Akhir-akhir ini aku banyak dicekoki film-film, baik film seri, film layar lebar maupun sinetron “Intan”. Bah, kenapa pula aku bisa nonton sinetron, satu hal yang gak akan pernah aku lakukan sampai beberapa bulan yang lalu.
Sejak Bu Mimi memperkenalkanku dengan sinetron “Intan”, aku jadi rajin nonton sinetron ini. Meskipun tidak menjadi tontonan wajib, rasa penasaran dengan akhir sinetron ini membuat aku rada committed sama si Intan. Tapi akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi nonton sinetron itu, karena seperti sudah diduga, kalau sinetron ratingnya tinggi, pasti dipanjang-panjangin sampai alur ceritanya gak masuk akal. Maleeeezzzz....Blessing in disguise, huh?
Back to the plot. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik dari menonton sebuah film. Salah satu pelajaran yang aku dapatkan adalah sebuah percakapan menarik yang nempel terus di kepalaku (kemungkinan besar percakapan ini ada di salah satu episode film seri ”Heroes”), kira-kira bunyinya gini: in this life, you just have to choose one of these: to search for your happiness or for the meaning of your life. You cannot choose both, since searching for the meaning of life means you are ready to sacrifice and be miserable. It’s really not a definition of happiness.
Entah darimana filosofi itu didapat, tapi kalo dipikir-pikir…ada benarnya juga. Mencari makna hidup berarti siap untuk menerima kenyataan hidup (manis or pahit), dan mengambil hikmah dari kenyataan tersebut. Tapi menurutku, “happiness” is part of “meaning of life.” Kenapa? Hmmm...karena...siapa sih yang mau hidup miserable all the time? Even Jewish yang suka bikin miserable dirinya sendiri pun gak ingin hidup miserable terus menerus. Setidaknya, wealthy is their part of life since they have brains. Biarin gak happy, yang penting kaya. Gitu kali...
Kemarin di gereja ada kotbah tentang sungut-sungutnya bangsa Israel karena Musa membawa mereka keluar dari Mesir. Seharusnya bangsa itu berterimakasih pada Musa yang telah membebaskan mereka dari perbudakan dan membuat mereka menjadi bangsa yang merdeka. Tapi instead of thanking him, mereka malah mengeluh dan marah-marah kepada Musa (dan Tuhan) karena telah menjauhkan mereka dari ”kemapanan” hidup sebagai budak. Buat mereka, tidak penting status sebagai budak, sepanjang mereka happy dan hidup berkecukupan. Buat apa merdeka tapi hidup berpindah-pindah, dikejar-kejar musuh, kadang-kadang makan tapi seringkali harus puasa? Honestly, kalau aku jadi mereka, aku pun akan bertindak sama.
Mungkin kalau kita semua ditanya, ingin cari apa di hidup ini: kebahagiaan atau hidup penuh makna? Jawabannya: hidup penuh makna. Mengapa? Karena ”hidup penuh makna” kedengarannya lebih sophisticated dibandingkan sekedar ”bahagia”. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa pilihan ”hidup penuh makna” dapat berkonsekuensi ke ”hidup dengan penderitaan”? Pasti tidak...karena ”hidup penuh makna” seharusnya bermakna ”hidup bahagia”. Well, it’s humane. We just wanna hear what we wanna hear.
Oke, kita ingin menjalankan hidup yang penuh makna. Tapi bagaimana caranya? Kata orang-orang bijak, dengan considering your past, live in your nowness and hope for the future. Hmmm…pretty simple. Yang bikin sulit adalah, considering your past berarti learn something from your past. Tapi bukan berarti kau hidup dengan mengingat-ingat masa lalu, and then trapped in your past. Kalau kau sudah mampu belajar dari masa lalu, berarti kau sudah memahami 1/3 makna hidup (gitu kali….).
Live in your nowness berarti rasakan kebahagiaan hidup (dan/atau penderitaan hidup) sekarang juga! Artinya, kalau kau sedang sedih sekarang, menangislah sepuasnya saat ini juga. Kalau kau sedang merasa senang karena proposalmu diterima, be happy, rayakan hari ini juga. Jika kau sudah menjalankan ini, maka kau sudah memahami 1/3 makna hidup.
Kapan terakhir kau memikirkan masa depanmu? We Asians banyak dicekoki filosofi “jalani hidup apa adanya.” Prinsip hidup seperti ini membuat kita malas bermimpi sampai akhirnya malas menetapkan visi hidup. Padahal punya mimpi itu menyenangkan. Yang sulit adalah bagian memilih mimpi mana yang ingin diwujudkan, karena there are soooo many dreams we have. Banyak orang tidak sempat bermimpi karena terlalu sibuk mikirin ”nowness” itu tadi, or trapped in the nowness yang menawarkan harapan palsu. Sempatkanlah bermimpi untuk memahami 1/3 makna hidupmu. Bahkan si genius Einstein menghabiskan ¾ hidupnya dengan daydreaming. But you don’t have to be like him…or you will ruin other people around you.
Though it sounds easy, it’s never easy to make real. Anyway…that’s what you call “life”, isn’t it?
*ket gambar: kucing HAPPY yg sedang bobo2 siang, dicolek-colek gak mempan...bobo is everything right now. Si Pus ini yang gigit kaki gue beberapa waktu yang lalu. Dasar kucing jelek!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home