Kekerasan yang melahirkan kekerasan?
Kemarin aku membaca berita di koran tentang seorang pemuda mengamuk dan menembaki mahasiswa Virginia Tech University secara membabi-buta. Cho Seung-Hui, orang Korea Selatan yang sudah punya permanent residence USA, menembaki 32 orang sebelum menembak dirinya sendiri. Di antara korban-korbannya, ada seorang mahasiswa Indonesia yang "nyelip" jadi salah satu korbannya (dan sialnya sempat diberitakan oleh media USA sebagai mahasiswa dari India).
Tanpa mengurangi rasa belasungkawa kepada para korban (terutama korban dari Indonesia karena bagaimana pun juga, he's one of us, he's our family, he gets hurt then I get hurt also), sebagai seorang yang berkecimpung di dunia psikologi, aku berusaha memahami tindakan si Cho ini. Mungkin para so called pisikoloh (hehehe...) pun tak kalah sibuknya memahami dia. Menurut paham psikologi, tidak ada sebab tunggal untuk satu akibat. Setiap situasi dan peristiwa memberikan andil dalam porsinya masing-masing terhadap tindakan seseorang. Oleh sebab itu, mari kita lihat beberapa fakta mengenai Cho yang mungkin hanya bisa kita "raba" dari pemberitaan dan opini yang berkembang di media.
Salah satu fakta adalah Cho berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Seoul dan pindah ke USA untuk mengubah nasibnya ketika Cho masih kecil. Setelah beberapa tahun di USA kehidupan keluarga Cho membaik, sampai akhirnya Cho dapat melanjutkan kuliahnya di Virginia Tech Uni. Akan tetapi, Cho kecil bukanlah seorang siswa yang happy. Kebayang 'kan being a freak among your friends at school.
Menjadi remaja yang freak di Indonesia saja rasanya sudah sangat menyiksa, apalagi di USA. USA termasuk negara yang sangat kejam terhadap anak-anak dan remaja yang tergolong "lemah", baik dari segi kepribadian maupun intelektualitas. Coba perhatikan film-film remaja buatan USA yang "sangat tidak ramah" pada anak-anak aneh dan tidak populer. Menjadi anak yang populer merupakan tujuan sebagian besar anak Amerika. Menjadi "prom queen/king" atau "homecoming queen" adalah impian siswa SMA, dan kalau kau seorang freak, jangan pernah memberanikan diri ikut acara-acara sekolah kalau tidak ingin dipermalukan. Kalau tidak bisa menjadi prom king, jadi penembak sadis pun bolehlah. Yang penting populer...keinginannya itu sekarang sudah terkabul dalam hitungan hari. Siapa tak kenal Cho Seung-Hui?
Cho kecil yang sempat dicap sebagai anak autis ini tergolong anak yang pendiam di kelasnya. Jika ia sudah bersuara, hampir dapat dipastikan anak-anak lain akan mengolok-oloknya, karena suara yang dikeluarkan terdengar aneh. Bayangkan, sudah pendiam, masih diolok-olok pula kalau bicara. Makin pendiamlah dia. Tapi apakah dia "menelan" begitu saja olok-olok temannya? Apakah dia dengan serta-merta memaafkan teman-temannya dan selalu berdoa minta Tuhan mengampuni mereka karena "mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat"? Mungkin tidak....Energi "kemarahan" itu dia pupuk hingga ia cukup dewasa untuk menumpahkannya. Dalam bentuk apa? Menghabisi nyawa sebanyak mungkin orang.
Budaya kekerasan di Amerika yang sudah muncul sejak jaman koboi masih berkuasa di negerinya Uncle Sam ini menjadi salah satu faktor lain yang menumbuhkan perilaku "di luar dugaan" si Cho. Lihat saja si koboi modern, Uncle Bush. Dengan mudahnya ia menghakimi orang lain di belahan bumi lain yang sama sekali tidak dikenalnya sebagai musuhnya. Perilaku Pak Bush yang tidak proporsional ini, suka tidak suka, sengaja tidak sengaja, langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada perilaku rakyatnya. Orang yang masih punya conscience akan mengutuk Bush, tetapi orang yang sudah kehilangan hati nurani akan menganggap Bush sebagai pahlawan sejati untuk menumpas "ketidakadilan".
