Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Thursday, February 12, 2009

Social norms vs Market Norms

Today I was fascinated by Dan Ariely. I found a very engaging, original yet simple story of our everyday lives, of our irrational thinking that influence our decision making process. This is too good a writing that I have to share with my Indonesian fellows, so I will write in Indonesian language to be read by my people. Sorry to my non-Indonesian friends. 

 

Bayangkan anda pergi ke rumah mertua anda untuk sebuah acara arisan. Mertua anda yang baik hati dan suka memasak, memasakkan gulai kambing kesukaan anda (euw). Makanan enak lainnya pun terhidang untuk menyenangkan hati anda dan istri anda yang kebetulan anak kandungnya. Setelah menikmati berbagai makanan enak tersebut, anda mulai kekenyangan dan ngantuk. Sebelum anda membuat malu diri anda sendiri (tertidur sambil ngorok di depan mertua), anda memutuskan untuk pamit pulang.

 

Anda menyampaikan terimakasih kepada mertua yang baik hati, "Ibu, terimakasih atas hidangan paling enak tadi. Kami mau pulang, berapa yang harus saya bayar untuk semuanya Bu?" Bisa anda bayangkan senyum lebar di wajah ibu dengan serta-merta menghilang, digantikan muka merah karena marah dan tersinggung berat. Sampai berbulan-bulan lamanya Ibu tidak ingin berkomunikasi dengan anak dan menantu yang dianggap kurang ajar.

 

Apa yang salah? Mengapa Ibu marah sampai-sampai hubungan interpersonalnya dengan menantu terganggu? Kesalahan besar yang dilakukan sang menantu adalah karena Ibu merasa menantu tersebut telah menggantikan hubungan sosial menjadi hubungan ekonomi. Padahal maksud dari sang menantu adalah, ia ingin meringankan beban ibu mertuanya.

 

Penempatan norma sosial dan norma ekonomi yang salah dapat menyebabkan disaster. Sanksi ekonomi yang diberlakukan pada sebuah kontrak sosial dapat membuyarkan norma sosial sebuah kelompok. Ketika norma ekonomi diterapkan pada sebuah kelompok, maka sangat sulit untuk mengubahnya kembali ke norma sosial. 

 

Pada sebuah kajian social vs market norms di sebuah tempat penitipan anak (TPA) di Israel, beberapa peneliti melihat ada kontrak sosial antara guru dan orangtua dengan berlakunya norma "rasa bersalah karena terlambat menjemput anak". Jika orangtua terlambat menjemput anaknya - kadang-kadang bisa terjadi - mereka merasa bersalah sehingga di kemudian hari mereka akan berusaha tidak terlambat lagi. Katanya, di Israel membuat seseorang merasa bersalah merupakan cara yang efektif untuk membuat orang tersebut patuh pada aturan (oh really?) 

 

Lalu para peneliti yang sedang melakukan longitudinal study di TPA tersebut memberlakukan denda untuk orangtua yang terlambat. Dalam hal ini TPA tersebut telah menggantikan norma sosial menjadi norma ekonomi. Denda karena terlambat merupakan pilihan baru untuk orangtua. Sangat mudah untuk mengeluarkan uang daripada menanggung rasa bersalah. Bukan begitu? Karena tidak ada masalah dengan jumlah uang yang dikeluarkan, frekuensi terlambat menjadi lebih sering. Orangtua menjadi lebih selfish dan self-reliant. Padahal ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh TPA.

 

Beberapa minggu kemudian, TPA tersebut (the researchers actually) mengubah kembali norma ekonomi menjadi norma sosial dengan cara menghapuskan denda. Apakah dengan sertamerta orangtua juga kembali ke norma sosial? Apakah perasaan bersalah mereka dapat kembali? Sama sekali tidak. Ketika denda dihapuskan, tingkahlaku orangtua tidak berubah. Mereka tetap saja terlambat menjemput anaknya. Malahan, ketika denda dihapuskan, terjadi peningkatan frekuensi keterlambatan menjemput anak (dalam hal ini, karena norma sosial dan norma ekonomi di mata orangtua menjadi tidak ada).

 

Kajian tersebut mengungkap fakta: jika terjadi benturan antara norma sosial dan norma ekonomi, maka norma sosial akan hilang dalam waktu sangat lama. Tidaklah mudah untuk membangun kembali norma sosial yang sudah hilang.

 

Sekarang kita refleksikan pada masyarakat Indonesia yang once upon a time sangat menjunjung norma sosial. Selama 32 tahun (I don’t have to mention further in whose era we were living at that time) seluruh tatanan sosial kita dirusak, diganti secara besar-besaran dengan norma ekonomi. What happened then? Akhir-akhir ini banyak profesor mengeluh karena mahasiswa yang kurang ajar. Banyak tulisan di media massa yang mengupas kepribadian orang Indonesia yang sudah rapuh, selfish, dan individualistis. Kita semua ingin kembali ke masa-masa awal kemerdekaan atau bahkan ke jaman Majapahit, di mana konon katanya norma sosial begitu kental terlihat di masyarakat. Banyak ahli yang berteriak pentingnya character building pada bangsa ini. Para pejabat tingkat negara sampai kelurahan, korporasi sampai LSM berteriak “Berantas KKN!!” sambil melakukan korupsi berjamaah. Orang-orang tua terheran-heran dengan lambatnya proses reformasi menyejahterakan rakyat. Dan kita masih di sini, berjuang terus untuk menjadi lebih baik.

 

Bercerminlah dari kasus TPA di atas. Norma ekonomi yang menggantikan norma sosial selama beberapa minggu telah membuat mereka membayar mahal untuk kembali ke norma sosial. Pada kasus TPA di Israel tersebut, mereka baru bisa memberlakukan norma sosial (menumbuhkan perasaan bersalah jika terlambat) pada orangtua dari anak yang masuk ke TPA tersebut setahun kemudian. Mereka tak lagi bisa menaruh harapan pada orangtua yang sudah tercemar oleh aturan denda (untung masa-masa TPA tak selama masa-masa SD). Pada kasus Indonesia, himbauan Gus Dur potong tiga generasi bukanlah himbauan asal bunyi belaka (dan barangkali saya pun termasuk salah satu generasi yang dipotong tersebut, hiks). 

(Sumber: Dan Ariely. 2008. Predictably irrational: the hidden forces that shape our decisions. New York: HarperCollins)

 

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home