Silaturahmi ke STSI Bandung
Dalam rangka pembuatan naskah akademik tentang ilmu dan seni (grrrhhhhhh....), aku dan Ringking merencanakan berkunjung ke Bandung hari Senin lalu. Tadinya sih aku doang yang diminta datang ke sana dengan alasan aku sudah mengenal Bandung (padahal aku cuman tahu jalan dari Pasteur ke Ciumbuleuit doang), tapi karena "berdua lebih baik" (kata-kata ini kukutip dari seorang pastor yang aku lupa namanya dalam sebuah bukunya yang aku juga lupa judulnya karena buku itu kubaca sudah lebih dari 10 tahun yang lalu), maka aku mengajak Ringking dalam ekspedisi ini.
Kami sudah membayangkan perjalanan yang menyenangkan, dengan persentase waktu untuk belanja lebih banyak daripada persentase bekerja. Hehehe...dasar perempuan. Aku sih nemenin Ringking aja, yang ngakunya baru 10 kali berkunjung ke Bandung selama hidupnya. Tapi biasanya, yang nemenin yang lebih kalap :-P
Senin malam kami sampai di Bandung, disambut hujan yang mengguyur Bandung sejak sore sampe-sampe si Ali adikku tidak bisa nemuin our uncle yang kebetulan sedang berada di Bandung, dan tiba-tiba memiliki sebuah misi suci menyatukan adiknya dan calon istrinya sesegera mungkin. People change. Dulu dia adalah orang yang paling menentang hubungan adiknya dengan Mba Titin, yang menurutnya tidak sepadan dan beda budaya. Sampai-sampai my uncle Leo malas sekali ngobrol sama abangnya yang punya adat keras itu. Tapi sekarang dia yang paling semangat supaya my uncle Leo cepat2 menikah dengan Mba Titin. Hmmmm....that's life, folks. Kalo kata ibunya Forest Gump, "life is like a box of chocolate, you'll never know what you're gonna get"
Kris, adik iparku, mengajak makan di sebuah tempat, namanya D'Cost. Ini tempat cozy abisss, kata si Ringking di Jakarta ada di Kemang tapi tempatnya selalu penuh. No wonder kenapa selalu penuh, nasi putih dihargai seribu rupiah, boleh pesen sepuasnya dan harganya tetep 1000! Lalu teh tawar hangat harganya seratus rupiah, pesen sampe muntah-muntah juga harganya tetep 100 rupiah. Ckckckck....Mungkin tempat ini akan jadi favoritku bertahun-tahun ke depan sampai aku eneq sama menu-menunya, sama seperti Kook di Ciumbuleuit yang cukup lama jadi favorit tempat makan.
Besoknya, kami pergi ke STSI pagi-pagi bener dianterin adikku. Tidak terlalu pagi sebetulnya, karena kami baru berangkat dari rumah jam 8.30, nyangkut di Bubur Ayam Mang Oyo Sulanjana sejam (hehehe...susah juga nelen bubur ayam kental Mang Oyo sampe memerlukan waktu sejam sendiri), then ke Buah Batu. Aku pikir akan makan waktu banyak karena kata adikku jauuuuuh sekali (aku ngebayangin perjalanan Depok - Cilincing minggu lalu waktu menghadiri upacara kremasinya Ibu Meithy!), tapi ternyata kurang dari setengah jam dah nyampe, tidak pake jalan tol lagi!. Huahahahaha...orang Bandung suka berlebihan kalau menggambarkan sesuatu (kepada orang Jakarta lagi!).
Sampai di STSI, itu kampus kayak kampus mati. Suram. Mendadak sedih melihat kampus ini, karena berbeda jauh dengan UI yang terang benderang dan modern. Sedang ada pembangunan untuk jurusan teater. Tapi selebihnya...kantor kelurahan Pondok Cina jauh lebih bagus dan bersih dibandingkan ruang-ruang di kampus ini. Sudah gitu, pegawai negeri yang ada di sana sok birokratis lagi. Rasanya pengen mengajari mereka cara menjadi birokrat yang baik dan benar.
