Regional Forum on Sustainable Development
Akhirnya….setelah persiapan yang melelahkan untuk menjadi event organizer dari SYLFF Asia Pacific Regional Forum 2005 selama 2 bulan belakangan ini, aku bisa bernafas lega. Pelaksanaan Regional Forum tanggal 20-22 Juni yang lalu berakhir dengan sukses, tidak ada yang cedera ataupun sakit selama event berlangsung.
Day One (June 20th)
Forum dimulai tanggal 20 Juni, dibuka oleh Rektor UI, Usman Chatib Warsa. Keynote speaker sedianya adalah Menteri Lingkungan Hidup, Bapak Rahmat Witoelar. Sampai beberapa hari sebelum forum berlangsung, posisi keynote speaker masih dipegang oleh Pak Rahmat. Sayang sekali mendekati hari “H”nya, Pak Rahmat batal hadir. Keynote speech akhirnya dibacakan oleh expert staffnya, Hendri Bastaman.
Jumlah negara yang ikut berpartisipasi dalam forum ini adalah 12 negara: Indonesia, Malaysia (tidak jadi hadir entah kenapa), Thailand, Vietnam, Filipina, Fiji, China, USA, Afrika Selatan, Portugal (baru muncul hari ketiga), Jepang, Mongolia dan India. Setelah acara keynote speech, diadakan acara foto bersama dan penanaman pohon di kompleks PSJ yang dipandu oleh Bpk. Tarsoen yang tiba2 terkenal dengan “hutan kota” dan penghargaan Kalpataru-nya. Tentang Pak Tarsoen ini ternyata aku mendengar cerita tersendiri, terkait dengan penghargaan dan usahanya dalam memajukan hutan kota.
Back to the event, berita mengenai acara ini ternyata muncul di harian The Jakarta Post besok harinya, dengan menampilkan foto Stuart Graham (SYLFF Fellow Council dari University of California Berkeley, USA) sedang tekun menanam pohonnya. In the first place, why Stu? Kenapa tidak foto peserta dari Indonesia, atau peserta dari India? I don’t know…kalau mau cari tampang fotogenic, he’s not the one. Ada peserta dari China yang lebih menarik untuk difoto. Atau ada muatan politik? Maybe.
Sebelum berkenalan dengan Stu, aku dapat cerita dari teman-teman di International Office bahwa Stu adalah orang yang paling menyebalkan di antara para peserta, karena kecerewetannya dalam pengurusan itinerary, dll. Tetapi setelah berkenalan, orangnya asyik juga. Meskipun pada beberapa kesempatan, dia agak-agak overacting, but overall he’s okay. Mungkin karena agak grogi dia menjadi overacting. Hehehe.
Welcoming dinner diadakan di Ceramic House-nya F. Widayanto, an “eligible bachelor” menurut Rozenda Hendrickse (one of the fellows from South Africa). Yep, I agree. Sayangnya dia lebih sayang sama anjing2nya. Pernah suatu kali pada acara survei, aku dan teman-teman masuk ke kamar Pak Yanto (waktu itu Pak Yanto tentunya sedang tidak di tempat) dan melihat “foto-foto keluarga” yang terdiri dari Pak Yanto dan anjing-anjingnya. Jadi iri…sama anjingnya J
Aku termasuk tim advance yang datang duluan ke rumah Pak Yanto. Sesampai di sana, aku terkagum2 dengan pengaturan Pak Yanto untuk acara welcoming dinner ini. Gaya pesta kebun yang anggun di halamannya yang luas, jalan setapak dari arah rumah ke halaman dihiasi oleh lilin2 obor yang dipasang sendiri oleh pemiliknya! Wow...sangat mewah! Sayangnya karena banyak pohon, banyak pula nyamuknya. Pak Yanto musti menempatkan tanaman zodia di sela2 pepohonan untuk mengusir nyamuk di sekitar halaman. Aku kabarkan teman2 untuk membawa krim anti nyamuk untuk diberikan kepada peserta. Kebayang kan kalo ada peserta yang menggunakan pakaian terbuka, pulang2 badannya penuh totol2 merah digigitin nyamuk semalaman.
Makanan yang tersaji sangat istimewa, meskipun sederhana dan sangat Indonesia sekali. Mudah-mudahan perut peserta dari negara lain tidak bermasalah dengan makanan2 tersebut. Untuk welcoming tea, ada teh sereh, pisang goreng dan kue pastel (btw, kue pastel bahasa Inggrisnya apa ya?) Setengah mati aku ingat2 apa aku pernah tau nama kue pastel dalam bahasa inggris, tapi tidak dapat menemukannya. Jadi aku perkenalkan saja kue tersebut dengan nama aslinya kepada teman2 asingku, sembari ngeles bahwa ada kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang tidak diterjemahkan dalam bahasa inggris, such as bamboo, papaya, or mango. Ternyata banyak juga yang doyan “fried banana”, sampai nambah 3 kali. Aku ingatkan mereka bahwa ini baru appetizer, jadi sisakan perut untuk main course-nya.
Makanan utamanya adalah soto ayam komplit, ayam goreng, perkedel jagung, oseng batang pisang + teri (?), dll (sori, yang aku inget cuman makanan2 tidak biasa saja). Ellen Mashiko (Advisor from the Tokyo Foundation yang punya gawe juga) suka sekali dengan perkedel jagungnya. Oseng batang pisang (alamaaak, menu dari mana ini? Aku langsung ngebayangin batang pisang dicincang-cincang dijadiin makanan…hiiiii. Tapi karena penasaran aku coba juga, kalo gak cocok paling2 sakit perut. And I don’t like it, mungkin karena too salty. Penutupnya adalah buah-buahan dan minuman soda+mangga. Seger…
Yang menarik adalah, Pak Yanto sendiri yang melayani kita makan. Dia yang menuangkan teh serehnya sambil memperkenalkan teh tersebut, lalu menyendoki piring peserta dengan makanan-makanan sambil memperkenalkan makanan apa itu. Pelayanannya membuat para peserta tercengang2. Rozenda sampai terkagum-kagum dengan Pak Yanto yang menurut dia luar biasa humble, and he owns the beautiful house!! Harusnya dia membiarkan para pembantunya melaksanakan tugas tersebut, sedangkan dia melaksanakan social function. Tetapi begitulah Pak Yanto…tiba2 aku terbayang kembali anjing2nya, dan terbersit lagi rasa iri pada anjing2 itu.