Cho yang besar pada keluarga menengah ke bawah di USA "merasakan" ketidakadilan tersebut. Ia mengatribusikan kekerasan fisik dan mental yang diterimanya sebagai akibat dari kemiskinannya. "Kemarahannya" pada orang-orang kaya menjadi alasan untuknya melakukan perbuatan kejam itu. Kemarahan itu pula yang membuatnya mengagung-agungkan kekerasan, dan ia sangat yakin bahwa kekerasan dapat menumpas ketidakadilan. Ketidakadilan seperti apa? Yaaa....menurut dia orang kaya pun musti merasakan "kekerasan" yang dirasakan oleh kaum marginal. Sayangnya, tindakan membabi buta yang dilakukannya justru tidak "melukai" orang kaya!
Aku tidak menemukan fakta-fakta seputar keluarga si Cho dari berita yang beredar. Bagaimana Cho dibesarkan, keadaan lingkungan di sekitar rumahnya, dan lain-lain. Seorang rekan kerjaku (yang juga psikolog anak) yang aku ajak bergosip waktu makan siang tadi mengatakan perilaku kekerasan Cho berasal dari bapaknya yang juga penggemar kekerasan. Aku rada kurang paham juga "kekerasan" yang dimaksud di sini "melakukan tindakan kekerasan" atau "senang melihat kekerasan". Tapi yang jelas, si Cho sendiri adalah seorang pemuda yang senang nonton film tentang kekerasan (hati-hati Anda yang senang nonton film bergenre horor dan kekerasan), dan menganggap siswa pelaku penembakan yang pernah terjadi sebelumnya di USA sebagai pahlawannya.
Entah bagaimana sebetulnya hubungan antara "hobi menyaksikan kekerasan" dengan "tingkahlaku aktual kekerasan", tapi pemaparan dan kondisioning peristiwa-peristiwa kekerasan dapat memperkaya perbendaharaan kognisi seseorang dan mungkin saja menimbulkan cognitive dissonance pada dirinya. Dan kalau hal itu dilakukan terus-menerus, ia akan mencari pembenaran sehingga tidak terjadi lagi cognitive dissonance pada dirinya, dan lebih parah lagi unconsciously ia akan menerima tingkah laku tersebut. Barangkali begitulah yang terjadi pada Cho.
Tindakan Cho sebelumnya sudah memperlihatkan tanda-tanda keanehan (seperti membuat paper dengan topik yang penuh dengan kemarahan dan kekerasan) dan seharusnya sudah mendapatkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang. Sayangnya, karena kekerasan sudah merupakan hal yang biasa di sana, Cho ini tidak sempat mendapatkan pertolongan pertama. Ketika semuanya sudah terjadi, maka sibuklah orang-orang, dan makin ketat pulalah pengamanan di negeri itu. Sama seperti setelah kejadian WTC beberapa tahun silam, orang-orang Asia yang menjadi korban. Ah, kenapa sih orang Asia yang selalu menjadi korban?
Demikian analisis awamku mengenai peristiwa ini. Lho kok awam? Ya iyalaaaahhhh...secara gue itu bukan pakar psikologi klinis maupun sosial. Selama ini gue kan hanya berkutat di bidang psikologi industri dan organisasi, dan hanya mengamati kasus-kasus di organisasi yang meskipun tidak jauh beda dengan psikologi sosial tapi lingkungannya sudah sangat terfokus dan punya aturan-aturan yang jelas gitu lho...
Last but not least, turut berdukacita atas meninggalnya 32 orang yang menjadi korban atas penembakan ini. Semoga mereka diterima di sisiNya, dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Semoga Mora, mahasiswa Indonesia yang menjadi salah satu korban, dapat dipulangkan secepatnya ke Indonesia. Amiiiinnn...