Pertama kali kami menemui orang di Bagian Akademik. Orangnya cukup helpful meskipun penampilan acak-acakan khas seniman :) Dia mengabarkan kabar buruk bahwa semua pimpinan sekolah tinggi itu sedang raker di Subang. Lemaslah kami....huhuhuhuhu...terlalu pede sih. Tapi kemudian kami bertekad mendapatkan data sebanyak mungkin sehingga kedatangan kami ke sini tidak hanya untuk mengantarkan Ringking belanja saja. Hasilnya, kami mendapatkan data jumlah dosen dan pendidikan terakhir mereka dengan mudah di Bagian Kepegawaian. Setelah itu, kami cara data jumlah mahasiswa. Di sini aku dibuat jengkel sama pegawai negeri sok birokrat itu.
Aku putuskan mengikuti keinginannya, menemui Bagian Umum (ini sih kuat-kuatan mental saja). Kami dilempar-lempar sampai ke sebuah lapangan olahraga indoor yang di atasnya dipakai sebagai kantor. Rasanya tidak percaya ada kantor di situ, tapi masa sih kita diboongin. Maka kami menyusuri selasar dalam gedung. Sampai di sebuah ruangan yang terbuka (ruangan lainnya tertutup), aku dan Ringking berargumentasi apakah ruang terbuka itu Bagian Umum atau tidak. Karena menyerupai gudang, Ringking bilang mungkin itu bukan Bagian Umum. Aku bilang mungkin saja, karena Bagian Umum kan mengurusi segala hal yang ada di kantor. Maka kami bertanya dengan hati2 kepada penghuninya. Ada seorang yang aku kira mahasiswa tapi ternyata karyawan, yang very very helpful sehingga mau mengurusi kami ke tempat yang seharusnya kami tuju. Hmmmm...berarti gw sedang diinisiasi sama orang-orang di depan.
Lalu kami ke Bagian Umum sesungguhnya yang berada di gedung depan, dan beruntunglah kami dapat bertemu dengan Pak Harris dari Puslitmas. Pak Harris ini tadinya ikut raker ke Subang, tapi karena satu dan lain hal harus kembali ke STSI. Mungkin ada firasat akan ada dua cewek keren datang berkunjung (emang Ringking aja yang boleh keren? - btw nama tengah si Ringking itu "Keren?"). Kami menghabiskan waktu dua jam lebih ngobrol-ngobrol seputar penelitian dosen seni, dan dia sangat menguasai bahan (untunglah adikku sudah disogok Tempo terbaru yang tebelnya bujubune itu). Sampai akhirnya...kita mendapatkan data jumlah mahasiswa lewat Pak Harris (horeeee...tidak perlu kembali lagi ke bapak sok birokrat di lantai bawah).
Semua data-data administrasi bisa kami dapatkan by 13 hundred hours. Masalahnya, kami tidak bisa melakukan wawancara dengan pimpinan sekolah tinggi ini, kecuali mau susah payah ke Subang, itu pun belum tentu diterima dengan sukacita. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja ke Depok hari ini, dan melanjutkan wawancaranya pada minggu yang akan datang. Kami berjanji ke Pak Harris untuk datang kembali minggu depan, padahal minggu depan Ringking ke Singapura. Ya sudah, tungguin Ringking kembali lah yaowww...malas juga wawancara sendirian. I'm bad at taking notes. Halah....
Kami makan siang di Tamansari, lalu memulangkan adikku ke rumahnya dan melanjutkan perjalanan ke FO. Seperti biasa, aku membuat kami nyasar. Aku excuse dong, karena baru kali ini jadi navigator jalan-jalan di Bandung. Aku dan Ringking tidak janjian beli baju yang sama karena sampai di dalam FO kami sibuk sendiri. And guess what....of the many many clothes there...aku membeli baju yang sama dengan Ringking, hanya beda ukuran saja! Kita baru sadar setelah membayar baju-baju itu. Ya ampyuuuuuuunnnn...kenapa selera kita bisa sama gitu ya? Sampai warnanya pun sama (memang baju itu cuman punya satu warna saja, hijau). Teringat dulu waktu ada bazaar di kampus, kita hampir membeli baju yang sama tapi untungnya Ringking tidak jadi ambil karena gak ada ukuran dia. Hehehe.
