Belajar dari Kibbutz
Terus terang, karena ide ‘kibbutz’ ini berasal dari bangsa Israel dan rada berbau komunis, saya agak takut untuk menulis tentangnya. Tapi kemudian, saya berpikir yang praktis2 saja, apa pun yang mengandung kebaikan, pantas untuk dipelajari . Tidak perlu sampai mengadopsi ideologinya. Maka saya pun memutuskan untuk menulis tentang kibbutz, untuk memberi inspirasi baik kepada rakyat Indonesia khususnya kaum muda Indonesia maupun kepada pengambil kebijakan di atas sana, bahwa ide permukiman yang dimiliki oleh Israel telah membantu melahirkan sebuah negara yang cukup kuat.
Kibbutz
Kibbutz (bahasa Ibrani untuk “permukiman”) adalah permukiman di luar kota yang cukup unik. Di dalam kibbutz terdapat sistem sosial ekonomi yang berdasarkan prinsip kepemilikan bersama pada property, kesamaan dan kerjasama dalam produksi, konsumsi dan pendidikan. Masyarakat yang tinggal di dalam kibbutz adalah masyarakat yang memang memilih untuk hidup dengan idealisasi “dari kita sesuai dengan kemampuan kita, untuk kita sesuai dengan kebutuhan kita”.
Kibbutzim (bentuk plural dari kibbutz) pertama dibangun 40 tahun sebelum berdirinya negara Israel (tahun 1948). Pendirinya adalah orang-orang Yahudi yang umumnya berasal dari Eropa Timur, yang datang tidak hanya untuk mengklaim kepemilikan mereka pada tanah yang dijanjikan, tetapi juga untuk bergaya hidup baru. Ketika itu situasi tidaklah mudah: lingkungan yang tidak ramah, tidak punya pengalaman pada pekerjaan fisik, kurangnya pengetahuan pada bidang agricultural, tanah yang tidak pernah terpakai selama berabad-abad, kekurangan air bersih dan ketiadaan dana. Di atas kesulitan-kesulitan tersebut, mereka berhasil membangun komunitas yang memegang peran sangat dominan dalam pembangunan negara mereka.
Saat ini ada 270 kibbutzim, dan setiap kibbutz terdiri atas 40 sampai 1000 orang. Total jumlah orang yang tinggal di kibbutz adalah 130.000 orang atau sekitar 2,5% dari total populasi negara.
Hampir semua kibbutzim dirancang mirip. Area permukiman terdiri dari rumah lengkap dengan tamannya, rumah anak-anak dan taman bermain untuk tiap kelompok bermain, dan fasilitas bersama seperti restoran, auditorium, perpustakaan, kolam renang, lapangan tenis, rumah sakit, laundry, toko dan lain-lain. Di luar area permukiman ada tempat untuk memelihara hewan-hewan seperti sapi, ayam, dan pabrik-pabrik. Pertanian, perikanan, dan bentuk-bentuk agrikultur lainnya juga terdapat di sekeliling kibbutz. Di dalam kibbutz, orang biasanya jalan kaki atau menggunakan kendaraan sepeda, dan kendaraan listrik disediakan untuk orang cacat dan kaum lansia.
Persoalan sehari-hari ditangani oleh komite terpilih, yang mengurusi permukiman, keuangan, perencanaan produksi, kesehatan dan budaya.
Bagi para pendirinya, menghidupkan kembali tanah nenek moyang yang diyakini mereka dijanjikan Tuhan kepada mereka, dan mengubah masyarakat menjadi petani merupakan sebuah ideologi, bukan lagi cara untuk mencari penghidupan. Maka, setelah bertahun-tahun, petani-petani di kibbutz telah membuat tanah itu subur dan menghasilkan.
Berdasarkan partisipasi sukarela dari para anggotanya, kibbutz merupakan sebuah komunitas dimana setiap anggotanya bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan anggota lainnya. Inilah sebuah masyarakat yang berjuang agar setiap individu dapat mengembangkan potensi mereka sebaik-baiknya, sementara mereka dituntut untuk memenuhi kewajiban dan komitmen mereka untuk menyumbang pada kesejahteraan masyarakat.
Implementasi Permukiman Serupa di Indonesia
Kibbutz memang merupakan ideologi sebagian bangsa Israel yang menganut prinsip komunisme: kepemilikan bersama. Masyarakat yang berdiam di kibbutz adalah masyarakat yang memiliki kesamaan visi, yaitu demi kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata di antara penghuni kibbutz. Tetapi ideologi sosial komunis ini tidak lantas berarti membuat penghuninya menjadi atheis, karena toh bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki agama.