Kemarin aku membaca berita di koran tentang seorang pemuda mengamuk dan menembaki mahasiswa Virginia Tech University secara membabi-buta. Cho Seung-Hui, orang Korea Selatan yang sudah punya permanent residence USA, menembaki 32 orang sebelum menembak dirinya sendiri. Di antara korban-korbannya, ada seorang mahasiswa Indonesia yang "nyelip" jadi salah satu korbannya (dan sialnya sempat diberitakan oleh media USA sebagai mahasiswa dari India).
Tanpa mengurangi rasa belasungkawa kepada para korban (terutama korban dari Indonesia karena bagaimana pun juga, he's one of us, he's our family, he gets hurt then I get hurt also), sebagai seorang yang berkecimpung di dunia psikologi, aku berusaha memahami tindakan si Cho ini. Mungkin para so called pisikoloh (hehehe...) pun tak kalah sibuknya memahami dia. Menurut paham psikologi, tidak ada sebab tunggal untuk satu akibat. Setiap situasi dan peristiwa memberikan andil dalam porsinya masing-masing terhadap tindakan seseorang. Oleh sebab itu, mari kita lihat beberapa fakta mengenai Cho yang mungkin hanya bisa kita "raba" dari pemberitaan dan opini yang berkembang di media.
Salah satu fakta adalah Cho berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Seoul dan pindah ke USA untuk mengubah nasibnya ketika Cho masih kecil. Setelah beberapa tahun di USA kehidupan keluarga Cho membaik, sampai akhirnya Cho dapat melanjutkan kuliahnya di Virginia Tech Uni. Akan tetapi, Cho kecil bukanlah seorang siswa yang happy. Kebayang 'kan being a freak among your friends at school.
Menjadi remaja yang freak di Indonesia saja rasanya sudah sangat menyiksa, apalagi di USA. USA termasuk negara yang sangat kejam terhadap anak-anak dan remaja yang tergolong "lemah", baik dari segi kepribadian maupun intelektualitas. Coba perhatikan film-film remaja buatan USA yang "sangat tidak ramah" pada anak-anak aneh dan tidak populer. Menjadi anak yang populer merupakan tujuan sebagian besar anak Amerika. Menjadi "prom queen/king" atau "homecoming queen" adalah impian siswa SMA, dan kalau kau seorang freak, jangan pernah memberanikan diri ikut acara-acara sekolah kalau tidak ingin dipermalukan. Kalau tidak bisa menjadi prom king, jadi penembak sadis pun bolehlah. Yang penting populer...keinginannya itu sekarang sudah terkabul dalam hitungan hari. Siapa tak kenal Cho Seung-Hui?
Cho kecil yang sempat dicap sebagai anak autis ini tergolong anak yang pendiam di kelasnya. Jika ia sudah bersuara, hampir dapat dipastikan anak-anak lain akan mengolok-oloknya, karena suara yang dikeluarkan terdengar aneh. Bayangkan, sudah pendiam, masih diolok-olok pula kalau bicara. Makin pendiamlah dia. Tapi apakah dia "menelan" begitu saja olok-olok temannya? Apakah dia dengan serta-merta memaafkan teman-temannya dan selalu berdoa minta Tuhan mengampuni mereka karena "mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat"? Mungkin tidak....Energi "kemarahan" itu dia pupuk hingga ia cukup dewasa untuk menumpahkannya. Dalam bentuk apa? Menghabisi nyawa sebanyak mungkin orang.
Budaya kekerasan di Amerika yang sudah muncul sejak jaman koboi masih berkuasa di negerinya Uncle Sam ini menjadi salah satu faktor lain yang menumbuhkan perilaku "di luar dugaan" si Cho. Lihat saja si koboi modern, Uncle Bush. Dengan mudahnya ia menghakimi orang lain di belahan bumi lain yang sama sekali tidak dikenalnya sebagai musuhnya. Perilaku Pak Bush yang tidak proporsional ini, suka tidak suka, sengaja tidak sengaja, langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada perilaku rakyatnya. Orang yang masih punya conscience akan mengutuk Bush, tetapi orang yang sudah kehilangan hati nurani akan menganggap Bush sebagai pahlawan sejati untuk menumpas "ketidakadilan".