Pulang ke rumah, Ringking tidur dulu sebelum kami berangkat pulang, dan aku menyelesaikan Laskar Pelangi. Sampai glossariumnya habis dibaca (kurang kerjaan), Ringking tak juga bangun. Tak tega membangunkan supir pribadiku ini, aku memutuskan ke bawah dan bergabung dengan Mas Zardi dan Mba Ninik, seniornya adikku yang baru saja pulang dari Jepang dan berencana menginap di Ciumbuleuit. Kebetulan si mba bisa pakai kamar yang aku tempati karena kami mau pulang. Ngobrol-ngobrol sebentar sama mereka, tentang jeleknya regenerasi staf pengajar di jurusan geologi (ya fenomena itu sih nggak di ITB, nggak di UI...sama sajalah) sambil menunggu Ringking bangun.
Setelah Ringking bangun, kami pun beranjak dari Ciumbuleuit, meninggalkan para geologist itu berdiskusi, bahan omongannya beda pisan sama kita-kita yang low profile. Hehehe. Low profile sama bego itu masih serumpun macam Indonesia dan Malaysia (analogi yang aneh). Kami makan di Ikan Bakar Cianjur (ato Ayam Bakar Cianjur?) di Pasteur. Aku pesan ayam bakar dan satu (biji) ati. Aku membayangkan ati ayam yang cukup besar tentunya, sebesar ati ayam di bubur ayam Mang Oyo. Tapiiii...waktu makananku datang, aku pun terbengong-bengong sementara Ringking terpingkal-pingkal karena ati ayamnya persis sebesar ati burung gereja (sudah pernah makan ati burung gereja? aku belum, tapi kalau burung gereja imut sekali, apalagi atinya? sebesar itulah ati yang aku makan tadi malam). Ringking sempat mengabadikan ati itu dengan kameranya, nanti aku sertakan fotonya deh kalau ingat.
Start dari Pasteur jam 8, kami sampai depok jam 10 kurang dikit. Dasar mantan supir metromini, bisa-bisanya nyampe Depok kurang dari 2 jam, padahal di jalan tol Cikampek cukup padat sama mobil dan truk-truk. Sampai di rumah, aku disambut mati lampu. Huhuhuhu....kan aku gelapfobia kalau sedang aktif. Tapi gak berapa lama, lampunya hidup. Horeeee....akulah pembawa keberuntungan ituh. Lalu aku cepat-cepat naik ke tempat tidur, sebelum lampunya mati lagi. Hehehe...kan gelapfobia kalau lagi bangun aja, kalau lagi bobo mah aku lebih senang gelap-gelap. Lebih kusyu bobonya.
Kami sudah membayangkan perjalanan yang menyenangkan, dengan persentase waktu untuk belanja lebih banyak daripada persentase bekerja. Hehehe...dasar perempuan. Aku sih nemenin Ringking aja, yang ngakunya baru 10 kali berkunjung ke Bandung selama hidupnya. Tapi biasanya, yang nemenin yang lebih kalap :-P
Senin malam kami sampai di Bandung, disambut hujan yang mengguyur Bandung sejak sore sampe-sampe si Ali adikku tidak bisa nemuin our uncle yang kebetulan sedang berada di Bandung, dan tiba-tiba memiliki sebuah misi suci menyatukan adiknya dan calon istrinya sesegera mungkin. People change. Dulu dia adalah orang yang paling menentang hubungan adiknya dengan Mba Titin, yang menurutnya tidak sepadan dan beda budaya. Sampai-sampai my uncle Leo malas sekali ngobrol sama abangnya yang punya adat keras itu. Tapi sekarang dia yang paling semangat supaya my uncle Leo cepat2 menikah dengan Mba Titin. Hmmmm....that's life, folks. Kalo kata ibunya Forest Gump, "life is like a box of chocolate, you'll never know what you're gonna get"
Kris, adik iparku, mengajak makan di sebuah tempat, namanya D'Cost. Ini tempat cozy abisss, kata si Ringking di Jakarta ada di Kemang tapi tempatnya selalu penuh. No wonder kenapa selalu penuh, nasi putih dihargai seribu rupiah, boleh pesen sepuasnya dan harganya tetep 1000! Lalu teh tawar hangat harganya seratus rupiah, pesen sampe muntah-muntah juga harganya tetep 100 rupiah. Ckckckck....Mungkin tempat ini akan jadi favoritku bertahun-tahun ke depan sampai aku eneq sama menu-menunya, sama seperti Kook di Ciumbuleuit yang cukup lama jadi favorit tempat makan.
