JIFFEST 2004
Hari Minggu kemarin aku, Sufiet dan Aya akhirnya punya kesempatan nonton film JIFFEST di TIM. Sebelumnya kita ngumpul dulu di rumah Sufiet di Kampung Melayu. Terakhir kali ke rumah Sufiet adalah tahun 1998, waktu itu sebagian besar angkatan 91 mengadakan selamatan untuk Sufiet yang akan berangkat bekerja di Bali. Setelah tahun 98 sampai Sufiet kembali lagi ke Jakarta kira-kira 2 tahun yang lalu, aku belum sempat ke Kampung Melayu lagi.
Makanya, minggu kemarin aku nyasar dengan sukses di belantara Kampung Melayu Kecil V karena petunjuk jalan dari Sufiet yang kurang akurat. Alhasil, janji jam 12 jadi molor jam 14, padahal film Chicken Rice War dimulai jam 14.30. Oya, karena takut tiket sudah sold-out pada hari H-nya, kami sudah memesan 2 tiket sehari sebelumnya.
Sesampai di rumah Sufiet, Aya sudah menunggu dengan asinan betawi bikinan ibunya. Hmmmm…pedes! Ibunya Sufiet yang always cantik dan awet muda menyambut dengan hangat. Aku terheran-heran dengan perkembangan keponakan Sufiet, karena terakhir kali datang ke sana keponakannya baru 1 (itupun masih di dalam kandungan). Sekarang keponakannnya sudah 5 orang, dan sudah besar-besar pula. Weleh, kemana aja sih kita Fiet?
Menunggu Sufiet dandan, aku dan Aya makan asinan dan suguhan-suguhan lain sambil cerita ngalor-ngidul (kebanyakan sih cerita tentang Golda dan kesungguhan perkawinannya, hahahaha). Jam 14.15, ibu Sufiet mengajak makan siang, dan tak bisa ditolak (atau gak mau nolak?) Ya, meskipun sudah pada makan siang, nambah sepiring lagi masih oke juga ternyata. So kita pun makan siang sampai 14.30, setelah itu pamit pergi (malu-maluin juga sih, dah makan ngabur).
Sesampai di Graha Bhakti Budaya, pertunjukan sudah 30 menit dimulai, kami cepat2 mencari tempat duduk yang kosong. Dari kapasitas 700 tempat duduk di GBB, hanya tersedia sedikit tempat duduk kosong di deretan paling atas sebelah kanan. Yah apa boleh buat, nonton sambil miring-miring pun dilakoni, demi Chicken Rice War. Film ini mengisahkan kisah Romeo & Juliet modern di Singapura yang dikisahkan dengan kocak dalam Singlish (Singaporean English) yang asyik banget. Hehehehe…pantesan aja pemerintah Singapur kuatir pada penggunaan bahasa Inggris yang seenak udelnya itu. Sabotage disingkat jadi sabo, atau ungkapan yang tak bisa diterjemahkan bahkan oleh pembuat filmnya, lalu ada tambahan kata lah di tiap kalimatnya. But mostly, film itu cukup menghibur. Buktinya, setelah pemutaran film tepuk tangan membahana datang dari sekitar 700 pasang tangan. Ternyata kisah Romeo & Juliet dapat diceritakan kembali tanpa ending yang tragis seperti karya Shakespeare. Dalam Chicken Rice War ini Romeo dan Juliet dikisahkan mampu menyatukan keluarga mereka yang sudah berseteru sejak 20 tahun yang lalu.
Setelah Chicken Rice War, kami masih harus nonton film Ararat pilihannya Sufiet. Sebetulnya aku ingin sekali nonton Bride and Prejudice, tapi tiketnya sudah sold out! Lagipula pemutarannya baru akan dilaksanakan jam 7 malam. Jam segitu Aya sudah harus pulang, karena sang bapak membutuhkannya untuk mengukur tensi darah. Film Ararat yang diputar di TIM itu ternyata tidak banyak penggemarnya, terbukti kursi-kursi banyak yang kosong. Ternyata memang film tersebut termasuk film yang berat. Aku merasa harus nonton lebih dari sekali untuk mengerti film itu. Ketika film berakhir, tidak ada tepuk tangan yang meriah dari penonton. Kenapa? Bisa jadi karena film itu berkisah tentang genocide yang konon terjadi pada etnis Armenia di Turki (yang buat orang keturunan Turki mungkin impossible dilakukan nenek moyang mereka), atau mungkin juga karena bahasa Inggris yang digunakan di dalam film tidak sama dengan bahasa Inggris yang baru saja didengar di film Chicken Rice War. Kalau aku sih, yang terakhir...enakan denger Singaporean berbahasa Inggris daripada orang Turki berbahasa Inggris. Hehehehe.