Kita pun bukanlah negara komunis, tetapi tatanan masyarakat kita berdasarkan prinsip kekeluargaan. Sistem kekerabatan yang kental di negara ini dapat dilihat dari reaksi orang Aceh pada isu pengangkatan anak-anak Aceh yang menjadi korban bencana tsunami. Mereka sangat tersinggung pada rencana pengangkatan anak Aceh, karena mereka merasa dengan cara itu anak-anak yang diangkat oleh orang lain selain orang Aceh akan tercabut dari akar budayanya. Mereka menginginkan anak2 itu tetap berada di Aceh, dan bersama-sama mereka membangun Aceh kembali.
Melihat hasil bencana yang memporak porandakan seluruh tatanan fisik Aceh, Aceh harus berbenah dari awal lagi. Termasuk dalam bidang permukiman. Pilihan bentuk permukiman yang tidak melupakan kepribadian awal bangsa Aceh dapat saja jatuh pada bentuk kibbutz, yang sedikit banyak serupa dengan permukiman danchi di Jepang.
Mumpung pemerintah masih merasakan sulitnya menormalkan kembali Aceh, dan adanya tuntutan untuk menyosialisasikan bagaimana rancangan kasar rekonstruksi Banda Aceh, Meulaboh, dan sejumlah tempat lain di Aceh yang hancur akibat bencana tsunami itu. Agar masyarakat di pengungsian mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang akan mereka dapatkan dari rekonstruksi tersebut.
Pemerintah sudah mempunyai rencana untuk menghijaukan kembali kawasan pesisir Aceh dengan hutan bakau, maka pasti pengaturan kembali penggunaan tanah di Aceh akan berdampak pada pengungsi yang semula menempati tanah di pinggiran pantai itu. Land reform tampaknya tidak dapat dihindari. Dan untungnya, mereka yang tinggal di pengungsian setuju saja dengan rencana tersebut karena trauma tinggal di tempat asal. Pesan dari masyarakat pengungsian sudah jelas, agar pemerintah segera memutuskan bentuk pembangunan yang tepat di Aceh.
Maka disinilah tata ruang permukiman 'kibbutz' dapat ditiru! Selanjutnya....terserah pemerintah.
Terus terang, karena ide ‘kibbutz’ ini berasal dari bangsa Israel dan rada berbau komunis, saya agak takut untuk menulis tentangnya. Tapi kemudian, saya berpikir yang praktis2 saja, apa pun yang mengandung kebaikan, pantas untuk dipelajari . Tidak perlu sampai mengadopsi ideologinya. Maka saya pun memutuskan untuk menulis tentang kibbutz, untuk memberi inspirasi baik kepada rakyat Indonesia khususnya kaum muda Indonesia maupun kepada pengambil kebijakan di atas sana, bahwa ide permukiman yang dimiliki oleh Israel telah membantu melahirkan sebuah negara yang cukup kuat.
Kibbutz
Kibbutz (bahasa Ibrani untuk “permukiman”) adalah permukiman di luar kota yang cukup unik. Di dalam kibbutz terdapat sistem sosial ekonomi yang berdasarkan prinsip kepemilikan bersama pada property, kesamaan dan kerjasama dalam produksi, konsumsi dan pendidikan. Masyarakat yang tinggal di dalam kibbutz adalah masyarakat yang memang memilih untuk hidup dengan idealisasi “dari kita sesuai dengan kemampuan kita, untuk kita sesuai dengan kebutuhan kita”.
Kibbutzim (bentuk plural dari kibbutz) pertama dibangun 40 tahun sebelum berdirinya negara Israel (tahun 1948). Pendirinya adalah orang-orang Yahudi yang umumnya berasal dari Eropa Timur, yang datang tidak hanya untuk mengklaim kepemilikan mereka pada tanah yang dijanjikan, tetapi juga untuk bergaya hidup baru. Ketika itu situasi tidaklah mudah: lingkungan yang tidak ramah, tidak punya pengalaman pada pekerjaan fisik, kurangnya pengetahuan pada bidang agricultural, tanah yang tidak pernah terpakai selama berabad-abad, kekurangan air bersih dan ketiadaan dana. Di atas kesulitan-kesulitan tersebut, mereka berhasil membangun komunitas yang memegang peran sangat dominan dalam pembangunan negara mereka.
Saat ini ada 270 kibbutzim, dan setiap kibbutz terdiri atas 40 sampai 1000 orang. Total jumlah orang yang tinggal di kibbutz adalah 130.000 orang atau sekitar 2,5% dari total populasi negara.