Setelah acara makan2 selesai, acara nyanyi2 dimulai. Daftar penyanyi dadakan yang ada pada Mbak Jini sang EmSi (fellow from Indonesia) ternyata sudah panjang sekali. Stu yang sangat kelihatan ingin menyanyi tapi ngaku2nya gak pengen nyanyi (sampai dikata-katain “liar…liar…” oleh Roz yang ternyata sudah sangat mengenal Stu karena sering keliling dunia bareng selama 2 tahun ini untuk melaksanakan misinya sebagai SFC) akhirnya kebagian nyanyi juga. After the show dia bilang “I thought it was easy, but it wasn’t. Don’t u even try it!” Waktu Roz menyarankan MC untuk meminta Salana Kalu dari Fiji untuk menyanyi karena Roz pernah melihat dia menyanyi ketika berkunjung ke Fiji, Salana maju ke depan dan diteriaki oleh Stu,”Salana..don’t! It’s not easy man”. Dan Salana pun menyanyikan lagu “Hotel California” dengan sukses. Suaranya benar2 merdu, persis suara sang juara American Idol tahun lalu. Stu….you’re wrong man….
Acara harus diakhiri karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. What a day…ini baru hari pertama, jangan sampai stamina turun. Makanan suplemenku cuman susu dan coklat2an. Mudah-mudahan enough untuk menjaga stamina tubuh. Untuk menghemat tenaga, aku tidur, eh ketiduran deh, di mobil yang membawaku pulang ke Wisma Makara.
Day Two (June 21st)
Hari kedua konferensi dimulai dengan acara 3 concurrent sessions pada pukul 8.30. Sebelum para convenors datang, aku belum tenang. Maka aku sibuk mengontak 3 convenors pagi itu, jangan sampai ada yang berhalangan. Bu Ida Sundari dari FIB beres, Pak Purnawan Junadi The Head of Graduate Program pun oke, sekarang tinggal Rizal dari FE. Aku cuma punya nomor kantornya doang, dan ketika ditelpon ke kantornya, orang-orang di kantornya mengatakan Pak Rizal tiba di kantor biasanya siang. Oala, aku rada senewen menunggu beliau datang. Untunglah tepat pada waktunya, ketiganya datang. Setelah sesi pertama selesai, langsung dilanjutkan dengan 3 concurrent sessions lagi. Parahnya, tidak ada yang mengingatkan sesi Environment (yang dipimpin oleh Pak Purnawan) untuk memilih rapporter yang akan melaporkan conclusion di sesi tersebut pada acara plenary nanti sore. Maka ketika sesi kedua sedang berjalan, aku bergerilya mencari para presenter Environment yang telah tercerai berai di sesi2 yang berlainan sesuai minatnya.
Orang pertama yang aku dekati adalah Thirapat dari Thailand, yang menurut aku merupakan salah satu peserta dengan bahasa Inggris yang baik dan benar (walau terkadang agak sulit menangkap bahasanya karena dia pake logat Chiang Mai). Thirapat mati-matian menolak tawaran menjadi rapporter, karena merasa tidak kompeten. Lalu aku mencari Guang Tao, seorang peserta dari China, yang seorang kandidat doktor. Harusnya dia lebih kompeten. Guang Tao-pun menolaknya. Kemudian, pantang menyerah aku cari lagi peserta dari Inner Mongolia, He Jiang, yang dari profilnya aku tahu seorang Vice Dean. Masya Allah…aku pikir bahasa Inggrisku sudah very clear (seperti yang dikatakan oleh Ishamu dari Tokyo Foundation) tetapi aku harus mengulangi permintaanku sampai lebih dari 5 kali untuk dapat dipahami oleh He Jiang. Aku sampai harus mengadu pada Ellen tentang hal ini. Ellen bilang, memang peserta dari China banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris, so kalo tidak ada presenter yang eligible, convenor-nya saja yang jadi rapporter. Lalu aku bilang, convenornya sudah pulang. Jadi sesi ini adalah yang paling unik, karena rapporternya bukan dari antara presenter/convenor, tetapi salah seorang audience. Thank God, Sherillyn Tan Siy dari Philippine bersedia jadi rapporternya.
Pada hari ini akan dipilih SYLFF Fellow Council untuk kawasan Asia Pasifik, yang kerjaanya sama seperti yang dikerjakan oleh Stu (SFC dari kawasan Amerika dan Amerika Latin) dan Roz (SFC dari kawasan Afrika dan Eropa) selama 2 tahun ini, berkeliling ke negara2 yang ada SYLFF representative-nya untuk mengejar misi SFC. Ambisi kita, salah seorang SFC Asia Pasifik berasal dari Indonesia, meskipun pada kenyataannya tidak selalu wakil dari institusi yang jadi host Regional Forum terpilih jadi SFC. Tahun lalu, pada acara Regional Forum di Chiang Mai, SFC yang terpilih adalah dari Malaysia dan Australia. Dan benar saja, meskipun Jini sudah berinisiatif menoreh namanya di Big Board, yang terpilih adalah Bu Tiejun (si ganteng dari Shanghai) dan Sherillyn Siy dari Filipina. Jini kebagian di tempat ketiga, artinya jika salah satu dari dua SFC yang terpilih tidak dapat menunaikan tugasnya karena suatu dan lain hal, Jini yang akan menggantikannya.