Cho yang besar pada keluarga menengah ke bawah di USA "merasakan" ketidakadilan tersebut. Ia mengatribusikan kekerasan fisik dan mental yang diterimanya sebagai akibat dari kemiskinannya. "Kemarahannya" pada orang-orang kaya menjadi alasan untuknya melakukan perbuatan kejam itu. Kemarahan itu pula yang membuatnya mengagung-agungkan kekerasan, dan ia sangat yakin bahwa kekerasan dapat menumpas ketidakadilan. Ketidakadilan seperti apa? Yaaa....menurut dia orang kaya pun musti merasakan "kekerasan" yang dirasakan oleh kaum marginal. Sayangnya, tindakan membabi buta yang dilakukannya justru tidak "melukai" orang kaya!
Aku tidak menemukan fakta-fakta seputar keluarga si Cho dari berita yang beredar. Bagaimana Cho dibesarkan, keadaan lingkungan di sekitar rumahnya, dan lain-lain. Seorang rekan kerjaku (yang juga psikolog anak) yang aku ajak bergosip waktu makan siang tadi mengatakan perilaku kekerasan Cho berasal dari bapaknya yang juga penggemar kekerasan. Aku rada kurang paham juga "kekerasan" yang dimaksud di sini "melakukan tindakan kekerasan" atau "senang melihat kekerasan". Tapi yang jelas, si Cho sendiri adalah seorang pemuda yang senang nonton film tentang kekerasan (hati-hati Anda yang senang nonton film bergenre horor dan kekerasan), dan menganggap siswa pelaku penembakan yang pernah terjadi sebelumnya di USA sebagai pahlawannya.
Entah bagaimana sebetulnya hubungan antara "hobi menyaksikan kekerasan" dengan "tingkahlaku aktual kekerasan", tapi pemaparan dan kondisioning peristiwa-peristiwa kekerasan dapat memperkaya perbendaharaan kognisi seseorang dan mungkin saja menimbulkan cognitive dissonance pada dirinya. Dan kalau hal itu dilakukan terus-menerus, ia akan mencari pembenaran sehingga tidak terjadi lagi cognitive dissonance pada dirinya, dan lebih parah lagi unconsciously ia akan menerima tingkah laku tersebut. Barangkali begitulah yang terjadi pada Cho.
Tindakan Cho sebelumnya sudah memperlihatkan tanda-tanda keanehan (seperti membuat paper dengan topik yang penuh dengan kemarahan dan kekerasan) dan seharusnya sudah mendapatkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang. Sayangnya, karena kekerasan sudah merupakan hal yang biasa di sana, Cho ini tidak sempat mendapatkan pertolongan pertama. Ketika semuanya sudah terjadi, maka sibuklah orang-orang, dan makin ketat pulalah pengamanan di negeri itu. Sama seperti setelah kejadian WTC beberapa tahun silam, orang-orang Asia yang menjadi korban. Ah, kenapa sih orang Asia yang selalu menjadi korban?
Demikian analisis awamku mengenai peristiwa ini. Lho kok awam? Ya iyalaaaahhhh...secara gue itu bukan pakar psikologi klinis maupun sosial. Selama ini gue kan hanya berkutat di bidang psikologi industri dan organisasi, dan hanya mengamati kasus-kasus di organisasi yang meskipun tidak jauh beda dengan psikologi sosial tapi lingkungannya sudah sangat terfokus dan punya aturan-aturan yang jelas gitu lho...
Last but not least, turut berdukacita atas meninggalnya 32 orang yang menjadi korban atas penembakan ini. Semoga mereka diterima di sisiNya, dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Semoga Mora, mahasiswa Indonesia yang menjadi salah satu korban, dapat dipulangkan secepatnya ke Indonesia. Amiiiinnn...
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home