Besoknya, kami pergi ke STSI pagi-pagi bener dianterin adikku. Tidak terlalu pagi sebetulnya, karena kami baru berangkat dari rumah jam 8.30, nyangkut di Bubur Ayam Mang Oyo Sulanjana sejam (hehehe...susah juga nelen bubur ayam kental Mang Oyo sampe memerlukan waktu sejam sendiri), then ke Buah Batu. Aku pikir akan makan waktu banyak karena kata adikku jauuuuuh sekali (aku ngebayangin perjalanan Depok - Cilincing minggu lalu waktu menghadiri upacara kremasinya Ibu Meithy!), tapi ternyata kurang dari setengah jam dah nyampe, tidak pake jalan tol lagi!. Huahahahaha...orang Bandung suka berlebihan kalau menggambarkan sesuatu (kepada orang Jakarta lagi!).
Sampai di STSI, itu kampus kayak kampus mati. Suram. Mendadak sedih melihat kampus ini, karena berbeda jauh dengan UI yang terang benderang dan modern. Sedang ada pembangunan untuk jurusan teater. Tapi selebihnya...kantor kelurahan Pondok Cina jauh lebih bagus dan bersih dibandingkan ruang-ruang di kampus ini. Sudah gitu, pegawai negeri yang ada di sana sok birokratis lagi. Rasanya pengen mengajari mereka cara menjadi birokrat yang baik dan benar.
Pertama kali kami menemui orang di Bagian Akademik. Orangnya cukup helpful meskipun penampilan acak-acakan khas seniman :) Dia mengabarkan kabar buruk bahwa semua pimpinan sekolah tinggi itu sedang raker di Subang. Lemaslah kami....huhuhuhuhu...terlalu pede sih. Tapi kemudian kami bertekad mendapatkan data sebanyak mungkin sehingga kedatangan kami ke sini tidak hanya untuk mengantarkan Ringking belanja saja. Hasilnya, kami mendapatkan data jumlah dosen dan pendidikan terakhir mereka dengan mudah di Bagian Kepegawaian. Setelah itu, kami cara data jumlah mahasiswa. Di sini aku dibuat jengkel sama pegawai negeri sok birokrat itu.
Aku putuskan mengikuti keinginannya, menemui Bagian Umum (ini sih kuat-kuatan mental saja). Kami dilempar-lempar sampai ke sebuah lapangan olahraga indoor yang di atasnya dipakai sebagai kantor. Rasanya tidak percaya ada kantor di situ, tapi masa sih kita diboongin. Maka kami menyusuri selasar dalam gedung. Sampai di sebuah ruangan yang terbuka (ruangan lainnya tertutup), aku dan Ringking berargumentasi apakah ruang terbuka itu Bagian Umum atau tidak. Karena menyerupai gudang, Ringking bilang mungkin itu bukan Bagian Umum. Aku bilang mungkin saja, karena Bagian Umum kan mengurusi segala hal yang ada di kantor. Maka kami bertanya dengan hati2 kepada penghuninya. Ada seorang yang aku kira mahasiswa tapi ternyata karyawan, yang very very helpful sehingga mau mengurusi kami ke tempat yang seharusnya kami tuju. Hmmmm...berarti gw sedang diinisiasi sama orang-orang di depan.
Lalu kami ke Bagian Umum sesungguhnya yang berada di gedung depan, dan beruntunglah kami dapat bertemu dengan Pak Harris dari Puslitmas. Pak Harris ini tadinya ikut raker ke Subang, tapi karena satu dan lain hal harus kembali ke STSI. Mungkin ada firasat akan ada dua cewek keren datang berkunjung (emang Ringking aja yang boleh keren? - btw nama tengah si Ringking itu "Keren?"). Kami menghabiskan waktu dua jam lebih ngobrol-ngobrol seputar penelitian dosen seni, dan dia sangat menguasai bahan (untunglah adikku sudah disogok Tempo terbaru yang tebelnya bujubune itu). Sampai akhirnya...kita mendapatkan data jumlah mahasiswa lewat Pak Harris (horeeee...tidak perlu kembali lagi ke bapak sok birokrat di lantai bawah).