Setelah acara pemilihan SFC selesai, boleh pulang! Oh how I miss my bed. Tapi ntar dulu, belum boleh bobo, karena ada acara city tour pada pukul 18.30. Jadi pulang ke Wisma hanya sempat mandi, untuk kemudian pergi lagi. Di dalam bis aku duduk bareng Bu Tiejun (yang minta dipanggil Hans…oh okay…better…daripada aku panggil “Bu” saja, rasanya kayak ngobrol sama ibu2). Hans adalah seorang English teacher, no wonder his English is very good. Ini menguntungkan buat dia dalam acara SFC election tadi sore, karena setiap kandidat diminta untuk mempromosikan dirinya sendiri, and he was good at it. Sepanjang jalan si Bu tidak memperhatikan Mbak Evi the tour guide yang sedang mempromosikan kota Jakarta yang sedang merayakan anniversary-nya hari ini, tetapi sibuk ngobrol tentang China, Taiwan, Inner Mongolia, dan kelompok keturunan di Indonesia. Katanya dia dapat informasi dari salah seorang LO bahwa jumlah orang China di Indonesia adalah sepertiga dari seluruh penduduk Indonesia. Wah…memang sih jumlah orang China cukup banyak di Indonesia, tapi sebesar itukah?
Didin (fellow from Indonesia…I wonder kenapa bukan Didin yang mencalonkan diri jadi kandidat SFC ya?) ternyata noticed aku dan Bu, sehingga ketika kita mampir dan bertemu di Sarinah Thamrin, dia langsung mendekati aku and said,”Cie..cie…mission accomplished nih?” Hahahaha….ups…Setelah acara makan malam di Crystal Jade Shanghai entah apalah namanya itu, kami jalan2 ke Sarinah. Seru juga menemani mereka jalan2 cari suvenir. Ternyata untuk orang China, harga2 di Sarinah masih termasuk mahal. Jadi mereka hanya bisa mengagumi, tapi tidak beli. Hans yang ingin membeli kopi Indonesia bahkan membelinya di Hero Supermarket, padahal di lantai 5 tersedia bermacam2 kopi Indonesia (tapi tentunya dengan harga yang berbeda, kemasannya saja beda). Sherillyn sampai mengatakan,”we’re smart, aren’t we?” karena bisa membeli barang2 yang lebih murah di supermarket. Tuvden dari Mongolia mencari gajah-gajahan kecil untuk pajangan dengan syarat: harus berwarna putih. Weleh, nyari yang gak ada nih?
Sampai toko Sarinah tutup jam 10.00, pengunjung masih ngeyel saja. Mereka tidak mau pulang. Manager on duty Sarinah memperbolehkan mereka berlama2 di sana sih. Akhirnya, Stu mengambil langkah pertama pulang. Dia bilang sama aku,”someone must lead first, so we’ll lead then”. Maka kami pun menjadi orang pertama yang menuju eskalator turun. Dalam perjalanan menuju eskalator, aku melihat Guang Tao sedang melihat2 tas kecil dari manik2 berwarna merah menyala. Dengan penuh rasa ingin tahu ia memelototi tas tersebut. Aku tidak noticed bahwa Stu ternyata melihat orang itu. So, aku tolong dia dengan mengatakan,”this is nice, for your wife? The price is Rp 70 thousands, less than 7 US$” dan jawabnya apa? “no, this is for my girl friend” Dezigh! Aku langsung liat2an sama Stu, dan langsung ditarik oleh Stu untuk turun. Kita sudah lupa kejadian tersebut, karena kemudian Stu ingin diceritakan mengenai Rama dan Shinta (kebetulan dia membeli wayang Shinta di atas sana). Jadilah aku dalang selama beberapa menit. Stu heran mengapa wayang Hanoman tidak dijual, padahal dia kan pahlawan. Aku bilang sekenanya,”maybe because he’s ugly” Untunglah sudah dekat ke bis, karena aku pasti tidak tahu jawabannya kalau dia bertanya lebih jauh lagi. Aku berjanji dalam hati, akan menghafal cerita Rama dan Shinta untuk keperluan-keperluan seperti ini.
Di dalam bis, Stu kejam sekali. Dia menceritakan tingkah polah Guang Tao sambil terbahak-bahak. Oh my God, aku pikir tadi dia tidak terlalu memperhatikan. Pantesan waktu itu dia tarik aku dari arena, mungkin karena tidak tahan melihat perbuatan Guang Tao. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 10.30. Sampai lima belas menit kemudian, rombongan belum keluar dari Sarinah. Jam 11 akhirnya rombongan terakhir masuk ke bis. Roz membawa satu koper besar, yang dibeli untuk menggantikan kopernya yang robek dalam perjalanan. Aku duduk di samping Abhisek Bose, a fellow from India. Abhisek ternyata seorang pemerhati budaya dan sosial politik, sehingga pembicaraan kami tidak jauh dari persoalan sosial di Indonesia dan India. Wah, ngomong tiga hari dengan Abhisek saja mungkin bisa bikin aku jadi ahli Social Comparative Study between India and Indonesia. Hehehe.