Hari Minggu kemarin aku, Sufiet dan Aya akhirnya punya kesempatan nonton film JIFFEST di TIM. Sebelumnya kita ngumpul dulu di rumah Sufiet di Kampung Melayu. Terakhir kali ke rumah Sufiet adalah tahun 1998, waktu itu sebagian besar angkatan 91 mengadakan selamatan untuk Sufiet yang akan berangkat bekerja di Bali. Setelah tahun 98 sampai Sufiet kembali lagi ke Jakarta kira-kira 2 tahun yang lalu, aku belum sempat ke Kampung Melayu lagi.
Makanya, minggu kemarin aku nyasar dengan sukses di belantara Kampung Melayu Kecil V karena petunjuk jalan dari Sufiet yang kurang akurat. Alhasil, janji jam 12 jadi molor jam 14, padahal film Chicken Rice War dimulai jam 14.30. Oya, karena takut tiket sudah sold-out pada hari H-nya, kami sudah memesan 2 tiket sehari sebelumnya.
Sesampai di rumah Sufiet, Aya sudah menunggu dengan asinan betawi bikinan ibunya. Hmmmm…pedes! Ibunya Sufiet yang always cantik dan awet muda menyambut dengan hangat. Aku terheran-heran dengan perkembangan keponakan Sufiet, karena terakhir kali datang ke sana keponakannya baru 1 (itupun masih di dalam kandungan). Sekarang keponakannnya sudah 5 orang, dan sudah besar-besar pula. Weleh, kemana aja sih kita Fiet?
Menunggu Sufiet dandan, aku dan Aya makan asinan dan suguhan-suguhan lain sambil cerita ngalor-ngidul (kebanyakan sih cerita tentang Golda dan kesungguhan perkawinannya, hahahaha). Jam 14.15, ibu Sufiet mengajak makan siang, dan tak bisa ditolak (atau gak mau nolak?) Ya, meskipun sudah pada makan siang, nambah sepiring lagi masih oke juga ternyata. So kita pun makan siang sampai 14.30, setelah itu pamit pergi (malu-maluin juga sih, dah makan ngabur).
Sesampai di Graha Bhakti Budaya, pertunjukan sudah 30 menit dimulai, kami cepat2 mencari tempat duduk yang kosong. Dari kapasitas 700 tempat duduk di GBB, hanya tersedia sedikit tempat duduk kosong di deretan paling atas sebelah kanan. Yah apa boleh buat, nonton sambil miring-miring pun dilakoni, demi Chicken Rice War. Film ini mengisahkan kisah Romeo & Juliet modern di Singapura yang dikisahkan dengan kocak dalam Singlish (Singaporean English) yang asyik banget. Hehehehe…pantesan aja pemerintah Singapur kuatir pada penggunaan bahasa Inggris yang seenak udelnya itu. Sabotage disingkat jadi sabo, atau ungkapan yang tak bisa diterjemahkan bahkan oleh pembuat filmnya, lalu ada tambahan kata lah di tiap kalimatnya. But mostly, film itu cukup menghibur. Buktinya, setelah pemutaran film tepuk tangan membahana datang dari sekitar 700 pasang tangan. Ternyata kisah Romeo & Juliet dapat diceritakan kembali tanpa ending yang tragis seperti karya Shakespeare. Dalam Chicken Rice War ini Romeo dan Juliet dikisahkan mampu menyatukan keluarga mereka yang sudah berseteru sejak 20 tahun yang lalu.
Setelah Chicken Rice War, kami masih harus nonton film Ararat pilihannya Sufiet. Sebetulnya aku ingin sekali nonton Bride and Prejudice, tapi tiketnya sudah sold out! Lagipula pemutarannya baru akan dilaksanakan jam 7 malam. Jam segitu Aya sudah harus pulang, karena sang bapak membutuhkannya untuk mengukur tensi darah. Film Ararat yang diputar di TIM itu ternyata tidak banyak penggemarnya, terbukti kursi-kursi banyak yang kosong. Ternyata memang film tersebut termasuk film yang berat. Aku merasa harus nonton lebih dari sekali untuk mengerti film itu. Ketika film berakhir, tidak ada tepuk tangan yang meriah dari penonton. Kenapa? Bisa jadi karena film itu berkisah tentang genocide yang konon terjadi pada etnis Armenia di Turki (yang buat orang keturunan Turki mungkin impossible dilakukan nenek moyang mereka), atau mungkin juga karena bahasa Inggris yang digunakan di dalam film tidak sama dengan bahasa Inggris yang baru saja didengar di film Chicken Rice War. Kalau aku sih, yang terakhir...enakan denger Singaporean berbahasa Inggris daripada orang Turki berbahasa Inggris. Hehehehe.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home