Psychological Capital: Optimism
Di bidang psikologi, optimisme adalah konstruk yang tidak cukup dipahami, meskipun kata “optimis” sering digunakan baik secara akademik maupun non akademik. Dalam pengertian sehari-hari, individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan sesuatu yang positif dan diinginkan terjadi di masa depan, sebaliknya individu yang pesimis adalah individu yang memiliki pikiran-pikiran negatif dan yakin bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.
Sebagai salah satu faset penting dalam Psychological Capital, makna optimisme jauh dari kesan “permukaan”, tidak sekedar memprediksi sesuatu yang baik akan terjadi di masa depan, karena PsyCap Optimism mengandung alasan-alasan dan atribusi yang digunakan individu untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, baik yang positif maupun negatif. Alasan dan atribusi inilah yang membedakan di sisi mana individu berada dalam kontinum optimistik-pesimistik.
Menurut Martin Seligman, bapak positive psychology movement, optimisme adalah explanatory style yang mengatribusikan kejadian-kejadian positif yang terjadi pada diri seseorang dengan sebab-sebab internal yang sifatnya permanen dan pervasive. Ia menginterpretasikan kejadian-kejadian buruk sebagai faktor yang sifatnya eksternal, temporal dan situation-specific. Dari definisi Seligman ini, orang yang optimis adalah orang yang memandang kejadian-kejadian yang diinginkan berasal dari dirinya sendiri. Jika seorang yang optimis mengalami kejadian negatif, ia akan menganggap penyebab dari kesialan itu bukan dirinya sendiri, ada hal-hal yang berada di luar kendalinya yang menyebabkan kejadian negatif tersebut, dan bahwa hal-hal negatif itu tidak berlangsung lama. Dengan bersikap demikian, orang yang optimis cenderung tetap positif dan percaya diri pada masa depannya. Mekanisme pertahanan dirinya ketika mendapatkan feedback negatif adalah dengan melakukan rasionalisasi.
Sebaliknya, orang yang pesimis tidak menganggap kejadian positif yang dialaminya sebagai hasil dari tindakannya. Misalnya ketika mendapatkan promosi, seorang yang pesimis cenderung menganggapnya sebagai faktor kebetulan saja. Seorang yang pesimis menganggap kejadian positif yang terjadi pada dirinya sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan situational-specific, karena itu mereka akan percaya bahwa kejadian positif yang sama kecil kemungkinannya terulang kembali di masa depan. Mereka cenderung menyalahkan berbagai kekurangan-kekurangan pada diri sendiri sebagai penyebab kejadian negatif. Misalnya, ketika seseorang tidak mendapatkan promosi, ia akan mengatribusikan hal ini dengan kurangnya inteligensi pada dirinya. Kurangnya inteligensi itu cenderung akan menjadi ‘biang kerok’ di dalam hidupnya, sehingga akhirnya terjadilah fenomena ‘self-fulfilling prophecy’. Keyakinan bahwa ia tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi pelik dalam hidupnya akan mengakibatkan the real inability occurs.
Optimistik-pesimistik berbeda dengan locus of control meskipun keduanya merupakan variabel disposisional yang melekat pada individu sejak lahir, dan ‘kedengarannya’ mirip. Sama dengan orang yang punya internal locus of control, orang yang pesimis pun cenderung menganggap kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada dirinya berasal dari dirinya. Mereka lebih menganggap dirinya bertanggungjawab pada hal-hal yang terjadi, bukan sesuatu di luar sana. Oleh karena itu, berbeda dengan orang yang pesimis, trait internal locus of control adalah trait yang diinginkan. Ketika seorang yang punya locus of control internal, dia akan merasakan kejadian-kejadian yang menimpa dirinya, baik buruk maupun baik, sebagai hasil dari tindakannya (atau kualitas-kualitas yang ada padanya). Oleh karena itu, jika kejadian buruk menimpa dirinya, dia segera akan mengambil tanggungjawab atasnya, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian agar kejadian buruk tersebut tidak terulang kembali. Dalam hal ini, ia sekaligus adalah seorang yang optimis (masih perlu pembuktian, ini masih hipotesis saya). Sementara itu, seorang yang berlocus of control eksternal, cenderung menyalahkan hal-hal di luar dirinya sebagai penyebab terjadinya semua hal (baik atau buruk), sehingga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ia akan melepaskan tanggungjawab (lari dari kenyataan). Jadi locus of control dan optimistik-pesimistik adalah dua hal yang berbeda, yang bisa menjadi topik yang menarik jika ada yang ingin meneliti korelasi keduanya.
Contoh seorang yang punya external locus of control: seorang artis lulusan sebuah perguruan tinggi swasta yang ingin melanjutkan kuliah di UI (tidak usahlah saya sebutkan namanya di sini). Ketika pengumuman kelulusan, namanya tak terdaftar sebagai calon mahasiswa, yang membuat ia mendapatkan ‘serangan’ infotainment yang mempertanyakan faktor2 kegagalannya. Apa jawabannya? Ia menyalahkan kursi di balairung yang tidak enak, angin yang mengganggu konsentrasinya (salah sendiri gak bawa antangin), dll (waktu nonton saya lagi di bandara jadi suaranya sayup-sayup terdengar) instead of menyalahkan otaknya (hehehe). Dilihat dari kepribadiannya, dia adalah seorang yang punya external locus of control sangat tinggi, karena cenderung menyalahkan faktor2 di luar dirinya sebagai penyebab kegagalannya. Jika dilihat dari variabel pesimistik-optimistik, dia pun belum tentu seorang yang optimis meskipun ciri-cirinya yang menyalahkan faktor eksternal mirip dengan ciri-ciri seorang yang optimis. Jika setelah kegagalan itu dia mencoba lagi ujian seleksi di UI (tentunya dengan senjata ampuh untuk mengalahkan faktor eksternal yang dianggapnya sebagai penyebab kegagalan terdahulunya, maka dia dapat dikatakan seorang optimis. Mari kita lihat semester depan J
Meskipun seorang yang optimis cenderung memandang segala sesuatu in a positive manner, tidak setiap waktu seorang yang optimis tetap optimis. Maka ada istilah “flexible optimism” yang berarti bahwa individu secara sadar menilai situasi dan memutuskan whether dia akan menggunakan optimistic or pessimistic explanatory style. Seligman menawarkan istilah ‘realistic optimism’ yang kira-kira samalah dengan flexible optimism. Ada tiga perspektif yang dapat membangun sebuah optimisme yang fleksible dan realistis:
- Leniency for the past, merupakan teknik reframing yang menggunakan pendekatan problem-centered coping untuk menangani aspek-aspek dari situasi yang masih dapat dikendalikan dan reposisi aspek-aspek situasi yang tidak dapat dikendalikan (lihat contoh artis mau masuk UI).
- Appreciation for the present, yaitu mencari dan menghargai aspek-aspek positif dari sebuah situasi yang tidak menguntungkan untuk menghindari sikap defeatist yang bisa melumpuhkan usaha individu untuk mencapai tujuannya.
- Opportunity seeking for the future, yaitu seorang yang look forward to the future with all the opportunities it presents.
So, unlike Appreciative Inquiry approach, pendekatan realistic flexible optimism masih memperhitungkan defects yang terjadi (dalam rangka memperbaiki kesalahan-kesalahan), tidak melulu berfokus pada aspek-aspek positif (dan dreaming) saja.
Sumber bacaan: Luthan, F; Youssef, C.M.; & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. NY: Oxford University Press.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home