Day Three (June 22nd )
Hari ini adalah hari field trip. Sedianya diadakan di 2 tempat, yaitu Kali Pesanggrahan dan Banjarsari. Tetapi karena insiden kecil di Kali Pesanggrahan, kami tidak jadi mengadakan ekskursi di sana. Tempat ekskursi dialihkan ke Taman Mini! Jauh bener, kali sama Taman Mini? Tapi melihat penampilan peserta yang cukup seksi2 dan tidak mau menyembunyikan keseksiannya, aku bersyukur juga tidak jadi ke Kali Pesanggrahan. Para peserta perempuan, terutama peserta yang berasal dari Cina ternyata manja2, sampai2 mereka tidak mau memakai kaos yang dibuatkan khusus untuk hari ini, hanya karena kaos tersebut ke-gede-an. Kalau sampai acara Kali Pesanggrahan jadi, aku khawatir acara jadi kacau balau.
Kurang dari jam 9, peserta sudah berkumpul di rumah Ibu Nina. Untuk menyambut para tamu, ibu Nina sudah bersiap2 dengan tenda, kursi2, makanan kecil dan minuman. Acaranya adalah penjelasan mengenai kesuksesan yang telah dicapai oleh Banjarsari dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Kenyataan bahwa warga banjarsari bukan warga yang homogen ternyata membuat kagum Ritajyoti, peserta dari India. Barangkali karena paradigma berpikirnya masih “masyarakat kasta”, dia sampai terheran2 mengapa masyarakat heterogen seperti banjarsari dapat digalang sedemikian rupa melakukan pengelolaan sampah secara terpadu. Dia membayangkan community leader daerah ini pastilah seorang yang kuat. Padahal, leader warga banjarsari (Ibu Bambang) hanyalah seorang ibu sederhana yang sudah lanjut usia. Thank God, I don’t live in India!
Acara yang tadinya direncanakan selama 2,5 jam ternyata dapat diselesaikan dalam waktu 1,5 jam. Masih ada waktu 1 jam lagi untuk jalan2 sebelum acara makan siang dimulai. Akhirnya kami menuju Cilandak Town Square untuk belanja2. Awalnya aku memutuskan untuk mengikuti ke mana Roz pergi. Dia tertarik beli scarf, yang harganya setelah diskon adalah 100 ribu each. Roz (dasar ibu-ibu) minta aku menawar scarf tersebut, tetapi ternyata mbak2 penjualnya tidak mau menurunkan harga. Kemudian kami sibuk mengkurs rupiah ke dalam dollar, dan Roz memutuskan,”that’s cheap for me”. Karena Roz tidak punya uang 200 ribu untuk dua helai scarf, kami mencari mesin atm dan mengambil uang sejumlah yang dibutuhkan.
Mengikuti Roz cukup melelahkan aku, padahal tadinya dia berencana setelah beli scarf akan duduk manis di Starbuck saja. Karena ogah nemenin Roz, aku sibuk sendiri cari2 barang bagus. Di Starbuck ternyata ada Ibu Evi sedang duduk santai sambil minum kopi. Wah, ikutan ah…di dalam lebih sejuk udaranya dibanding di luar….
Jam 12 kami berangkat menuju rumah makan di daerah Ampera. Aku lupa nama restorannya, tapi makanannya asyik2…sesampai di sana, ada boneka keramik dengan tulisan ucapan selamat datang dalam aksara cina, sampai2 peserta dari Cina menjerit,”Chinese food again?” Melihat dekorasi di dalam restoran tersebut, aku pikir itu bukan restoran cina. Mirip2 Jawa. Dan ugh, makanannyaaaa….nendang jek! Aku suka banget sama calamari-nya. Kalau gak malu sama yang lain, rasanya pengen nambah lagi dan nambah lagi.
Setelah kenyang, aku keluar restoran, bertemu dengan Roz dan Abhisek. Abhisek menganggap panitia menghambur2kan uang untuk makanan yang mahal2. Aku bilang itu semua tidak mahal, paling mahal 50 ribu per orang. Tapi Abhisek masih menggeleng-gelengkan kepalanya. Payah deh ngobrol sama aktifis. Roz sibuk ngobrolin ornamen dan furniture restoran yang serba kayu. Dia bilang dia pengen sekali punya kayu jati di rumahnya di Cape Town. Aku bilang beli aja dari sini. Dia bilang, oh my God, aku harus bayar berapa untuk mengangkutnya ke Afsel? Hehehe…namanya juga lagi ngawur…Roz melihat 2 orang peserta dari Mongolia sedang antri menggunakan toilet. Dia bilang sama aku, 2 orang itu sama sekali tidak pernah ngobrol, cuman senyum, ngangguk2 dan berlalu. Aku bilang itu karena bhs Inggris mereka minim. Padahal mereka berdua itu adalah dosen senior, kalau tidak salah, salah satunya adalah Vice Dean di Academy of Management, Mongolia. Aku ingat waktu makan malam di Crystal Jade semalam aku mati2an berkomunikasi dengan mereka karena kebetulan posisi duduk mereka mengapit aku, dan akhirnya mereka mau berkomunikasi sedikit meskipun terbata-bata (terutama Tuvden yang lebih ramah dibandingkan temannya).
Setelah makan siang, rombongan melanjutkan perjalanannya ke Taman Mini, sementara aku survei tempat makan di Soeryo Steak Mampang untuk acara makan siang dengan Ellen besok. Thank God aku tidak perlu ikutan ke Taman Mini, sehingga aku bisa punya waktu sedikit untuk tidur siang setelah survei. Aku butuh simpan energi untuk nanti malam, acara farewell dinner.
Adios amigos…..
Depok, June 21st 2005
Akhirnya….setelah persiapan yang melelahkan untuk menjadi event organizer dari SYLFF Asia Pacific Regional Forum 2005 selama 2 bulan belakangan ini, aku bisa bernafas lega. Pelaksanaan Regional Forum tanggal 20-22 Juni yang lalu berakhir dengan sukses, tidak ada yang cedera ataupun sakit selama event berlangsung.
