In Memoriam: Prof. Dr. Fuad Hassan
Hari Jum'at, 7 Desember 2007, pukul 15.40 sedang berlangsung FGD di Balai Kartini. Aku dan Pak Wilman sedang memimpin sebuah kelompok diskusi yang berisi orang-orang dari Mabes Polri dan beberapa dari organisasi profesi dan LSM untuk memperoleh masukan bagi Pedoman Pengawasan Seleksi Bintara Polri. Tiba-tiba Pak Wilman membisiki sesuatu di kupingku, yang rasanya bukan seperti bisikan, tapi halilintar! Katanya, "Pak Fuad meninggal". Reaksiku cuman ini,"Hah?! Meninggal???" lalu bengong.
Harusnya kami sudah bersiap diri sejak beberapa bulan yang lalu, ketika beliau sudah bolak-balik masuk rumah sakit, bolak-balik masuk ICU, dan tidak pernah muncul lagi di kampus. Foto di atas adalah foto kemunculan terakhir beliau di kampus pada bulan Februari yang lalu. Beliau terlihat sedang melakukan pengecekan pada draft buku yang sedang kami kerjakan. Setelah itu, Pak Fuad tidak pernah muncul lagi di kampus, dan berdiskusi tentang berbagai macam persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini, termasuk tentang Malaysia.
Mengenai Malaysia ini, Pak Fuad punya pendapat pribadi yang cukup ekstrim, bahwa Malaysia tidak akan pernah mendahului Indonesia. Kalau sekarang yang terlihat Malaysia seperti meroket sedangkan Indonesia jalan di tempat, menurut Pak Fuad itu hanya fenomena sesaat. Indonesia jauh lebih unggul daripada Malaysia, meskipun Indonesia sedang "tertidur", dan itu akan terbukti dalam beberapa tahun ke depan. Begitulah menurut beliau.
Mengenai Amerika Serikat, Pak Fuad juga tidak terlalu suka. Contohnya, waktu aku mengumpulkan bahan-bahan tentang higher education in USA and Europe, beliau lebih suka aku menerjemahkan bahan tentang pendidikan tinggi di Eropa. Beliau tidak suka Amerika, even walaupun tradisi higher education Amerika berasal dari Britain. Jadi kerepotanlah kami mencari bahan-bahan tentang higher education di Eropa, karena kalau mengandalkan internet, paling banyak dapat dari Amerika.
Hal lain yang aku ingat tentang beliau adalah daya ingatnya yang sangat tinggi. Pernah suatu kali, karena penglihatannya yang sudah sangat menurun, beliau mendiktekan sesuatu untuk buku yang sedang kita kerjakan. Karena menurutku bahasa Pak Fuad tidak to the point, aku mengubah kalimatnya tanpa mengurangi maknanya. Seminggu kemudian, beliau minta dibacakan lagi bagian dari buku hasil diskusi minggu lalu. Waktu kubacakan, komentar beliau adalah "Debby ubah kalimatnya ya?" Maka kujelaskan alasanku mengubah kalimatnya. Sejak saat itu, kalau ingin mengubah kalimatnya, aku minta ijin dulu, dan tentunya harus ada argumentasinya. Hehehehe....
Lain waktu, ada calon mahasiswa S3 yang ingin minta letter of recommendation dari beliau. Calon ini dulunya adalah mantan mahasiswa yang tesisnya dibimbing beliau. Pak Fuad masih ingat tentang mahasiswa ini lengkap dengan kemampuannya yang menurut beliau pas-pasan untuk jadi scholar, dan kengeyelan-nya yang tidak tepat. Maka dari lubuk hati yang paling dalam, beliau tidak ingin membuatkan recolet untuk calon mahasiswa ini. Ketika Pak Fuad bertanya padaku apakah recolet itu bisa sampai senat akademik universitas (SAU), aku bilang bisa saja kalau SAU mau lihat. Lalu saranku, Pak Fuad cukup menolak memberikan recolet untuk calon mahasiswa itu kalau tidak mau.
Tapi Pak Fuad bukan orang yang seperti itu. Beliau memang sudah pernah menyindir calon mahasiswa itu, kalau untuk sukses banyak cara, bukan hanya kuliah di S3. Tapi rupanya dia tidak ngerti maksud beliau. Akhirnya beliau mau memberikan recolet yang standar-standar saja, yang isinya bukan soal kecerdasan atau other qualities issues, tapi soal kerja keras dan persistensinya. See....he's a very intelligent man, with much love to give to others.
Setelah FGD di Balai Kartini berakhir, kami mampir ke rumah duka di Jl Brawijaya. Di sana jenazah Pak Fuad sudah ditutup, kami tidak boleh melihat wajahnya. Bu Tjiptaningroem, istri beliau, tampak sangat kehilangan. Ketika menyalaminya, kubisikkan "turut berduka cita" di telinga beliau, dan beliau pun bertanya,"I think I know you". Kukatakan (terpaksa dalam bahasa Inggris karena beliau keep talking in English), "I don't think so. I was his student, and we worked on a book about higher education until last february. I haven't seen him since then". Dengan tampang menyesal, Bu Fuad mengatakan "you must be missing him" and I replied,"yes, i miss him very much". Lalu aku pamit untuk berdoa di depan jenazah.
