Debby@Home

“I asked God for strength that I might achieve; I was made weak that I might humbly learn to obey. I asked for help that I might do greater things; I was given infirmity that I might do better things. I asked for all things that I might enjoy life; I was given life that I might enjoy all things. I got nothing that I asked for, but everything I hope for; almost despite myself, my unspoken prayers were answered. I among all men am truly blessed”

My Photo
Name:
Location: Depok, West Java, Indonesia

I am an ordinary woman with extraordinary interest in everything

Thursday, February 26, 2009

Mighty Ponari

Siapa tak kenal Ponari. Dukun cilik nan sakti asal Jombang yang mampu mengalirkan dana milyaran rupiah di sekitar daerah tersebut telah menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, bahkan kononnya sudah go internasional. Paham betul dia soal komersialisasi dan profitabilitas kedukunannya. Mungkin dia harus memikirkan untuk memproduksi air plus celupan batu petir/gunturnya secara massal. 

Air yang dicelup batu tersebut telah membuat berjuta-juta orang sakit ngantri berdesak-desakan demi kesembuhannya, bahkan sudah ada yang meninggal karena terinjak-injak (kasihan...sudah sakit terinjak orang pula) sehingga praktik sang dukun ini mendapat iklan gratisan dari media massa yang berbondong-bondong meliput fenomena abad ini (setelah fenomena Mak Erot hehehe). 

Menteri Kesehatan yang tidak mau dipusingkan si dukun cilik ini malah membiarkan saja praktik tersebut berjalan terus karena katanya tidak ada tindakan rasional yang dapat dilakukan untuk mencegahnya. Padahal sudah ada pasiennya yang mati karena meningitis. Entah ignorance atau menyerah (keduanya sebetulnya sodara dekat), Ibu Menteri yang terhormat menyerahkan keputusannya kepada alam. Kalau memang terbukti tidak benar, kan akan banyak pasiennya yang mati...lalu kan ada testimonial bahwa nggak benar itu praktik dukun...lalu praktik itu serta merta berhenti. Semudah itukah?

Beberapa waktu yang lalu, dari kotbah seorang pendeta di gereja (cieeeee...religius nih) ada cerita tentang seorang penderita kanker stadium 4 yang diberikan placebo treatment oleh dokternya. Meskipun belum ada obat yang mujarab untuk menyembuhkan kanker yang sudah stadium 4, dokter yang tidak tega melihat pasiennya memutuskan untuk melakukan injeksi bohongan sambil menumbuhkan harapan sembuh pada pasien tersebut. Kalau menurut hitung-hitungan dokter (yang pastinya tidak sama dengan hitungan Tuhan), usia pasien tersebut paling lama 1 bulan lagi. Tapi dokter yang baik hati tersebut dengan optimis mengharapkan pasiennya sembuh setelah diberikan injeksi yang katanya obat termahal dan termujarab di dunia.

Terpengaruh oleh optimisme sang dokter, pasien tersebut beneran sembuh, pulang ke rumahnya dan beraktivitas seperti biasa (gue yakin dokternya pun heran). Satu tahun kemudian, pasien tersebut kembali ke rumah sakit. Setelah diinvestigasi oleh dokter, ketahuan yang membuat pasien tersebut kembali sakit adalah setelah dia membaca di sebuah majalah kesehatan bahwa belum pernah ditemukan obat yang tokcer untuk penyakit yang sedang dideritanya. Mungkin karena kepikiran terus oleh artikel tersebut, kesehatannya kembali drop sampai harus kembali ke rumah sakit. 

Tahukah anda kalau pada kenyataannya, dokter selalu melakukan placebo treatment? Pada sebuah penelitian tahun 2003 yang lalu, ditemukan lebih dari sepertiga pasien yang terkena infeksi tenggorokan karena virus diberikan antibiotik. Siapapun tahu antibiotik hanya mempan untuk infeksi karena bakteri, sama sekali tidak mempan untuk infeksi virus. Meski tau ada dua jenis infeksi, dokter tetap akan memberikan antibiotik karena mereka sangat tahu betapa leganya pasien karena telah diberikan pengobatan, dan rasa lega itu by no means turut menyembuhkan mereka. Dokter yang memang dilatih untuk menjadi the real healer by science tentunya tidak mau mengakui bahwa efek placebo telah menolong pasiennya sembuh. 

Dua minggu yang lalu adik gue sakit dan menolak mentah-mentah diajak ke rumah sakit. Adik gue yang satu itu memang keras kepala, dan satu-satunya dokter yang ada di kepalanya hanyalah dokter yang juga oom gue. Unfortunately, oom gue yang menjadi pusat rujukannya sedang bertugas di Kalimantan, sehingga dia terpaksa memberikan resep lewat telepon. Untung apotekernya ngerti meski obat itu harus dengan resep dokter. Ajaibnya adik gue sembuh dengan obat itu, yang menurut gue gak nyambung dengan keluhannya (sok tau juga sih gue hehehe). Mamaku sempat cerita bahwa dia memang hanya cocok dengan oom Leo. Ada dua oom gue yang profesinya dokter, tapi yang satu lagi tak pernah bisa membuat sembuh adik gue yang fisiknya ringkih dan sakit-sakitan itu. Saking sayangnya oom Leo pada adik gue, dia sempat minta adik gue ikut bersamanya ke Kalimantan. Gue yakin seyakin-yakinnya, efek placebo-lah yang bekerja di tubuh adik gue. 

Bagaimana tepatnya placebo bekerja? Menurut sebuah sumber, ada dua mekanisme pembentuk ekspektasi yang membuat efek placebo. Yang pertama adalah belief, yaitu tingkat keyakinan kita pada obat, prosedur atau dokter/paramedis. Kadang-kadang perhatian yang baik dari dokter atau perawat tidak hanya membuat kita merasa baikan tetapi juga memicu proses internal healing kita. Itulah sebabnya dokter yang antusias mampu menyembuhkan kita (padahal sebetulnya tubuh kita sendirilah yang menyembuhkan).

Mekanisme kedua adalah proses conditioning. Kalau pernah belajar psikologi, tentu tahu percobaan Pavlov tentang anjing yang air liurnya tetap menetes ketika mendengar bunyi bel, even makanan yang tadinya datang bersamaan dengan bunyi bel sudah tidak ada lagi. Begitu juga tubuh kita setelah pengalaman yang berulang, belajar "membangun" sebuah ekspektasi dan mengeluarkan reaksi kimia untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi di depan. Misalnya dalam menghadapi sakit, ekspektasi kita terhadap perlakuan yang akan diberikan kepada kita membuat tubuh kita memproduksi hormon endorfin dan opiate yang mampu menghambat kesakitan yang dialami (endorfin memiliki fungsi yang persis sama dengan morfin - that's why we don't need this kind of drug to be high...we can be high ourselves).

Ssshhhhhh.....panjang juga. Pokoknya, gue cuman mo bilang...praktik perdukunan ala Ponari tidak akan pernah dapat berhenti sebelum masyarakat yang masih goblog ini diberikan penyuluhan yang benar tentang kesehatan. Bahkan dokter yang notabene men of sciences pun masih mengandalkan efek placebo untuk praktiknya, apalagi dukun.....  


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home