Day One (June 20th)
Forum dimulai tanggal 20 Juni, dibuka oleh Rektor UI, Usman Chatib Warsa. Keynote speaker sedianya adalah Menteri Lingkungan Hidup, Bapak Rahmat Witoelar. Sampai beberapa hari sebelum forum berlangsung, posisi keynote speaker masih dipegang oleh Pak Rahmat. Sayang sekali mendekati hari “H”nya, Pak Rahmat batal hadir. Keynote speech akhirnya dibacakan oleh expert staffnya, Hendri Bastaman.
Jumlah negara yang ikut berpartisipasi dalam forum ini adalah 12 negara: Indonesia, Malaysia (tidak jadi hadir entah kenapa), Thailand, Vietnam, Filipina, Fiji, China, USA, Afrika Selatan, Portugal (baru muncul hari ketiga), Jepang, Mongolia dan India. Setelah acara keynote speech, diadakan acara foto bersama dan penanaman pohon di kompleks PSJ yang dipandu oleh Bpk. Tarsoen yang tiba2 terkenal dengan “hutan kota” dan penghargaan Kalpataru-nya. Tentang Pak Tarsoen ini ternyata aku mendengar cerita tersendiri, terkait dengan penghargaan dan usahanya dalam memajukan hutan kota.
Back to the event, berita mengenai acara ini ternyata muncul di harian The Jakarta Post besok harinya, dengan menampilkan foto Stuart Graham (SYLFF Fellow Council dari University of California Berkeley, USA) sedang tekun menanam pohonnya. In the first place, why Stu? Kenapa tidak foto peserta dari Indonesia, atau peserta dari India? I don’t know…kalau mau cari tampang fotogenic, he’s not the one. Ada peserta dari China yang lebih menarik untuk difoto. Atau ada muatan politik? Maybe.
Sebelum berkenalan dengan Stu, aku dapat cerita dari teman-teman di International Office bahwa Stu adalah orang yang paling menyebalkan di antara para peserta, karena kecerewetannya dalam pengurusan itinerary, dll. Tetapi setelah berkenalan, orangnya asyik juga. Meskipun pada beberapa kesempatan, dia agak-agak overacting, but overall he’s okay. Mungkin karena agak grogi dia menjadi overacting. Hehehe.
Welcoming dinner diadakan di Ceramic House-nya F. Widayanto, an “eligible bachelor” menurut Rozenda Hendrickse (one of the fellows from South Africa). Yep, I agree. Sayangnya dia lebih sayang sama anjing2nya. Pernah suatu kali pada acara survei, aku dan teman-teman masuk ke kamar Pak Yanto (waktu itu Pak Yanto tentunya sedang tidak di tempat) dan melihat “foto-foto keluarga” yang terdiri dari Pak Yanto dan anjing-anjingnya. Jadi iri…sama anjingnya J
Aku termasuk tim advance yang datang duluan ke rumah Pak Yanto. Sesampai di sana, aku terkagum2 dengan pengaturan Pak Yanto untuk acara welcoming dinner ini. Gaya pesta kebun yang anggun di halamannya yang luas, jalan setapak dari arah rumah ke halaman dihiasi oleh lilin2 obor yang dipasang sendiri oleh pemiliknya! Wow...sangat mewah! Sayangnya karena banyak pohon, banyak pula nyamuknya. Pak Yanto musti menempatkan tanaman zodia di sela2 pepohonan untuk mengusir nyamuk di sekitar halaman. Aku kabarkan teman2 untuk membawa krim anti nyamuk untuk diberikan kepada peserta. Kebayang kan kalo ada peserta yang menggunakan pakaian terbuka, pulang2 badannya penuh totol2 merah digigitin nyamuk semalaman.
Makanan yang tersaji sangat istimewa, meskipun sederhana dan sangat Indonesia sekali. Mudah-mudahan perut peserta dari negara lain tidak bermasalah dengan makanan2 tersebut. Untuk welcoming tea, ada teh sereh, pisang goreng dan kue pastel (btw, kue pastel bahasa Inggrisnya apa ya?) Setengah mati aku ingat2 apa aku pernah tau nama kue pastel dalam bahasa inggris, tapi tidak dapat menemukannya. Jadi aku perkenalkan saja kue tersebut dengan nama aslinya kepada teman2 asingku, sembari ngeles bahwa ada kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang tidak diterjemahkan dalam bahasa inggris, such as bamboo, papaya, or mango. Ternyata banyak juga yang doyan “fried banana”, sampai nambah 3 kali. Aku ingatkan mereka bahwa ini baru appetizer, jadi sisakan perut untuk main course-nya.
Makanan utamanya adalah soto ayam komplit, ayam goreng, perkedel jagung, oseng batang pisang + teri (?), dll (sori, yang aku inget cuman makanan2 tidak biasa saja). Ellen Mashiko (Advisor from the Tokyo Foundation yang punya gawe juga) suka sekali dengan perkedel jagungnya. Oseng batang pisang (alamaaak, menu dari mana ini? Aku langsung ngebayangin batang pisang dicincang-cincang dijadiin makanan…hiiiii. Tapi karena penasaran aku coba juga, kalo gak cocok paling2 sakit perut. And I don’t like it, mungkin karena too salty. Penutupnya adalah buah-buahan dan minuman soda+mangga. Seger…
Yang menarik adalah, Pak Yanto sendiri yang melayani kita makan. Dia yang menuangkan teh serehnya sambil memperkenalkan teh tersebut, lalu menyendoki piring peserta dengan makanan-makanan sambil memperkenalkan makanan apa itu. Pelayanannya membuat para peserta tercengang2. Rozenda sampai terkagum-kagum dengan Pak Yanto yang menurut dia luar biasa humble, and he owns the beautiful house!! Harusnya dia membiarkan para pembantunya melaksanakan tugas tersebut, sedangkan dia melaksanakan social function. Tetapi begitulah Pak Yanto…tiba2 aku terbayang kembali anjing2nya, dan terbersit lagi rasa iri pada anjing2 itu.
