Psychological Capital: Resiliency
Resiliency adalah faset terakhir dari Psychological Capital (ugh thank God…) yang penting dibahas. Resiliency juga sering dibahas secara terpisah, terutama oleh pelopor gerakan ‘living values’. Di dalam domain psikologi, penelitian dan praktik resiliency sudah cukup lama dikenal dalam bidang psikologi klinis, sebelum gerakan psikologi positif berkembang (waktu itu bidang psikologi masih berorientasi psikologi negatif). Maka tidak heran kalau penelitian-penelitian awal psikologi (negatif) ini berfokus pada anak yang tumbuh di keluarga beresiko tinggi, remaja bermasalah, dan keluarga bermasalah. Dari hasil penelitian-penelitian yang ekstensif dengan pendekatan problem-centered inilah muncul istilah-istilah ‘survivors’ dan ‘exceptional individuals’, istilah yang digunakan untuk mereka yang strong enough menjalani kehidupan yang normal setelah melalui pengalaman-pengalaman traumatik. Orang-orang yang resilient setelah mengalami masalah yang sangat berat menjadi fokus penelitian resiliency.
Dalam domain penelitian psikologi positif, para peneliti mengkonstruk ulang ‘resiliency’ dengan memperhatikan kemampuan dan kekuatan psikologis pada semua orang di semua rentang usia dan semua kondisi psikologis, tidak hanya pada orang-orang bermasalah yang menjadi survivors. Oleh karena itu, definisi resiliency pun menjadi lebih kaya, yaitu “kapasitas individu untuk ‘memantulkan kembali’ kegagalan, konflik, kesulitan dan bahkan kejadian-kejadian positif seperti progress dan tanggungjawab yang meningkat.” Untuk lebih memahami resiliency (mari kita sepakat dalam bahasa Indonesia berarti ‘tangguh dan lentur’…halah…), cobalah refleksikan diri anda dengan pertanyaan berikut:
- Kapan terakhir anda mengalami kesulitan, konflik, kegagalan, atau kejadian positif lain yang menurut anda ‘too much’?
- Konkretnya, masalah/kejadian apakah itu?
- Apakah menurut anda kejadian tersebut datang secara tiba-tiba dan unexpected, atau perlahan-lahan tetapi menguras emosi?
- Strategi coping apa yang anda terapkan untuk berhadapan dengan kejadian tersebut?
- Seberapa efektif strategi anda?
- Setelah melakukan coping, apakah anda dapat pulih kembali dari kejadian tersebut? Jika’ya’ kenapa? Jika ‘tidak’ mengapa?
- Pelajaran apa yang dapat anda petik dari pengalaman tersebut?
- Apakah ada alternatif lain untuk mengatasi kejadian tersebut?
- Secara keseluruhan, setelah menghadapi permasalahan/kejadian yang mengejutkan di masa lalu, menurut anda, apakah anda bisa menjadi ‘normal’ kembali atau menjadi lebih dewasa, atau anda merasa ada sesuatu yang hilang yang tidak mungkin kembali lagi?
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tantang diri anda kembali dengan mencoba mengingat waktu-waktu di mana anda secara sukarela keluar dari ‘jalur’ anda dan meninggalkan zona nyaman (comfort zone) untuk mengejar sesuatu yang baru dan unexpected, dan jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Kapan terakhir saya:
- Secara sukarela melakukan sesuatu yang sama sekali baru dan sulit?
- Melakukan sesuatu yang tidak biasa, meskipun saya berpikir itu terlalu beresiko untuk saya?
- Bepergian keluar negeri?
- Mencoba makanan baru yang belum pernah saya coba sebelumnya?
- Mengambil rute yang berbeda dengan rute yang biasa saya ambil, sekedar iseng saja?
- Mendengarkan jenis musik yang belum/jarang saya dengar?
- Membaca sesuatu yang belum pernah saya baca karena rasa ingin tahu?
- Menerima ide orang lain karena saya pikir idenya lebih baik daripada ide saya sendiri?
- Berteman dengan orang-orang yang berbeda pandangan dan tidak menarik bagi saya?
- Meminta bantuan kepada orang-orang yang statusnya di bawah saya?
- Memberanikan diri untuk sekali-sekali tidak melakukan persiapan untuk melakukan improvisasi di tempat? (wah kalo ini mah hobinya gue yang procrastinator sejati!)
- Pindah ke lokasi yang baru?
- Mencari karir yang baru di tempat yang baru?
- Kembali ke sekolah dan mengambil bidang yang berbeda dengan bidang lama yang telah saya kuasai?
- Memberikan kebebasan penuh kepada orang-orang yang bekerja untuk saya untuk mengambil keputusan penting?
Ada tiga faktor yang dapat menyumbang/menghambat perkembangan resiliency individu, yaitu: aset, faktor resiko dan sistem nilai (values).