Begitulah Pak Fuad. We miss him very much, because he's a loving person. Beliau sempat ingin membuat buku tentang beda antara pain and suffer, karena dia sempat merasakan suffering di masa hidupnya, dimulai ketika penglihatannya menurun tajam sehingga beliau tidak bisa lagi melakukan hobinya: membaca. He hated it when he couldn't read, and shame on me...I don't read much padahal mataku sehat. Bodoh kok gak sudah-sudah...
Selamat jalan Pak Fuad, semoga engkau bahagia di sisi-Nya.
Harusnya kami sudah bersiap diri sejak beberapa bulan yang lalu, ketika beliau sudah bolak-balik masuk rumah sakit, bolak-balik masuk ICU, dan tidak pernah muncul lagi di kampus. Foto di atas adalah foto kemunculan terakhir beliau di kampus pada bulan Februari yang lalu. Beliau terlihat sedang melakukan pengecekan pada draft buku yang sedang kami kerjakan. Setelah itu, Pak Fuad tidak pernah muncul lagi di kampus, dan berdiskusi tentang berbagai macam persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini, termasuk tentang Malaysia.
Mengenai Malaysia ini, Pak Fuad punya pendapat pribadi yang cukup ekstrim, bahwa Malaysia tidak akan pernah mendahului Indonesia. Kalau sekarang yang terlihat Malaysia seperti meroket sedangkan Indonesia jalan di tempat, menurut Pak Fuad itu hanya fenomena sesaat. Indonesia jauh lebih unggul daripada Malaysia, meskipun Indonesia sedang "tertidur", dan itu akan terbukti dalam beberapa tahun ke depan. Begitulah menurut beliau.
Mengenai Amerika Serikat, Pak Fuad juga tidak terlalu suka. Contohnya, waktu aku mengumpulkan bahan-bahan tentang higher education in USA and Europe, beliau lebih suka aku menerjemahkan bahan tentang pendidikan tinggi di Eropa. Beliau tidak suka Amerika, even walaupun tradisi higher education Amerika berasal dari Britain. Jadi kerepotanlah kami mencari bahan-bahan tentang higher education di Eropa, karena kalau mengandalkan internet, paling banyak dapat dari Amerika.
Hal lain yang aku ingat tentang beliau adalah daya ingatnya yang sangat tinggi. Pernah suatu kali, karena penglihatannya yang sudah sangat menurun, beliau mendiktekan sesuatu untuk buku yang sedang kita kerjakan. Karena menurutku bahasa Pak Fuad tidak to the point, aku mengubah kalimatnya tanpa mengurangi maknanya. Seminggu kemudian, beliau minta dibacakan lagi bagian dari buku hasil diskusi minggu lalu. Waktu kubacakan, komentar beliau adalah "Debby ubah kalimatnya ya?" Maka kujelaskan alasanku mengubah kalimatnya. Sejak saat itu, kalau ingin mengubah kalimatnya, aku minta ijin dulu, dan tentunya harus ada argumentasinya. Hehehehe....
Lain waktu, ada calon mahasiswa S3 yang ingin minta letter of recommendation dari beliau. Calon ini dulunya adalah mantan mahasiswa yang tesisnya dibimbing beliau. Pak Fuad masih ingat tentang mahasiswa ini lengkap dengan kemampuannya yang menurut beliau pas-pasan untuk jadi scholar, dan kengeyelan-nya yang tidak tepat. Maka dari lubuk hati yang paling dalam, beliau tidak ingin membuatkan recolet untuk calon mahasiswa ini. Ketika Pak Fuad bertanya padaku apakah recolet itu bisa sampai senat akademik universitas (SAU), aku bilang bisa saja kalau SAU mau lihat. Lalu saranku, Pak Fuad cukup menolak memberikan recolet untuk calon mahasiswa itu kalau tidak mau.
Tapi Pak Fuad bukan orang yang seperti itu. Beliau memang sudah pernah menyindir calon mahasiswa itu, kalau untuk sukses banyak cara, bukan hanya kuliah di S3. Tapi rupanya dia tidak ngerti maksud beliau. Akhirnya beliau mau memberikan recolet yang standar-standar saja, yang isinya bukan soal kecerdasan atau other qualities issues, tapi soal kerja keras dan persistensinya. See....he's a very intelligent man, with much love to give to others.
Setelah FGD di Balai Kartini berakhir, kami mampir ke rumah duka di Jl Brawijaya. Di sana jenazah Pak Fuad sudah ditutup, kami tidak boleh melihat wajahnya. Bu Tjiptaningroem, istri beliau, tampak sangat kehilangan. Ketika menyalaminya, kubisikkan "turut berduka cita" di telinga beliau, dan beliau pun bertanya,"I think I know you". Kukatakan (terpaksa dalam bahasa Inggris karena beliau keep talking in English), "I don't think so. I was his student, and we worked on a book about higher education until last february. I haven't seen him since then". Dengan tampang menyesal, Bu Fuad mengatakan "you must be missing him" and I replied,"yes, i miss him very much". Lalu aku pamit untuk berdoa di depan jenazah.
Begitulah Pak Fuad. We miss him very much, because he's a loving person. Beliau sempat ingin membuat buku tentang beda antara pain and suffer, karena dia sempat merasakan suffering di masa hidupnya, dimulai ketika penglihatannya menurun tajam sehingga beliau tidak bisa lagi melakukan hobinya: membaca. He hated it when he couldn't read, and shame on me...I don't read much padahal mataku sehat. Bodoh kok gak sudah-sudah...
Selamat jalan Pak Fuad, semoga engkau bahagia di sisi-Nya.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home