Setelah acara makan2 selesai, acara nyanyi2 dimulai. Daftar penyanyi dadakan yang ada pada Mbak Jini sang EmSi (fellow from Indonesia) ternyata sudah panjang sekali. Stu yang sangat kelihatan ingin menyanyi tapi ngaku2nya gak pengen nyanyi (sampai dikata-katain “liar…liar…” oleh Roz yang ternyata sudah sangat mengenal Stu karena sering keliling dunia bareng selama 2 tahun ini untuk melaksanakan misinya sebagai SFC) akhirnya kebagian nyanyi juga. After the show dia bilang “I thought it was easy, but it wasn’t. Don’t u even try it!” Waktu Roz menyarankan MC untuk meminta Salana Kalu dari Fiji untuk menyanyi karena Roz pernah melihat dia menyanyi ketika berkunjung ke Fiji, Salana maju ke depan dan diteriaki oleh Stu,”Salana..don’t! It’s not easy man”. Dan Salana pun menyanyikan lagu “Hotel California” dengan sukses. Suaranya benar2 merdu, persis suara sang juara American Idol tahun lalu. Stu….you’re wrong man….
Acara harus diakhiri karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. What a day…ini baru hari pertama, jangan sampai stamina turun. Makanan suplemenku cuman susu dan coklat2an. Mudah-mudahan enough untuk menjaga stamina tubuh. Untuk menghemat tenaga, aku tidur, eh ketiduran deh, di mobil yang membawaku pulang ke Wisma Makara.
Day Two (June 21st)
Hari kedua konferensi dimulai dengan acara 3 concurrent sessions pada pukul 8.30. Sebelum para convenors datang, aku belum tenang. Maka aku sibuk mengontak 3 convenors pagi itu, jangan sampai ada yang berhalangan. Bu Ida Sundari dari FIB beres, Pak Purnawan Junadi The Head of Graduate Program pun oke, sekarang tinggal Rizal dari FE. Aku cuma punya nomor kantornya doang, dan ketika ditelpon ke kantornya, orang-orang di kantornya mengatakan Pak Rizal tiba di kantor biasanya siang. Oala, aku rada senewen menunggu beliau datang. Untunglah tepat pada waktunya, ketiganya datang. Setelah sesi pertama selesai, langsung dilanjutkan dengan 3 concurrent sessions lagi. Parahnya, tidak ada yang mengingatkan sesi Environment (yang dipimpin oleh Pak Purnawan) untuk memilih rapporter yang akan melaporkan conclusion di sesi tersebut pada acara plenary nanti sore. Maka ketika sesi kedua sedang berjalan, aku bergerilya mencari para presenter Environment yang telah tercerai berai di sesi2 yang berlainan sesuai minatnya.
Orang pertama yang aku dekati adalah Thirapat dari Thailand, yang menurut aku merupakan salah satu peserta dengan bahasa Inggris yang baik dan benar (walau terkadang agak sulit menangkap bahasanya karena dia pake logat Chiang Mai). Thirapat mati-matian menolak tawaran menjadi rapporter, karena merasa tidak kompeten. Lalu aku mencari Guang Tao, seorang peserta dari China, yang seorang kandidat doktor. Harusnya dia lebih kompeten. Guang Tao-pun menolaknya. Kemudian, pantang menyerah aku cari lagi peserta dari Inner Mongolia, He Jiang, yang dari profilnya aku tahu seorang Vice Dean. Masya Allah…aku pikir bahasa Inggrisku sudah very clear (seperti yang dikatakan oleh Ishamu dari Tokyo Foundation) tetapi aku harus mengulangi permintaanku sampai lebih dari 5 kali untuk dapat dipahami oleh He Jiang. Aku sampai harus mengadu pada Ellen tentang hal ini. Ellen bilang, memang peserta dari China banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris, so kalo tidak ada presenter yang eligible, convenor-nya saja yang jadi rapporter. Lalu aku bilang, convenornya sudah pulang. Jadi sesi ini adalah yang paling unik, karena rapporternya bukan dari antara presenter/convenor, tetapi salah seorang audience. Thank God, Sherillyn Tan Siy dari Philippine bersedia jadi rapporternya.
Pada hari ini akan dipilih SYLFF Fellow Council untuk kawasan Asia Pasifik, yang kerjaanya sama seperti yang dikerjakan oleh Stu (SFC dari kawasan Amerika dan Amerika Latin) dan Roz (SFC dari kawasan Afrika dan Eropa) selama 2 tahun ini, berkeliling ke negara2 yang ada SYLFF representative-nya untuk mengejar misi SFC. Ambisi kita, salah seorang SFC Asia Pasifik berasal dari Indonesia, meskipun pada kenyataannya tidak selalu wakil dari institusi yang jadi host Regional Forum terpilih jadi SFC. Tahun lalu, pada acara Regional Forum di Chiang Mai, SFC yang terpilih adalah dari Malaysia dan Australia. Dan benar saja, meskipun Jini sudah berinisiatif menoreh namanya di Big Board, yang terpilih adalah Bu Tiejun (si ganteng dari Shanghai) dan Sherillyn Siy dari Filipina. Jini kebagian di tempat ketiga, artinya jika salah satu dari dua SFC yang terpilih tidak dapat menunaikan tugasnya karena suatu dan lain hal, Jini yang akan menggantikannya.
