesin, dan membuat pekerjaan Elsye menjadi menyenangkan. She enjoys her life now.
My point is, jika isi rumah sudah berteknologi tinggi dan gaji suami sudah cukup untuk hidup satu keluarga dan pendidikan terbaik buat anak, masih adakah ibu-ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil bersama pembantu di rumah? I wouldn’t know since I’m not married yet, hehehe. Apakah pemerintah mau memperhatikan aspirasi ibu rumah tangga dan dikendalikan oleh ibu rumah tangga dari rumah? Apakah pemerintah dapat memberikan karier bagi ibu rumah tangga yang anak-anaknya sudah besar, sehingga mereka merasa sudah saatnya untuk memiliki karier kembali?
Sebuah perjuangan yang sangat berat!!! Mungkin ini juga yang menyebabkan kinerjaku di AIF tidak memuaskan. Tapi aku yakin, someday, rakyat Indonesia akan terdidik untuk melakukan kritik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Jadi bukan lagi: Don’t ask what the government can do for you, bla bla bla… tapi sudah jadi: Just ask what the government has done for you, since you have done a lot for them!
Himbauan buat keluarga muda dan calon keluarga muda: mari kita sama-sama menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan tempat tinggal yang layak dan modern bagi kita agar dapat membesarkan anak-anak dengan pendidikan yang komprehensif dan maju. Pembangunan dimulai dari rumah, dan pemerintah berkewajiban menyediakan perumahan yang layak bagi generasi mudanya yang masih belajar.
2 Comments:
hai..
hai..
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home