Berita tentang banjir....again?! Oh no.....
Berita tentang banjir tahun ini cukup membuat aku gerah dan ingin menulis terus. At least, aku punya niat untuk menyimpan baik-baik bencana ini sebagai lesson learnt. Siapa tau... aku akan mengalami amnesia berat seperti yang dialami oleh bapak-bapak pejabat negeri ini, jadi aku harus menyimpan peristiwa ini di suatu tempat, for me to dig when I happen to be in their positions someday.
Kalau kemarin-kemarin ada tingkah polah dan komentar ajaib dari gubernur dan wapres, kali ini ada lagi yang lebih lucu dari seorang menteri yang tak punya sense of crisis. Bayangkan, menkokesra yang sudah menciptakan kiamat bagi warga Sidoarjo dengan semburan lumpur panas itu, kini dengan enteng menyebut media sudah membesar-besarkan bencana banjir, karena yang terkena banjir masih bisa ketawa-ketawa? (aku baca di kompas).
I'm trying to see both ways nih, tapi tetap saja tidak bisa melihat sisi baik dari ucapan pak menteri. Media, nature-nya adalah mencari-cari berita. Buat media, berita adalah komoditas utama, whether berita baik maupun berita buruk. Buat media, every good news is a good news, and every bad news is a good news. Dan sudah menjadi nature media pula, menggiring opini pembaca ke arah yang diinginkannya. That's the bad side of media.
Oleh karena itu, memberitakan banjir 24 jam sehari dengan mengulang-ulang bencana banjir ya sah-sah aja. Mencari-cari sampai ke ujung jalan, jalan buntu, sisi-sisi yang tidak kelihatan oleh orang banyak demi sebuah berita yang menarik, itu sudah nature mereka. Kalau tidak ingin diliput media, jangan bikin berita. Kalau banjir tidak ada, apakah media akan memberitakan banjir? Tentu tidak? Mungkin mereka akan mengalihkan perhatian pada fenomena artis ngerjain politikus, artis kawin cerai, artis foto bugil dan sebagainya. Karena every bad news is a good news.
Lha kenapa musti marah kepada mereka? Marahlah kepada diri sendiri yang tak mampu menyembunyikan masalah dari mereka. Marahlah kepada diri sendiri karena sudah memancing nyamuk-nyamuk pers keluar. Tapi jangan marah pada rakyat yang mengeluarkan uneg-uneg mereka. Rakyat juga butuh bersuara. Kalau ada orang kebanjiran tapi tetap tertawa, bukan berarti mereka happy karena kebanjiran? Mereka berusaha menerima keadaan, itulah cara mereka mempertahankan diri dari penderitaan. Daripada cemberut terus, lalu stres, kemudian burnout, and eventually gila?
Hayo....Coba bayangkan bapak tidak mandi tiga hari berturut-turut, pakaian hanya yang di badan saja, tidur bersama pengungsi yang lain di tempat yang seadanya, ato berusaha bertahan di rumah karena tidak ingin isi rumahnya lenyap dijarah orang jahat jika mereka mengungsi. Belum lagi penyakit yang mengintai pasca banjir? Try to put your feet in their shoes pak....then you didn't have to say what you have said. :-(
Berita tentang banjir tahun ini cukup membuat aku gerah dan ingin menulis terus. At least, aku punya niat untuk menyimpan baik-baik bencana ini sebagai lesson learnt. Siapa tau... aku akan mengalami amnesia berat seperti yang dialami oleh bapak-bapak pejabat negeri ini, jadi aku harus menyimpan peristiwa ini di suatu tempat, for me to dig when I happen to be in their positions someday.
Kalau kemarin-kemarin ada tingkah polah dan komentar ajaib dari gubernur dan wapres, kali ini ada lagi yang lebih lucu dari seorang menteri yang tak punya sense of crisis. Bayangkan, menkokesra yang sudah menciptakan kiamat bagi warga Sidoarjo dengan semburan lumpur panas itu, kini dengan enteng menyebut media sudah membesar-besarkan bencana banjir, karena yang terkena banjir masih bisa ketawa-ketawa? (aku baca di kompas).
I'm trying to see both ways nih, tapi tetap saja tidak bisa melihat sisi baik dari ucapan pak menteri. Media, nature-nya adalah mencari-cari berita. Buat media, berita adalah komoditas utama, whether berita baik maupun berita buruk. Buat media, every good news is a good news, and every bad news is a good news. Dan sudah menjadi nature media pula, menggiring opini pembaca ke arah yang diinginkannya. That's the bad side of media.
Oleh karena itu, memberitakan banjir 24 jam sehari dengan mengulang-ulang bencana banjir ya sah-sah aja. Mencari-cari sampai ke ujung jalan, jalan buntu, sisi-sisi yang tidak kelihatan oleh orang banyak demi sebuah berita yang menarik, itu sudah nature mereka. Kalau tidak ingin diliput media, jangan bikin berita. Kalau banjir tidak ada, apakah media akan memberitakan banjir? Tentu tidak? Mungkin mereka akan mengalihkan perhatian pada fenomena artis ngerjain politikus, artis kawin cerai, artis foto bugil dan sebagainya. Karena every bad news is a good news.
Lha kenapa musti marah kepada mereka? Marahlah kepada diri sendiri yang tak mampu menyembunyikan masalah dari mereka. Marahlah kepada diri sendiri karena sudah memancing nyamuk-nyamuk pers keluar. Tapi jangan marah pada rakyat yang mengeluarkan uneg-uneg mereka. Rakyat juga butuh bersuara. Kalau ada orang kebanjiran tapi tetap tertawa, bukan berarti mereka happy karena kebanjiran? Mereka berusaha menerima keadaan, itulah cara mereka mempertahankan diri dari penderitaan. Daripada cemberut terus, lalu stres, kemudian burnout, and eventually gila?
Hayo....Coba bayangkan bapak tidak mandi tiga hari berturut-turut, pakaian hanya yang di badan saja, tidur bersama pengungsi yang lain di tempat yang seadanya, ato berusaha bertahan di rumah karena tidak ingin isi rumahnya lenyap dijarah orang jahat jika mereka mengungsi. Belum lagi penyakit yang mengintai pasca banjir? Try to put your feet in their shoes pak....then you didn't have to say what you have said. :-(
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home