Setelah acara pemilihan SFC selesai, boleh pulang! Oh how I miss my bed. Tapi ntar dulu, belum boleh bobo, karena ada acara city tour pada pukul 18.30. Jadi pulang ke Wisma hanya sempat mandi, untuk kemudian pergi lagi. Di dalam bis aku duduk bareng Bu Tiejun (yang minta dipanggil Hans…oh okay…better…daripada aku panggil “Bu” saja, rasanya kayak ngobrol sama ibu2). Hans adalah seorang English teacher, no wonder his English is very good. Ini menguntungkan buat dia dalam acara SFC election tadi sore, karena setiap kandidat diminta untuk mempromosikan dirinya sendiri, and he was good at it. Sepanjang jalan si Bu tidak memperhatikan Mbak Evi the tour guide yang sedang mempromosikan kota Jakarta yang sedang merayakan anniversary-nya hari ini, tetapi sibuk ngobrol tentang China, Taiwan, Inner Mongolia, dan kelompok keturunan di Indonesia. Katanya dia dapat informasi dari salah seorang LO bahwa jumlah orang China di Indonesia adalah sepertiga dari seluruh penduduk Indonesia. Wah…memang sih jumlah orang China cukup banyak di Indonesia, tapi sebesar itukah?
Didin (fellow from Indonesia…I wonder kenapa bukan Didin yang mencalonkan diri jadi kandidat SFC ya?) ternyata noticed aku dan Bu, sehingga ketika kita mampir dan bertemu di Sarinah Thamrin, dia langsung mendekati aku and said,”Cie..cie…mission accomplished nih?” Hahahaha….ups…Setelah acara makan malam di Crystal Jade Shanghai entah apalah namanya itu, kami jalan2 ke Sarinah. Seru juga menemani mereka jalan2 cari suvenir. Ternyata untuk orang China, harga2 di Sarinah masih termasuk mahal. Jadi mereka hanya bisa mengagumi, tapi tidak beli. Hans yang ingin membeli kopi Indonesia bahkan membelinya di Hero Supermarket, padahal di lantai 5 tersedia bermacam2 kopi Indonesia (tapi tentunya dengan harga yang berbeda, kemasannya saja beda). Sherillyn sampai mengatakan,”we’re smart, aren’t we?” karena bisa membeli barang2 yang lebih murah di supermarket. Tuvden dari Mongolia mencari gajah-gajahan kecil untuk pajangan dengan syarat: harus berwarna putih. Weleh, nyari yang gak ada nih?
Sampai toko Sarinah tutup jam 10.00, pengunjung masih ngeyel saja. Mereka tidak mau pulang. Manager on duty Sarinah memperbolehkan mereka berlama2 di sana sih. Akhirnya, Stu mengambil langkah pertama pulang. Dia bilang sama aku,”someone must lead first, so we’ll lead then”. Maka kami pun menjadi orang pertama yang menuju eskalator turun. Dalam perjalanan menuju eskalator, aku melihat Guang Tao sedang melihat2 tas kecil dari manik2 berwarna merah menyala. Dengan penuh rasa ingin tahu ia memelototi tas tersebut. Aku tidak noticed bahwa Stu ternyata melihat orang itu. So, aku tolong dia dengan mengatakan,”this is nice, for your wife? The price is Rp 70 thousands, less than 7 US$” dan jawabnya apa? “no, this is for my girl friend” Dezigh! Aku langsung liat2an sama Stu, dan langsung ditarik oleh Stu untuk turun. Kita sudah lupa kejadian tersebut, karena kemudian Stu ingin diceritakan mengenai Rama dan Shinta (kebetulan dia membeli wayang Shinta di atas sana). Jadilah aku dalang selama beberapa menit. Stu heran mengapa wayang Hanoman tidak dijual, padahal dia kan pahlawan. Aku bilang sekenanya,”maybe because he’s ugly” Untunglah sudah dekat ke bis, karena aku pasti tidak tahu jawabannya kalau dia bertanya lebih jauh lagi. Aku berjanji dalam hati, akan menghafal cerita Rama dan Shinta untuk keperluan-keperluan seperti ini.
Di dalam bis, Stu kejam sekali. Dia menceritakan tingkah polah Guang Tao sambil terbahak-bahak. Oh my God, aku pikir tadi dia tidak terlalu memperhatikan. Pantesan waktu itu dia tarik aku dari arena, mungkin karena tidak tahan melihat perbuatan Guang Tao. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 10.30. Sampai lima belas menit kemudian, rombongan belum keluar dari Sarinah. Jam 11 akhirnya rombongan terakhir masuk ke bis. Roz membawa satu koper besar, yang dibeli untuk menggantikan kopernya yang robek dalam perjalanan. Aku duduk di samping Abhisek Bose, a fellow from India. Abhisek ternyata seorang pemerhati budaya dan sosial politik, sehingga pembicaraan kami tidak jauh dari persoalan sosial di Indonesia dan India. Wah, ngomong tiga hari dengan Abhisek saja mungkin bisa bikin aku jadi ahli Social Comparative Study between India and Indonesia. Hehehe.
Day Three (June 22nd )
Hari ini adalah hari field trip. Sedianya diadakan di 2 tempat, yaitu Kali Pesanggrahan dan Banjarsari. Tetapi karena insiden kecil di Kali Pesanggrahan, kami tidak jadi mengadakan ekskursi di sana. Tempat ekskursi dialihkan ke Taman Mini! Jauh bener, kali sama Taman Mini? Tapi melihat penampilan peserta yang cukup seksi2 dan tidak mau menyembunyikan keseksiannya, aku bersyukur juga tidak jadi ke Kali Pesanggrahan. Para peserta perempuan, terutama peserta yang berasal dari Cina ternyata manja2, sampai2 mereka tidak mau memakai kaos yang dibuatkan khusus untuk hari ini, hanya karena kaos tersebut ke-gede-an. Kalau sampai acara Kali Pesanggrahan jadi, aku khawatir acara jadi kacau balau.