Hampir semua kibbutzim dirancang mirip. Area permukiman terdiri dari rumah lengkap dengan tamannya, rumah anak-anak dan taman bermain untuk tiap kelompok bermain, dan fasilitas bersama seperti restoran, auditorium, perpustakaan, kolam renang, lapangan tenis, rumah sakit, laundry, toko dan lain-lain. Di luar area permukiman ada tempat untuk memelihara hewan-hewan seperti sapi, ayam, dan pabrik-pabrik. Pertanian, perikanan, dan bentuk-bentuk agrikultur lainnya juga terdapat di sekeliling kibbutz. Di dalam kibbutz, orang biasanya jalan kaki atau menggunakan kendaraan sepeda, dan kendaraan listrik disediakan untuk orang cacat dan kaum lansia.
Persoalan sehari-hari ditangani oleh komite terpilih, yang mengurusi permukiman, keuangan, perencanaan produksi, kesehatan dan budaya.
Bagi para pendirinya, menghidupkan kembali tanah nenek moyang yang diyakini mereka dijanjikan Tuhan kepada mereka, dan mengubah masyarakat menjadi petani merupakan sebuah ideologi, bukan lagi cara untuk mencari penghidupan. Maka, setelah bertahun-tahun, petani-petani di kibbutz telah membuat tanah itu subur dan menghasilkan.
Berdasarkan partisipasi sukarela dari para anggotanya, kibbutz merupakan sebuah komunitas dimana setiap anggotanya bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan anggota lainnya. Inilah sebuah masyarakat yang berjuang agar setiap individu dapat mengembangkan potensi mereka sebaik-baiknya, sementara mereka dituntut untuk memenuhi kewajiban dan komitmen mereka untuk menyumbang pada kesejahteraan masyarakat.
Implementasi Permukiman Serupa di Indonesia
Kibbutz memang merupakan ideologi sebagian bangsa Israel yang menganut prinsip komunisme: kepemilikan bersama. Masyarakat yang berdiam di kibbutz adalah masyarakat yang memiliki kesamaan visi, yaitu demi kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata di antara penghuni kibbutz. Tetapi ideologi sosial komunis ini tidak lantas berarti membuat penghuninya menjadi atheis, karena toh bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki agama.
Kita pun bukanlah negara komunis, tetapi tatanan masyarakat kita berdasarkan prinsip kekeluargaan. Sistem kekerabatan yang kental di negara ini dapat dilihat dari reaksi orang Aceh pada isu pengangkatan anak-anak Aceh yang menjadi korban bencana tsunami. Mereka sangat tersinggung pada rencana pengangkatan anak Aceh, karena mereka merasa dengan cara itu anak-anak yang diangkat oleh orang lain selain orang Aceh akan tercabut dari akar budayanya. Mereka menginginkan anak2 itu tetap berada di Aceh, dan bersama-sama mereka membangun Aceh kembali.
Melihat hasil bencana yang memporak porandakan seluruh tatanan fisik Aceh, Aceh harus berbenah dari awal lagi. Termasuk dalam bidang permukiman. Pilihan bentuk permukiman yang tidak melupakan kepribadian awal bangsa Aceh dapat saja jatuh pada bentuk kibbutz, yang sedikit banyak serupa dengan permukiman danchi di Jepang.
Mumpung pemerintah masih merasakan sulitnya menormalkan kembali Aceh, dan adanya tuntutan untuk menyosialisasikan bagaimana rancangan kasar rekonstruksi Banda Aceh, Meulaboh, dan sejumlah tempat lain di Aceh yang hancur akibat bencana tsunami itu. Agar masyarakat di pengungsian mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang akan mereka dapatkan dari rekonstruksi tersebut.
Pemerintah sudah mempunyai rencana untuk menghijaukan kembali kawasan pesisir Aceh dengan hutan bakau, maka pasti pengaturan kembali penggunaan tanah di Aceh akan berdampak pada pengungsi yang semula menempati tanah di pinggiran pantai itu. Land reform tampaknya tidak dapat dihindari. Dan untungnya, mereka yang tinggal di pengungsian setuju saja dengan rencana tersebut karena trauma tinggal di tempat asal. Pesan dari masyarakat pengungsian sudah jelas, agar pemerintah segera memutuskan bentuk pembangunan yang tepat di Aceh.
Maka disinilah tata ruang permukiman 'kibbutz' dapat ditiru! Selanjutnya....terserah pemerintah.
1 Comments:
Masukan dan idenya bagus sekali bu, sy setuju asal tidak mengarah pada komunisme dimana paham dipaksakan utk diterima oleh masyarakat. Permukiman komunitas kibbuttz kalau bisa terwujud di aceh atau dimana saja di Indonesia namun dlm hal ini disadasari dengan kesadaran dan kerelaan utk mencapai kesejahteraan bersama mungkin bagus sekali ya.. jadi tidak ada jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home