Resiliency Assets
Kemampuan kognitif, temperamen, persepsi diri yang positif, keyakinan, pandangan positif terhadap kehidupan, stabilitas emosi, self-regulation, sense of humor, dan penampilan keseluruhan atau faktor kemenarikan, adalah aset-aset potensial yang dapat menyumbang pada tingkat resiliency yang tinggi. Aset lain yang juga tidak kalah penting dan mirip dengan aset di atas adalah: insight, kemandirian, relationships, inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas.
Dalam berhubungan dengan kejadian-kejadian negatif, relationships ditengarai sebagai aset penting dalam perkembangan resiliency. Dalam hal ini, program-program seperti effective parenting, care-giving adults, prosocial and rule-abiding peers, dan collective efficacy penting diberikan untuk meningkatkan resiliency individu.
Resiliency Risk Factors
Disebut juga sebagai ‘vulnerability factors’, yang meliputi pengalaman-pengalaman yang merusak dan disfungsional seperti penyalahgunaan obat dan alkohol, dan pengalaman traumatik seperti kekerasan fisik dan psikis. Resiko lain adalah stres dan burnout, kesehatan yang buruk, pendidikan yang rendah dan pengangguran. Beberapa resiko tidak terhindarkan, tetapi jika resiko-resiko tersebut dapat diidentifikasi dan dimanage, proses utilisasi assets untuk mengatasi resiko dapat menolong orang-orang yang beresiko mengeksplorasi kekuatan dan talenta mereka. Sayangnya, orang-orang yang terpapar faktor resiko di atas seringkali divonis masyarakat sebagai orang-orang gagal, yang pada gilirannya dapat menjadi self-fulfilling prophecy jika aset relationships tidak dapat membantu.
Resiliency Values
Sistem nilai (value system) dan belief system memandu, membentuk dan memberikan konsistensi dan makna pada proses kognisi, emosi dan tindakan individu. Nilai religiusitas terbukti berhubungan positif dengan kesehatan mental individu, happiness, dan coping terhadap pengalaman traumatik. Orang yang bertindak sejalan dengan kerangka moralnya biasanya memiliki energi dan resiliency yang tinggi.
Menarik untuk melihat persistensi individu-individu yang melakukan perbuatan mulia atau tindakan nekat seperti bom bunuh diri, yang disebabkan keyakinan mereka pada tujuan dan misi tertentu. Kita biasa menyebut mereka patriot, dermawan, pengkhianat, teroris, dll. But in the end, mereka semua adalah orang-orang yang memiliki strong belief pada sesuatu beyond their selves to a higher purpose. Strong belief inilah yang meningkatkan resiliency level mereka. Interestingly, reward materi atas kinerja tidak menghasilkan level of resiliency yang sama.
Dalam proses meningkatkan resiliency individu, ada tiga kelompok strategi yang dapat diterapkan di tempat kerja:
- Asset-focused strategies. Strategi ini berfokus pada pengembangan aset (sumberdaya), misalnya human capital (pendidikan, pengalaman, pengetahuan, keahlian, dan kemampuan lain), social capital (hubungan sosial, jaringan), dan psychological capital lainnya (self-efficacy, hope, optimism).
- Risk-focused strategies. Beberapa cara yang digunakan adalah risk-avoidance strategy (misalnya menunda promosi individu jika promosi dianggap resiko oleh yang bersangkutan); risk-management strategy (misalnya meningkatkan self-efficacy individu dengan cara coaching, mentoring dan constructive feedback untuk individu yang dipromosikan); entrepreneurial dan intrapreneurial initiatives untuk memotivasi individu yang punya potensi/aset kreatif.
- Process-focused strategies. Strategi ini adalah memobilisasi individu untuk mengidentifikasi, menyeleksi, mengembangkan, dan menerapkan aset2/potensinya untuk memanage faktor-faktor resiko terkait. Proses self-awareness dan self-regulation menjadi penting karena tanpa kedua proses ini, resiliency tidak akan muncul meski individu memiliki semua aset yang dibutuhkan untuk itu. Teknik avoidance-coping (menghindar dari masalah) berdampak negatif pada resiliency, sementara teknik approach-coping (menghadapi masalah) berdampak positif terhadap resiliency.
Orang timur diyakini memiliki tingkat resiliency yang lebih tinggi dibandingkan orang barat. Keyakinan ini masih perlu pembuktian, tetapi filosofi hidup orang timur yang senang menertawakan diri sendiri bisa menjadi salah satu bukti. Perhatikan fenomena Tukul Arwana yang mahir ‘memantulkan kembali’ ejekan audiens dan mengolahnya menjadi tontonan yang menarik. Konsep hidup yang harmoni dengan alam pun membuat orang timur lebih lentur. Sayang ‘kearifan alam’ itu mulai memudar seiring dengan gempuran globalisasi dan penyamarataan budaya yang menghilangkan keunikan lokal.
We’re not ourselves when we hold values we don’t even know what it means to us (Debby)
Sumber bacaan: Luthan, F; Youssef, C.M.; & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. NY: Oxford University Press.