Kurang dari jam 9, peserta sudah berkumpul di rumah Ibu Nina. Untuk menyambut para tamu, ibu Nina sudah bersiap2 dengan tenda, kursi2, makanan kecil dan minuman. Acaranya adalah penjelasan mengenai kesuksesan yang telah dicapai oleh Banjarsari dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Kenyataan bahwa warga banjarsari bukan warga yang homogen ternyata membuat kagum Ritajyoti, peserta dari India. Barangkali karena paradigma berpikirnya masih “masyarakat kasta”, dia sampai terheran2 mengapa masyarakat heterogen seperti banjarsari dapat digalang sedemikian rupa melakukan pengelolaan sampah secara terpadu. Dia membayangkan community leader daerah ini pastilah seorang yang kuat. Padahal, leader warga banjarsari (Ibu Bambang) hanyalah seorang ibu sederhana yang sudah lanjut usia. Thank God, I don’t live in India!
Acara yang tadinya direncanakan selama 2,5 jam ternyata dapat diselesaikan dalam waktu 1,5 jam. Masih ada waktu 1 jam lagi untuk jalan2 sebelum acara makan siang dimulai. Akhirnya kami menuju Cilandak Town Square untuk belanja2. Awalnya aku memutuskan untuk mengikuti ke mana Roz pergi. Dia tertarik beli scarf, yang harganya setelah diskon adalah 100 ribu each. Roz (dasar ibu-ibu) minta aku menawar scarf tersebut, tetapi ternyata mbak2 penjualnya tidak mau menurunkan harga. Kemudian kami sibuk mengkurs rupiah ke dalam dollar, dan Roz memutuskan,”that’s cheap for me”. Karena Roz tidak punya uang 200 ribu untuk dua helai scarf, kami mencari mesin atm dan mengambil uang sejumlah yang dibutuhkan.
Mengikuti Roz cukup melelahkan aku, padahal tadinya dia berencana setelah beli scarf akan duduk manis di Starbuck saja. Karena ogah nemenin Roz, aku sibuk sendiri cari2 barang bagus. Di Starbuck ternyata ada Ibu Evi sedang duduk santai sambil minum kopi. Wah, ikutan ah…di dalam lebih sejuk udaranya dibanding di luar….
Jam 12 kami berangkat menuju rumah makan di daerah Ampera. Aku lupa nama restorannya, tapi makanannya asyik2…sesampai di sana, ada boneka keramik dengan tulisan ucapan selamat datang dalam aksara cina, sampai2 peserta dari Cina menjerit,”Chinese food again?” Melihat dekorasi di dalam restoran tersebut, aku pikir itu bukan restoran cina. Mirip2 Jawa. Dan ugh, makanannyaaaa….nendang jek! Aku suka banget sama calamari-nya. Kalau gak malu sama yang lain, rasanya pengen nambah lagi dan nambah lagi.
Setelah kenyang, aku keluar restoran, bertemu dengan Roz dan Abhisek. Abhisek menganggap panitia menghambur2kan uang untuk makanan yang mahal2. Aku bilang itu semua tidak mahal, paling mahal 50 ribu per orang. Tapi Abhisek masih menggeleng-gelengkan kepalanya. Payah deh ngobrol sama aktifis. Roz sibuk ngobrolin ornamen dan furniture restoran yang serba kayu. Dia bilang dia pengen sekali punya kayu jati di rumahnya di Cape Town. Aku bilang beli aja dari sini. Dia bilang, oh my God, aku harus bayar berapa untuk mengangkutnya ke Afsel? Hehehe…namanya juga lagi ngawur…Roz melihat 2 orang peserta dari Mongolia sedang antri menggunakan toilet. Dia bilang sama aku, 2 orang itu sama sekali tidak pernah ngobrol, cuman senyum, ngangguk2 dan berlalu. Aku bilang itu karena bhs Inggris mereka minim. Padahal mereka berdua itu adalah dosen senior, kalau tidak salah, salah satunya adalah Vice Dean di Academy of Management, Mongolia. Aku ingat waktu makan malam di Crystal Jade semalam aku mati2an berkomunikasi dengan mereka karena kebetulan posisi duduk mereka mengapit aku, dan akhirnya mereka mau berkomunikasi sedikit meskipun terbata-bata (terutama Tuvden yang lebih ramah dibandingkan temannya).
Setelah makan siang, rombongan melanjutkan perjalanannya ke Taman Mini, sementara aku survei tempat makan di Soeryo Steak Mampang untuk acara makan siang dengan Ellen besok. Thank God aku tidak perlu ikutan ke Taman Mini, sehingga aku bisa punya waktu sedikit untuk tidur siang setelah survei. Aku butuh simpan energi untuk nanti malam, acara farewell dinner.
Adios amigos…..
Depok, June 21st 2005
1 Comments:
Pierce County Drugs Bust hot news
http://allfreesms.org/ - order cetirizine
Zyrtec is what my health insurance company refers as a Tier 3 prescription drug, meaning a $50-a-month copay (or $100 every three months if I were disciplined enough to order my meds through my insurer's mail-order option).
[url=http://allfreesms.org/]zyrtec drug[/url]
And I've learned the hard way that administering a daily antihistamine?in my case, Zyrtec?is something that you will need the whole year.
zyrtec drug
Zyrtec antihistamine
Buy Zyrtec (Cetirizine) medication at reputable online pharmacy! No prescription, very competitive price, no hidden fees!
The patient says she is allergic to everything.
http://www.surfhouse1967.com/ - buy levitra
Buy low cost Levitra (Vardenafil) drugs at one of reliable online pharmacies and save big!
[url=http://www.surfhouse1967.com/]levitra online[/url]
generic cialis
order levitra online
It's designed to be used when needed, not as a daily treatment.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home