Semua data-data administrasi bisa kami dapatkan by 13 hundred hours. Masalahnya, kami tidak bisa melakukan wawancara dengan pimpinan sekolah tinggi ini, kecuali mau susah payah ke Subang, itu pun belum tentu diterima dengan sukacita. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja ke Depok hari ini, dan melanjutkan wawancaranya pada minggu yang akan datang. Kami berjanji ke Pak Harris untuk datang kembali minggu depan, padahal minggu depan Ringking ke Singapura. Ya sudah, tungguin Ringking kembali lah yaowww...malas juga wawancara sendirian. I'm bad at taking notes. Halah....
Kami makan siang di Tamansari, lalu memulangkan adikku ke rumahnya dan melanjutkan perjalanan ke FO. Seperti biasa, aku membuat kami nyasar. Aku excuse dong, karena baru kali ini jadi navigator jalan-jalan di Bandung. Aku dan Ringking tidak janjian beli baju yang sama karena sampai di dalam FO kami sibuk sendiri. And guess what....of the many many clothes there...aku membeli baju yang sama dengan Ringking, hanya beda ukuran saja! Kita baru sadar setelah membayar baju-baju itu. Ya ampyuuuuuuunnnn...kenapa selera kita bisa sama gitu ya? Sampai warnanya pun sama (memang baju itu cuman punya satu warna saja, hijau). Teringat dulu waktu ada bazaar di kampus, kita hampir membeli baju yang sama tapi untungnya Ringking tidak jadi ambil karena gak ada ukuran dia. Hehehe.
Pulang ke rumah, Ringking tidur dulu sebelum kami berangkat pulang, dan aku menyelesaikan Laskar Pelangi. Sampai glossariumnya habis dibaca (kurang kerjaan), Ringking tak juga bangun. Tak tega membangunkan supir pribadiku ini, aku memutuskan ke bawah dan bergabung dengan Mas Zardi dan Mba Ninik, seniornya adikku yang baru saja pulang dari Jepang dan berencana menginap di Ciumbuleuit. Kebetulan si mba bisa pakai kamar yang aku tempati karena kami mau pulang. Ngobrol-ngobrol sebentar sama mereka, tentang jeleknya regenerasi staf pengajar di jurusan geologi (ya fenomena itu sih nggak di ITB, nggak di UI...sama sajalah) sambil menunggu Ringking bangun.
Setelah Ringking bangun, kami pun beranjak dari Ciumbuleuit, meninggalkan para geologist itu berdiskusi, bahan omongannya beda pisan sama kita-kita yang low profile. Hehehe. Low profile sama bego itu masih serumpun macam Indonesia dan Malaysia (analogi yang aneh). Kami makan di Ikan Bakar Cianjur (ato Ayam Bakar Cianjur?) di Pasteur. Aku pesan ayam bakar dan satu (biji) ati. Aku membayangkan ati ayam yang cukup besar tentunya, sebesar ati ayam di bubur ayam Mang Oyo. Tapiiii...waktu makananku datang, aku pun terbengong-bengong sementara Ringking terpingkal-pingkal karena ati ayamnya persis sebesar ati burung gereja (sudah pernah makan ati burung gereja? aku belum, tapi kalau burung gereja imut sekali, apalagi atinya? sebesar itulah ati yang aku makan tadi malam). Ringking sempat mengabadikan ati itu dengan kameranya, nanti aku sertakan fotonya deh kalau ingat.
Start dari Pasteur jam 8, kami sampai depok jam 10 kurang dikit. Dasar mantan supir metromini, bisa-bisanya nyampe Depok kurang dari 2 jam, padahal di jalan tol Cikampek cukup padat sama mobil dan truk-truk. Sampai di rumah, aku disambut mati lampu. Huhuhuhu....kan aku gelapfobia kalau sedang aktif. Tapi gak berapa lama, lampunya hidup. Horeeee....akulah pembawa keberuntungan ituh. Lalu aku cepat-cepat naik ke tempat tidur, sebelum lampunya mati lagi. Hehehe...kan gelapfobia kalau lagi bangun aja, kalau lagi bobo mah aku lebih senang gelap-gelap. Lebih kusyu bobonya.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home